Tuesday, 20 October 2015

How I Survived in London


Sudah menjadi rahasia umum kalau London adalah salah satu kota metropolitan tersibuk, terpadat, sekaligus termahal di Eropa. Setahun menjadi penduduk London dengan status mahasiswi berbeasiswa tentunya membutuhkan banyak intrik, agar uang beasiswa tetap bisa mencukupi kebutuhan hidup. Syukur-syukur malah bisa menabung buat jalan-jalan dan mencukupi kebutuhan tersier lainnya.

Di postingan ini saya akan coba menjabarkan langkah-langkah yang dulu saya tempuh agar bisa survive di London, materially maupun mentally. Iya, kekuatan mental juga diperlukan loh dalam menghadapi London yang cukup berbeda dari Indonesia. Yuk, coba kita lihat satu-satu!

1. Forget those high street shops, go to the charity ones!
Saya sengaja nggak membawa banyak baju dari Indonesia waktu saya pergi ke London. Alasan pertama, karena koper saya sudah dipenuhi oleh bumbu-bumbu masakan Indonesia, rice cooker, bahkan cobek kayu. Dan alasan kedua, karena saya yakin baju-baju tropikal yang biasa saya pakai di Indonesia tidak akan sanggup menahan udara dingin Kota London, jadi lebih baik beli baju di sana.
Salah satu pilihan hemat untuk mendapatkan baju bagus dengan harga terjangkau adalah charity shops yang banyak sekali tersebar di seluruh London. Charity shops ini biasanya dikelola oleh yayasan-yayasan kemanusiaan dan digunakan untuk menggalang dana bagi yayasan tersebut. Beberapa charity shops yang cabangnya ada dimana-mana contohnya Oxfam, Cancer Research UK, British Heart Foundation, dan banyak lagi.
Jangan khawatir soal kualitas, asalkan kita pintar memilih, pasti bisa dapat barang yang bagus dengan harga terjangkau! Saya bisa mendapatkan jumper musim dingin seharga £5 saja, teman saya bahkan membeli coat tebal hanya dengan £10. Kenapa harganya bisa terjangkau begitu? Itu karena mereka hampir tidak mengeluarkan modal untuk barang-barang tersebut. Barang-barang yg ada di charity shop adalah barang yang disumbangkan secara cuma-cuma oleh orang lain yang sudah tidak membutuhkannya. Menarik sekali kan, konsepnya?
Selain pakaian, charity shops juga menjual peralatan rumah tangga seperti piring, gelas, dan kawan-kawannya, DVD, dan favorit saya: buku second hand. Saya cukup girang karena bisa mendapatkan tiga buku Jane Austen, hard cover, hanya dengan £5 saja! Benar-benar kebahagiaan. Plus, kenapa saya suka belanja di charity shops, adalah karena saya tahu sembari berbelanja saya menyumbang (walaupun tidak banyak) uang kepada kegiatan sosial yayasan tersebut.

2. Doing exercise while saving
Jalan kaki adalah salah satu hobi saya selama di London. Trotoar yang sangat nyaman memang sangat mendukung kebiasaan ini. Mungkin ini alasannya saya jarang jalan kaki di Indonesia, karena tidak semua tempat mempunyai trotoar yang mumpuni. Kalau nekat jalan di pinggir jalan, ya sudah harus siap diklaksonin sama mobil yang melintas.
Saya tinggal sekitar 2 mil dari sekolah, oleh karena itu saya membutuhkan sarana transportasi setiap harinya. Biasanya saya naik tube atau underground, atau bis. Harga tiket terusan untuk periode 30 hari adalah £89 untuk tube zona 1 dan 2 serta bus, dan £56 untuk bus saja.  Lumayan kan bedanya? Jadilah untuk bulan-bulan terakhir saya di London, saya hanya langganan bus pass saja. Kadang malah sama sekali tidak berlangganan dan memilih berjalan kaki. Keuntungannya adalah badan jadi sehat! Bahkan bobot badan saya bisa turun sekitar 5kg loh saat di London!



3. Enhance your cooking skill!
Cooking is absolutely a great way to save up some money! Berbeda dengan di Indonesia dimana harga makanan ready-to-eat bisa jadi hampir sama dengan harga belanja bahan mentah untuk masak, harga makanan ready-to-eat alias siap saji di London itu mahalnya nggak nahan! Salah satu dugaan saya mengapa hal tersebut bisa terjadi adalah 1) tingginya biaya jasa orang-orang yang memasak dan melayani penjualannya, dan 2) tingginya harga sewa tempat berjualan.
Sebagai perbandingan, satu kotak sandwich yang terdiri dari dua lembar roti, beberapa lembar salami, dan sayuran harganya kurang lebih £3.5. Sedangkan harga belanja satu pak roti isi 12 lembar, satu pak salami isi 10 lembar, dan satu bag sayuran segar harganya hanya sekitar £5, bisa buat 5 kali makan.
Alasan lain masak sendiri adalah mengobati kerinduan pada masakan Indonesia. Lama-lama rasanya bosan loh makan makanan Barat. Skill masak saya memang cukup meningkat selama di London. Di London-lah saya belajar masak rendang, opor, sambal goreng, sayur lodeh, aneka soto. Kreativitas saya juga meningkat sekali, saya bisa banget masak pasta dengan sambal balado, atau nasi goreng aneka variasi.
Biasanya saya masak di malam hari sebanyak dua porsi, satu porsi untuk makan malam itu, dan satu porsi untuk bekal makan siang keesokan harinya. Dalam seminggu saya biasanya belanja groceries sekali, dan menghabiskan sekitar £10 hingga £15, dan itu cukup untuk membuat makanan selama satu minggu tersebut.
Halangan dalam memasak adalah pada saat jadwal kuliah sedang padat-padatnya. Saat itu rasanya punya waktu lebih buat tidur saja sudah syukur, boro-boro masak. Jadi untuk saat-saat seperti ini, masak terpaksa dihentikan dahulu dan mulailah saya bergantung pada makanan-makanan siap saji dan microwaveable, alias tinggal buka-microwave-makan.



4. Grab that almost-expired discount
Ngomong-ngomong makanan siap saji dan microwaveable, di London banyak sekali supermarket yang menyediakannya. Tesco, Sainsbury's, M&S, Waitrose, adalah beberapa nama supermarket langganan saya. Dan karena London adalah kota besar, maka hampir tiap 200 meter ada supermarket, so convenient.
Soal rasa, menurut saya M&S adalah yang paling enak. Unfortunately, salah satu yang termahal juga. Untuk menyiasatinya, pintar-pintarlah mencari barang dengan reduced price. Biasanya makanan segar yang sudah akan expired keesokan harinya, harganya sudah menjadi setengah harga normalnya. Asik kan? Bisa makan enak tapi tetap hemat!

5. Sharing is caring
Saya suka masak bareng teman-teman di flat. Kebetulan ada beberapa anak dari Indonesia juga yang satu flat sama saya. Setiap kali salah satu dari kami masak dengan porsi yang cukup besar, pasti saling berbagi. Biaya belanja bisa dibagi, plus keuntungan lain tentunya adalah mempererat silaturahmi.


6. Manage your account
Saya menggunakan bank ini selama saya tinggal di UK. Keunggulan dari bank tersebut menurut saya adalah karena dia memiliki dua jenis account yang 'satu namun terpisah'. Akun pertama adalah akun untuk transaksi sehari-hari, dilengkapi dengan debit card. Akun kedua adalah saving account, yang tidak bisa digunakan untuk transaksi. Setiap kali saya menerima kiriman uang beasiswa, saya langsung transfer sebagian besar ke akun saving saya, dan hanya menyisakan sedikit di akun transaksi. Hal ini cukup berguna untuk mengerem kebiasaan belanja saya. Keuntungan lain melakukan hal seperti ini adalah keamanan yang lebih terjamin jika amit-amit kartu debitnya hilang atau terjadi fraud lewat online banking.

7. Hey, those parks and gardens and museums are absolutely FREE!
Entertaining ourselves tentunya adalah hal yang nggak boleh dilupakan. Belajar terus-menerus tanpa jeda juga akan membuat jenuh, sehingga refreshing sudah jelas dibutuhkan. Asyiknya, di London banyak banget kegiatan hiburan yang bisa kita dapatkan secara free alias gratis!
Pertama adalah museum. Seperti yang saya jabarkan di postingan terdahulu, museum tuh adalah tempat yang asyik loh buat refreshing. Museum-museum banyak berjejeran di daerah South Kensington, ada pula British Museum yang lokasinya dekat UCL.
Kedua adalah taman kota, nah kalau ini lengkapnya bisa disimak di postingan ini.
Selain itu, banyak juga event atau exhibition seni yang semuanya gratis. Untuk event biasanya diadakan di Trafalgar Square atau Covent Garden. Rajin-rajin aja baca koran (yang juga gratis dan bisa didapatkan di setiap stasiun), atau follow Facebook atau Twitter tentang London.


Kira-kira begitulah saya berusaha menghemat pengeluaran saya, sekaligus menabung untuk kegiatan lain seperti jalan-jalan. London memang mahal, tapi bukan berarti nggak bisa disiasati kok!

Monday, 28 September 2015

Saya dan Terbang

Saya pernah bercerita di postingan saya terdahulu, kalau pekerjaan saya yang lampau mengharuskan saya menjadi seorang frequent flyer. Ada masa-masa dimana naik pesawat adalah sesuatu yang terlalu biasa, bahkan sehari bisa dua kali, udah ngalahin frekuensi mandi.

Setelah hampir 10 bulan berhenti dari kebiasaan lompat dari satu penerbangan ke penerbangan lain, akhirnya beberapa hari lalu saya terbang dari London ke Amsterdam, dan tiga hari setelahnya dari Amsterdam ke Berlin, dan minggu depan ada tiga penerbangan lagi menunggu saya: Budapest-Roma, Roma-Paris, dan Paris-London. Wah, akhirnya ketemu lagi sama pesawat terbang! Berhubung ini hitungannya penerbangan internasional, saya agak gagap di jam-jam awal masuk bandara. Kaya nggak pernah naik pesawat deh pokoknya. Tapi menariknya, di penerbangan kedua saya dari Amsterdam ke Berlin, saya menemukan kembali kebiasaan-kebiasaan masa lalu saya yang ternyata masih sangat melekat.

Picture source: here
Pertama adalah kesigapan packing koper. Saya cukup bangga sama diri sendiri karena, menurut saya, kemampuan packing saya cukup mumpuni. Kebiasaan sering bepergian dulu membuat saya paham barang apa yang perlu dan nggak perlu masuk koper. Saya hampir nggak butuh list barang bawaan karena otak ini sudah memberi sinyal apa saja yang harus masuk koper. Tapi harus diakui, kemampuan saya belum ada apa-apanya dibanding mama saya, yang dengan begitu canggihnya berhasil mengepak 46kg barang dalam dua koper waktu saya pergi dari Jakarta ke London, dimana barang yang masuk koper itu termasuk rice cooker dan cobek kayu.

Kedua adalah kebiasaan check-in yang cukup awal, demi kepentingan mendapatkan seat terbaik. Kalau untuk penerbangan-penerbangan antar negara Eropa kali ini sih semua check in saya lakukan secara online sehingga nggak bisa memilih seat yang saya inginkan. Tapi dulu, kala masih sering terbang bersama maskapai ber-mileage kebangaan Indonesia, saya selalu request seat yang saya inginkan kepada petugas check in. Ada beberapa kondisi yang menentukan pilihan seat saya. Jika penerbangannya pagi hari, saya selalu pilih seat dekat jendela demi bisa meneruskan tidur yang tertunda. Kalau penerbangan malam, selalu memilih seat di aisle, kalau bisa paling depan atau paling belakang, demi kecepatan turun dari pesawat dan tiba di rumah untuk tidur. Untuk penerbangan ke destinasi-destinasi cantik macam Padang, saya selalu pilih seat dekat jendela karena pemandangannya spektakuler banget.

Ketiga adalah kesigapan dalam pemeriksaan di gate keberangkatan. Menurut saya, saya anaknya cukup ringkas dan efisien dalam kegiatan menempatkan koper di ban berjalan, buka jaket, buka sepatu, masuk ke X-ray dan siap diraba-raba, sampai mengumpulkan kembali semua barang dari ban berjalan. Tapi perihal ini, saya cukup kurang sigap untuk mengeluarkan semua gadget (laptop, tablet, kamera) dari dalam tas saat saya akan terbang dari London ke Jakarta beberapa waktu lalu. Laptop sih sudah saya keluarkan, tapi tablet masih tertinggal di dalam tas tangan dan menyebabkan tas saya nggak lolos scanning.

Keempat adalah kesigapan dalam masuk pesawat. Wah, ini penting sekali, demi memastikan cabin luggage saya mendapat tempat yang aman dan nyaman tepat di atas kepala saya. Saya paling menghindari kehabisan tempat untuk menaruh koper di kabin dan berujung pada koper saya harus masuk ke checked luggage. Nunggu bagasinya itu lho, berabad lamanya! Oleh karena itu, saya selalu siaga pilih tempat menunggu persis di depan gate, agar pas gate dibuka saya langsung bisa meluncur masuk. Pokoknya harus terdepan dalam prestasi.

Kelima, ini ciri khas saya banget, adalah tidur nyenyak menjelang take off atau landing. Pokoknya mulai dari pesawat berjalan dari tempat parkir menuju runway, bisa dipastikan saya lagi bobok cantik. Kadang pakai acara agak mangap kalau kecapekan banget. Suasananya mendukung pula buat tidur, karena lampu kabin kan dipadamkan, remang-remang enak deh buat terlelap. Biasanya saya baru bangun saat pesawat udah di udara dan mbak pramugari maskapai ber-mileage mulai membagikan makanan. Habis makan (biasanya sambil nonton TV kalau pesawatnya ada TV-nya), ya tidur lagi. Betapa produktifnya saya di ketinggian 30000 kaki! Kegiatan membanggakan macam mengerjakan kerjaan kantor atau membaca jurnal yang berkaitan dengan presentasi biasanya saya lakukan kalau saya nervous banget dengan presentasi yang akan saya hadapi. Tapi kadang saya cukup berada di jalan yang benar kok, contohnya tulisan ini saya buat saat pesawat sedang melintasi Hannover menuju Berlin (menurut info dari Om Pilot sih begitu), disebabkan saya nggak bisa tidur karena mas bule kece sebelah saya parfumnya memabukkan sekali.

Menulis semua ini bagaikan refleksi, nostalgia yang membuat saya senyum-senyum sendiri. Kalau dipikir-pikir, masa muda saya ini cukup menyenangkan, karena nggak semua orang bisa memiliki pengalaman terbang sebanyak saya di usia semuda ini. Tahun-tahun ke depan sudah dipastikan akan sepi terbang, but if a day comes when I need to catch a flight, I know for sure that I will giggle to remember my old self doing those mentioned things!

Saturday, 1 August 2015

Date at the Museums

Masih ingat film Night at the Museum yang dibintangi oleh Ben Stiller dan almarhum Robin Williams? Walaupun belum pernah nonton, tapi dari judulnya saja sudah bisa ditebak bahwa setting dari cerita film tersebut adalah di museum.

Apa sih yang ada di pikiran kita jika mendengar kata museum? Fosil-fosil binatang purba, manuskrip berwarna coklat dari jaman penjajahan, manekin peraga yang kelihatan seram dan sepertinya benar-benar hidup saat tidak ada orang yang melihat? Menurut KBBI, museum adalah 'gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yg patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu; tempat menyimpan barang kuno'. Jadi memang penampakannya kurang lebih akan sama seperti yang saya sebutkan tadi, hehe.

Karena fungsinya memang untuk mengenang hal-hal dari masa yang sudah lalu, maka wajar jika mengunjungi museum dianggap tidak kekinian. Dan tidak heran pula, sedikit sekali anak muda yang sumringah untuk diajak mengunjungi museum. Pusat perbelanjaan atau tempat-tempat makan lebih menjadi pilihan dalam menghabiskan waktu luang.

Saya juga pernah menjadi bagian dari populasi itu. Saya hanya mengunjungi museum kalau ada karya wisata dari sekolah, atau kalau ada sepupu-sepupu yang lagi main ke Bandung dan minta diantar ke Museum Geologi. Dan sepengamatan saya, ya memang museum-museum tersebut pengunjungnya adalah keluarga dan anak-anak mereka yang berusia kurang dari 16 tahun.

Satu event yang saya datangi bulan Juni lalu membuka pikiran saya akan suatu kegiatan lain yang mungkin bisa dilakukan di museum: pacaran. Iya, date at the museum!

Jadi ceritanya, Juni lalu saya diajak oleh Robyn dan Bu Glori untuk pergi ke acara Lates-nya Science Museum, London. Setiap hari Rabu terakhir di setiap bulan, Science Museum akan buka sampai pukul 10 malam, namun yang boleh masuk hanyalah orang dewasa berusia lebih dari 18 tahun. Acaranya menarik sekali! Intinya tetap memperkenalkan sains, namun kepada adult audience, dengan materi dan pendekatan yang dikemas khusus untuk orang dewasa.

Stand pertama yang saya kunjungi adalah 'DNA isolation'. Prinsipnya sederhana sekali: apusan sel mukosa dari rongga mulut (hasil kumur-kumur semenit pakai NaCl) diekstraksi dengan alkohol agar protein (dan DNA penyusunnya) terperangkap di fase alkohol tersebut. Stand kedua adalah 'build your own DNA' dimana kita bisa membuat model struktur DNA menggunakan jelly, permen, dan marshmallow! Jelly dipakai sebagai model rantai DNA, dan marshmallow aneka warna dipakai sebagai model empat basa penyusun DNA. Jadi waktu menyusun si marshmallow, nggak boleh asal. Harus ingat, adenin itu berpasangannya sama timin, sementara guanin pasangannya adalah sitosin. Setelah selesai, semua marshmallow dan jelly-nya boleh dimakan. Enak kan?
Build your own DNA
Model DNA buatan saya! (Photo: T. Robyn)

Stand menarik lain yang saya kunjungi adalah stand-nya Diamond Research Group, University of Warwick. Kalau selama ini kita (atau saya lebih tepatnya, heu) hanya mengenal diamond alias berlian sebagai molekul paling kuat, ternyata berlian juga mempunyai fitur lain yang super keren! Salah satunya, sebagai molekul dengan konduktivitas termal paling tinggi. And I proved it! Saya bisa melelehkan sebuah bongkahan besar es batu hanya dengan gesekan lembut dari seserpih berlian. Amazing! Berlian tersebut menghantarkan panas dari tubuh saya, sehingga es batunya bisa lumer dengan mudah.
Photo courtesy: http://www2.warwick.ac.uk
Acara lain yang menarik adalah suatu round table discussion yang dipandu oleh seorang moderator, dimana para pengunjung boleh berpartisipasi mengutarakan pendapat soal topik yang dibahas. Kalau nggak salah yang saya lihat kemarin sedang membahas tentang computer and culture.


Nah. Jadi, apa hubungannya sama date at the museum?

Sepenglihatan saya, yang datang ke acara tersebut adalah pasangan-pasangan muda gitu. Habis pulang kantor, janjian ketemu di museum. Terus mereka keliling-keliling ke tiap stand sambil gandengan (enggak, aku enggak iri kok) tangan, sekaligus sambil diskusi. Tangan lain memegang gelas minuman atau makanan ringan. Hampir sama kaya pacaran di mal gitu, tapi bedanya ini yang dilihat adalah stand-stand tentang sains dan hal-hal menarik lainnya, bukan toko baju. Kalau nguping-nguping diskusinya juga serius banget deh. Dan jangan salah, yang datang ini bukan golongan nerd dengan kacamata tebal dan baju ketinggalan jaman. Semuanya gaul dan gaya, khas anak muda London pada umumnya. Dan jangan salah, ada dance floor-nya juga buat mingle setelah lelah mengitar seisi museum!
Photo courtesy: http://blog.sciencemuseum.org.uk/insight/category/lates/


Menarik sekali bukan? Pertama-tama saya kagum dengan pihak pengelola museum yang mampu menjadikan museum suatu atraksi yang menarik, nggak membosankan, dan bisa dinikmati oleh semua golongan usia. Kedua, saya kagum sama masyarakat yang juga antusias dengan program-program seperti ini.

Saya langsung bertekad banget menggalakkan tipe pacaran pintar macam nge-date di museum gini di Indonesia. Kalau dipikir-pikir, di Indonesia juga banyak banget museum yang menarik buat dikunjungi. Nggak cuma dikunjungi, tapi juga ditelisik sejarah dan nilai-nilai lain di balik benda-benda yang dikoleksi. Dan betapa serunya kalau bisa mendiskusikan itu sambil pacaran. Menarik sekali kan, bisa mengakrabkan diri dengan calon pendamping hidup tapi sambil belajar sesuatu yang baru. Jadi sekali-kali obrolannya bukan cuma tentang gosip artis, gosip teman, atau KPR rumah. Dan tempat nge-date-nya bisa lebih bervariasi dari cuma bioskop atau tempat makan saja. Diskusinya jangan dibawa serius dan mengancam kehidupan asmara juga tapi, kan nggak lucu kalau marahan sama pacar gara-gara berbeda pendapat soal masa depan BPJS di Indonesia, misalnya. 

Butuh ide tentang museum-museum yang bisa dikunjungi? Untuk yang berdomisili di Jakarta bisa klik http://www.jakarta-tourism.go.id/taxonomy/term/18. Untuk Jawa Barat silakan ditilik website Dinas Pariwisata Jawa Barat di http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/cat-det.php?id=18&lang=id. Buat daerah-daerah lain, mesin pencari pasti siap memberikan jawaban untuk semua kebutuhan kita.

So, are you ready to date at the museums?

Friday, 24 July 2015

Ketika Semuanya Berakhir

London, 22 Juli 2015. Saya bangun pukul 9.30AM, setelah hanya tidur beberapa jam saja. Satu setengah jam kemudian saya sudah berada di Cruciform Hub, kembali menghadapi sebuah file berjudul 'Dissertation.docx'.

5PM. Setelah jam-jam penuh kegalauan dan komat-kamit berdoa, saya menekan tombol Ctrl+P. Dua puluh menit (dan tujuh belas British pound sterling) kemudian, tiba-tiba saya mendapati dua bundel cetakan disertasi saya. Suatu kata benda yang menjadi momok saya selama sembilan bulan terakhir, yang menjadi sarapan dan selimut tidur malam saya. Yang menjadi inti dari doa-doa saya, yang menjadi topik curhatan di WhatsApp, LINE call, sekolah, bahkan dapur flat.

5.30PM. Saya berjalan menyusuri Euston Road ditemani sinar matahari sore. Cerah, namun tidak menyengat. Bahkan angin kota London terasa begitu ramah. Dua bundel cetakan disertasi tersebut ada dalam map di dekapan saya, siap dijilid rapi di sebuah tempat penjilidan di sekitar King's Cross. Saya menikmati setiap langkah sambil memandang bus-bus merah bertingkat, menikmati aksen cantik dari para Britons yang tertangkap oleh telinga saya kala saya berjalan.

Lalu tiba-tiba semuanya terasa tidak nyata.

Saya sudah sampai sejauh ini. Saya sudah menyelesaikan semua tugas-tugas yang diwajibkan kepada saya sebagai mahasiswi. Dan itu berarti, saya sudah sampai di penghujung program Master ini. Suatu program yang kadang membuat saya mempertanyakan kewarasan saya: 'kenapa dulu lu nekat ambil S2 di UCL sih, Ties?'

Berakhir sudah malam-malam dengan tidur minimalis. Tidak akan ada lagi cerita dramatis memperebutkan seonggok tempat belajar di perpustakaan, atau komputer dengan posisi paling mantab di computer cluster. Penjaga perpustakaan School of Pharmacy mungkin akan merindukan saya, yang selalu pulang ketika perpus hampir tutup. Dan yang selalu pinjam laptop di perpustakaan karena malas bawa laptop berat-berat dari rumah. Dan saya juga akan merindukan segelas kopi murah-namun-tidak-enak-sama-sekali di kantin sekolah, sebatang Eat Natural rasa yoghurt and almond yang selalu menjadi penyelamat saya di saat lapar.

Kemana jam-jam penuh keputusasaan menatap puluhan jurnal yang harus dibaca dalam dua malam? Kemana waktu-waktu penuh ketakutan menghadapi ujian dan presentasi? Kemana perginya saat-saat penuh air mata karena merasa gagal mendapatkan nilai yang memuaskan?

Ya, saya tidak bisa percaya ini semua sudah berakhir. 

Lega?
Tidak juga.

Tentunya karena nilai saya belum keluar, saya belum dinyatakan sah menjadi seorang Master. Plus topik disertasi saya terlalu menarik untuk tidak dipublikasikan (baca: saya butuh second round survey untuk meningkatkan response rate (baca lagi: habis ini saya tetap harus kerjain proyeknya)), sehingga masih banyak yang menunggu di depan mata.

Tapi jujur, saya merasa kosong sekali segera setelah menyerahkan semua disertasi saya kepada pihak sekolah. Selama 10 bulan terakhir, UCL memaksa saya berlari terus menerus. Sprint, bukan jogging. Dan terus menerus. Saat saya ingin berhenti, UCL mencambuk saya dengan memberi saya nilai yang membuat saya tersenyum pahit. Rasanya dengan effort setara, saya bisa dapat A saat S1 dulu, tapi level maksimal saya ternyata hanya level main-main buat Universitas ini. Jadilah saya diam mendekam di perpus manapun yang saya suka, atau di coffee shop manapun yang bisa membangkitkan inspirasi. Membiarkan liburan-liburan Natal dan Paskah saya lewat begitu saja demi kelulusan dari program ini, walaupun dengan perasaan iri pada teman-teman yang bisa berlibur kemana-mana.

Dan yah, saat semua life routine tersebut tiba-tiba berhenti di hari ini, saya merasa berada dalam ketidaknyataan. Namun di sisi lain, saya lega setengah mati karena saya selamat secara akademik menjalani semua kegilaan ini. Semua mata kuliah saya sudah dinyatakan lulus (kecuali tentunya untuk disertasi ini) sehingga saya terhindar dari kewajiban re-sit ujian.

*

London, 24 Juli 2015. 01.38AM dan saya masih terjaga. Badan saya masih belum bisa menerima ritme baru untuk tidur sebelum jam 2 pagi.

Ketika semuanya berakhir, saat itulah kita merefleksi semua yang sudah terjadi. Dan saat itu pulalah, kita menyadari bahwa selalu ada kekuatan dalam diri kita yang membuat kita mampu melewati semua hal-hal yang awalnya kelihatan tidak nyata. Ya, seperti apa yang dikatakan mendiang Nelson Mandela, everything seems impossible until it is done



Thursday, 11 June 2015

[#NulisRandom2015] Day Ten- London (Episode: Taman)

Berdasarkan request dari seorang ibu-ibu yang komen di postingan saya kemarin (yang adalah mama saya, gaul sekali memang ibu-ibu itu), maka edisi cerita London a la saya kali ini adalah tentang taman kota yang banyak banget (banget!) ada di London.

St James' Park, with Buckingham Palace in the background

London sering sekali membuat saya jatuh cinta. Dan salah satu momen jatuh cinta itu adalah saat saya berkunjung ke green spaces alias ruang terbuka hijau di kota ini. Fakta mengejutkannya, 47% dari total luas daerah London ternyata adalah ruang terbuka hijau, dengan total delapan juta pohon! Bayangkan, sebuah kota metropolis, padat penduduk, masih bisa menjadi salah satu model urban forest dunia. Berita ini dilansir oleh The Independent pada bulan September 2014 yang lalu, silakan membaca berita lengkapnya di tautan ini.

Ada berbagai jenis ruang terbuka hijau yang ada di London ini. Ada taman-taman kota yang dikelola oleh pemerintah borough (semacam kecamatan kalau di Indonesia) setempat, Royal Parks, hutan-hutan kota, bahkan pemakaman umum masa lampau yang disulap menjadi taman cantik.

Saya suka sekali berkunjung ke taman-taman kota, bahkan kadang dibela-belain pergi ke taman yang lokasinya cukup jauh sekalipun. Banyak sekali aktivitas yang bisa dilakukan di taman: olahraga, membaca buku, makan siang bersama teman-teman (ataupun sendirian, biasanya ini terjadi hari Sabtu kalau teman-teman saya yang lain lagi nggak ke perpus), bermain bersama hewan peliharaan (si Monic selalu gembira pergi ke taman karena banyak anjing-anjing unyu yang bisa dia godain. Yah walaupun anjing-anjing disini kebanyakan sih sombong, nggak mau digodain sama orang lain), duduk santai ngobrol bersama teman atau keluarga, dan yang paling utama adalah berjemur. Salah satu dosen saya mengklaim jika setengah dari populasi negara ini kekurangan vitamin D akibatnya jarangnya orang-orang disini terpapar sinar matahari. Jadi nggak heran, kalau matahari bersinar cukup cerah, semua orang langsung menyerbu taman terdekat buat berjemur.

Kegiatan lain yang sering saya lakukan di taman adalah duduk diam dan memperhatikan sekitar. Saya sangat menyukai hal ini, mungkin bias dibilang ini salah satu hobi saya: observing. I observe anything, mulai dari ekspresi orang-orang, fashion yang mereka gunakan, menebak-nebak apa yang ada di pikiran mereka berdasarkan ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya, kegiatan yang sedang mereka lakukan, dan lain-lain. Melakukan hal ini mungkin juga salah satu perwujudan saya sebagai makhluk sosial, to assure myself that I'm not alone in this big universe.

Taman paling dekat yang bisa saya akses dari rumah adalah Talacre Garden. Ukurannya cukup kecil, dengan jalan setapak yang sering saya jadikan shortcut untuk mencapai halte bus. Karena ini adalah taman yang saya lihat hampir setiap hari, menarik sekali rasanya memperhatikan ia berubah dari musim gugur, musim dingin, musim semi, dan sekarang hampir memasuki musim panas. Daun-daun yang berwarna merah dan oranye di musim gugur itu akan meranggas seutuhnya, meninggalkan ranting-ranting yang kedinginan tanpa daun di musim dingin. Tunas baru seakan melambangkan harapan manis akan hadirnya musim semi, dan lalu semua warna hijau akan kembali menghiasi pohon-pohon itu saat musim panas tiba. It's like human life. We born, grow, and eventually will die.

Talacre Garden during winter season (January 2015)

Green space favorit saya sepanjang saya di London, tak lain dan tak bukan, adalah Hampstead Heath. Heath sendiri sepanjang pemahaman saya bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah padang, suatu dataran luas yang tidak ditanami. Dan ya seperti itulah Hampstead Heath. Luasnya ditaksir sekitar 320 hektar, dan ia adalah salah satu titik tertinggi di Kota London. Dari atas Hampstead Heath kita bisa memandang Kota London, bisa melihat The Shard, St. Paul's Cathedral, indah sekali. Dan hebatnya lagi, pemandangan ini dilindungi. Tidak ada satupun gedung atau bangunan yang boleh berdiri dan menghalangi view dari Hampstead Heath ini. Saya benar-benar geleng-geleng kepala ketika mengetahui hal ini. Saking luasnya si Heath, saya belum selesai menjelajahi semua bagiannya. Saya biasanya datang dari South End Green entrance, dan pulang lewat jalan yang sama, most likely karena mau beli pressed juice favorit (£5 dapat 3 botol @750mL, benar-benar best deal!) di Marks and Spencer.

Hampstead Heath


Green spaces di London juga menjadi rumah yang nyaman untuk beberapa margasatwa. Paling umum tentunya berbagai jenis burung (terutama burung merpati) dan tupai. Beberapa taman juga mempunyai kolam yang dihuni oleh angsa, bebek, dan unggas-unggas lainnya. Cantik sekali. Aturan tidak boleh memberi makan hewan-hewan liar tersebut berlaku di green spaces di London, tapi saya sering sekali melihat turis-turis memberi makan angsa dan tupai di St. James' Park. Kadang-kadang saya melihat ada sisi diskriminasi juga disini. Kalau angsa yang cantik putih bersih atau tupai yang lucu semua orang berebut ngasih makan. Kalau bebek-bebek pendek warna coklat atau burung gagak, nggak ada yang ngelirik.

Home for birds


Tulisan ini beneran akan menjadi novel kalau saya ceritakan satu-satu tentang semua taman yang sudah pernah saya jelajahi. Jadi, silakan menikmati foto-foto di bawah ini ya! Caption yang saya sediakan semoga membantu agar foto tersebut dapat bercerita lebih banyak.

St James' Park during autumn season (October 2014). This park located opposite to the Buckingham Palace, the home of the Queen. You can see London Eye in the background. Yes, it's also close to Big Ben and London Eye!

St James' Park during winter season (December 2014)
St. James' Park during the cherry blossom season (transition between winter to spring), April 2015

Carnival in Hampstead Heath

Tulips in Holland Park, Notting Hill. I really love this park! This is surely one of the hidden gems London had. You can even find peacocks (below) here, as well as Japanese-themed Kyoto Garden.


Tavistock Garden, one garden near to UCL Main Campus. It was still cherry blossom season when I took this photo. Lovely!

Athletic track in Hampstead Heath

One of the ponds in Hampstead Heath


Yellow daffodils at Green Park during spring season (April 2015). This park located near St. James' Park and Buckingham Palace.

Regent's Park during spring season (April 2015)

Greenwich Park (March 2015). Do you reckon the name? Yes, it is located near the zero point of Greenwich Mean Time, the standard time used worldwide! We can also enjoy London from above here. Apart from this park, Greenwich area also offers so many fascinating touristic spots like The Dock, museums, chapels, etc.

Margravine Cemetery, an old cemetery in Borough of Hammersmith and Fulham. I love the classy, nostalgic feeling of this place. The graves here are dated between 1869 until 1945. It was bombed twice during the Second World War, but then was refurbished in 1965.

Sekian dulu cerita saya. Oh, I could not imagine how much I will miss the lovely green spaces in this city!!!

Tuesday, 9 June 2015

[#NulisRandom2015] Day Eight - London (Episode: Underground)

Pertama-tama, ijinkanlah saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya karena tiga hari ke belakang saya tidak menulis apa-apa. Kecuali disertasi. Dan literature review. Atau curhatan penuh tangisan pada sahabat. Tapi kan semuanya itu tidak mungkin saya posting di blog ini sebagai bagian dari #NulisRandom2015. Jadi jelas dong, sebenarnya saya sudah kalah dalam tantangan #NulisRandom2015 ini. Tapi saya menolak untuk kalah, dan memutuskan untuk terus (mencoba) melaju sampai hari ketiga puluh.

Selama seminggu ini (8 Juni-14 Juni 2015), postingan saya akan serba London! Yup, saya akan berbagi cerita mengenai banyak hal menarik yang saya temui di ibukota Inggris ini. Disclaimer dulu: semua yang saya tulis murni adalah sudut pandang dan pengalaman pribadi saya, so bisa jadi banyak hal yang tidak bisa digeneralisir.

Seperti yang sudah diketahui masyarakat luas (sok terkenal), saya sekarang bermukim di London dalam rangka menyematkan gelar Master of Science di belakang nama saya. Hari ini adalah hari ke-260 sejak saya turun dari pesawat Garuda Indonesia yang menerbangkan saya dari Jakarta ke London. Hari ke-260 sejak terakhir kali saya merasakan keringatan di suhu 30 derajat Celcius, 260 hari sejak terakhir kali saya transaksi menggunakan selembar kertas merah bergambar Soekarno-Hatta, 260 hari sejak saya menggandeng tangan mas ini.... Oke, mulai sinetron.

Salah satu pengalaman baru yang saya alami di jam-jam pertama saya tiba di London adalah naik underground alias kereta bawah tanah. Underground ini lazim juga disebut dengan tube.

Source: telegraph.co.uk

Underground adalah salah satu mode transportasi masal yang gampang banget dijumpai di London, tinggal cari saja tempat dengan tanda seperti ini:

Source: creoglassonline.co.uk
Underground dibagi menjadi beberapa line berdasarkan rutenya: Northern, Piccadilly, Victoria, Metropolitan, Bakerloo, Hammersmith and City, Circle, District, dan Jubilee. Di gambar di bawah bias juga diperhatikan bahwa ada pembagian zona untuk transportasi di London ini.

Source: bbc.co.uk

Bingung? Hehe.. sebenarnya nggak sesulit itu kok! Asalkan kita tahu stasiun keberangkatan dan tujuan akhir kita, mudah sekali menelusuri line  apa yang harus kita gunakan dan dimana kita harus pindah line jika diperlukan. Petugas-petugas yang ada di setiap stasiun juga akan dengan senang hati membantu kita, dan di keretanya sendiri ada informasi suara dan teks berjalan yang akan memandu kita. 

Kelebihan underground dibanding moda transportasi lain adalah kecepatannya. Ruang bawah tanah tentunya bebas macet, kecuali jika ada gangguan major yang bikin delay parah. Saya pernah terlambat satu jam ke tempat praktek kerja karena seorang pria dilaporkan melakukan percobaan bunuh diri dengan berdiri di lintasan underground. Kelebihan lain adalah daya angkutnya yang cukup besar, tidak seperti bus yang bisa banget menolak penumpang kalau udah kepenuhan, nggak peduli bahwa saya udah hampir nangis nunggu 20 menit di tengah hujan di musim dingin. tapi walaupun daya angkutnya cukup besar, penolakan penumpang bias tetap terjadi kalau lagi jam sibuk. Tapi tenang saja, kereta lain akan muncul dalam rentang waktu 3 menit, jadi agak tenang.

Underground ideal digunakan jika kita ingin pergi ke tempat yang cukup jauh karena akan menghemat waktu. Tarif underground adalah yang termahal di antara moda transportasi London lainnya. £2.50 adalah harga minimal, untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun lain yang berada di zona 1 dan 2, dan harganya akan lebih mahal seiring makin luar zona-nya.

Kekurangan lain dari underground adalah dia berada di bawah tanah, sehingga beberapa privilege yang bias kita nikmati di atas tanah akan hilang. Pertama, tentunya kita butuh naik turun tangga, baik tangga berjalan alias eskalator, atau tangga 'diam' yang ideal untuk melatih kapasitas paru-paru. Soal tangga ini, kesalahan terbesar saya adalah nekat menapaki 171 anak tangga di Russell Square Station karena sudah terlambat kuliah. Sampai di atas, saya bersumpah saya ingin sekali pingsan dan ditolong oleh mas petugas tampan. Kedua adalah sinyal handphone yang otomatis langsung hilang. Beberapa provider seluler memang menyediakan layanan Wi-Fi di stasiun underground, tapi ya sinyalnya hanya ada pas di stasiun. Kalau keretanya sudah jalan ya bye-bye sinyal. Hal ini tentunya kurang bersahabat buat saya yang selalu butuh koneksi internet buat dengerin lagu via Spotify. Ketiga, adalah sama sekali nggak ada pemandangan apa-apa di luar jendela underground! Semuanya hitam. Jadi nggak bisa menikmati indahnya Kota London. Kecuali kalau pemandangan dalam bentuk British gentlemen tampan, rapi, wangi, bergaya eksekutif muda bisa dikategorikan sebagai aset keindahan kota ini.

Anyway, untuk bisa naik underground dan SEMUA moda transportasi di London, kita harus punya sejumlah uang dalam kartu yang disebut Oyster Card. Yup, semua transportasi masal di London ini cashless. Nggak bakal ada mas-mas kondektur yang narikin duit ongkos kita, dan jangan harap bisa naik transportasi masal apapun dengan uang tunai, walaupun kita nunjukkin duit 100 poundsterling sekalipun. Buat para pelajar, jangan lupa apply Oyster Card untuk student, karena kita bisa mendapatkan diskon 30% ongkos perjalanan. Yang adalah sangat lumayan sekali buat beli lipstick.

Bagian tidak terpisahkan dari underground tentunya adalah stasiunnya. Rajin-rajinlah membaca setiap penunjuk arah di stasiun supaya tidak tersasar dan dapat menemukan jalan yang benar. Tenang saja, bahkan anak oon seperti saya bisa mengikuti petunjuknya dengan mudah. Jangan lupa, kalau naik eskalator di stasiun, berdirilah di sebelah kanan. Lajur kiri itu hanya untuk mendahului.

Source: balancelondon.sacoapartments.com
Saya punya beberapa stasiun underground favorit. Pertama adalah King's Cross-St. Pancras, karena banyaknya toko menarik yang tersedia di dalamnya. Plus arsitekturnya menarik kaya di film Harry Potter. Kedua adalah Hammersmith, sesederhana karena ada toko Ben's Cookies disana. Ketiga adalah East Acton, karena bernuansa classy seperti tahun-tahun masa perang. Baron's Court juga cukup menyenangkan karena tangganya sedikit dan bisa jalan-jalan ke Margravine Cemetery yang ada di dekatnya. Stasiun yang saya nggak suka adalah stasiun yang banyak turisnya macam Knightsbridge, Green Park, Waterloo... Ya padahal saya juga turis, tapi kadang kalau lagi penuh banget rasanya lelah banget.

Sekian dulu cerita saya mengenai London underground. Jangan lupa untuk selalu tap-in dan tap-out di stasiun, dan hindari mampir ke toko-toko menarik yang ada di stasiun kalau tidak ingin tergoda membeli!

Source: abcltd.uk.com
 p.s.: link yang saya sediakan di atas adalah sumber resmi Transport for London alias Tfl, organisasi yang mengatur semua hal mengenai transportasi di London. Silakan dibaca-baca untuk keterangan lebih lengkap ya!

Friday, 5 June 2015

[#NulisRandom2015] Day Four - Sendiri

Sebagai seorang sanguinis yang juga bernaung di bawah zodiak Pisces, saya adalah definisi nyata dari 'manusia adalah makhluk sosial': tidak bisa sendiri. Saya harus berada di keramaian, bersama orang lain, untuk merasa utuh.

Saya benci sendiri, karena tidak ada satu orang pun yang bisa saya ajak bicara. Saya bisa berbicara kepada Minky, boneka teddy bear berwarna pink stabilo berukuran jumbo yang ada di kamar saya, tapi Minky tidak akan bisa membalas semua pembicaraan saya dengan 'lebay lo, Ties'.

Saya benci sendiri, karena tidak ada yang bisa saya mintai komentar tentang baju mana yang harus saya pilih saat berbelanja. Cermin-cermin di toko pakaian yang saya kunjungi bukanlah cermin sakti milik Putri Salju yang bisa bilang kalau saya adalah wanita tercantik di dunia. Saya butuh teman-teman cerewet saya yang akan memberi masukan rok model apa yang harus saya beli, warna apa yang harus saya pilih, toko mana yang memberikan penawaran diskon lebih menarik.

Saya benci sendiri, karena tidak ada tindakan nyata yang mampu menyelamatkan saya dari rasa terpuruk. Tidak ada bahu mas ini untuk bersender, tidak ada pelukan hangat Mama yang membuat segala sesuatu terasa lebih indah, tidak ada tepukan di bahu dari sahabat yang membuat semua beban terbang bagai debu.

Sendiri di ruang pribadi saja sudah menyakitkan, namun sendiri di tempat publik rasanya seperti neraka. Apa nikmatnya lobster roll seharga £20 jika saya memakannya sendirian? Apa enaknya secangkir hazelnut latte jika saya harus meminumnya sendirian di sebelah suatu keluarga yang sedang berkumpul dan berbincang dengan hangat? Apa manfaatnya berdandan rapi lalu ke pub sendirian, sementara di meja sebelah sekelompok gadis sibuk bergosip seperti yang biasa saya lakukan dengan 'geng' saya?

Family. Loved one. Friends. They accompany me, they keep me happy.






Wait. No, it's definitely more than that........

.......they keep me sane


Wednesday, 3 June 2015

[#NulisRandom2015] Day Three - Perpustakaan

Perpustakaan. Library.


Apa yang ada di benak Anda sekalian jika mendengar kata perpustakaan? Sebuah ruangan dengan tingkat kebosanan yang tinggi, dipenuhi oleh orang-orang berkacamata tebal yang sedang membaca dari buku setebal bantal? Atau malah, suatu bentuk surga di dunia yang penuh dengan halaman-halaman menarik yang mengakomodasi fantasi?

Saya sendiri termasuk golongan kedua. Saya senang sekali membaca sejak masih kecil. Kalau anak kecil lain bahagia dengan boneka Barbie atau Tamiya, saya akan melonjak kegirangan jika Mama saya mengijinkan saya membeli sebuah buku saat kami jalan-jalan sekeluarga. Tapi, bukan rahasia umum lagi jika membeli buku berarti mengeluarkan sejumlah uang yang cukup lumayan. Oleh karena itu, semangat mencari gratisan dalam diri saya langsung mencari ide bagaimana caranya saya bisa tetap membaca dengan pengorbanan minimal. Dan, perpustakaan adalah jawabannya!

Waktu saya sekolah di SMP-SMA Santo Aloysius Bandung, saya suka sekali ke perpustakaan walaupun penjaganya galak sekali. Saya biasanya baca majalah atau novel, dan cukup girang karena bisa menemukan novel-novel Pujangga Baru disana. Tentunya cetakan 1970an, jadi kertasnya sudah kuning dan rapuh. Tapi saya tetap bahagia!

Saat di ITB, perpustakaan sayangnya bukan menjadi pilihan utama saya. Perpustakaan Pusat ITB dahulu sangat suram, gelap, remang-remang, dan koleksinya berasal dari jaman Orde Baru semua. Perpustakaan jurusan Farmasi cukup menyenangkan, walaupun kalau mau meminjam buku rasanya seperti mau mendaftar visa untuk berkunjung ke negara lain: ribet. Pas saya lulus, si Perpustakaan Pusat ITB menjadi kinclong bersinar dan kece abis. Hahaha, emang kurang hoki.

Saat kerja di PT Dexa Medica, secara tidak terduga, tersedia perpustakaan yang bisa diakses gratis oleh setiap karyawan! Koleksi buku-bukunya juga beragam sekali. Dari buku-buku sakti penunjang pekerjaan seperti AHFS Drug Information dan Handbook of Injectable Drugs, hingga novel terbaru kaya Dee Lestari dan Ariesadhar. Jurnal-jurnal kefarmasian, buku-buku self-motivation, surat kabar mulai dari Kompas hingga Jakarta Post, majalah mulai dari Reader's Digest hingga Cosmopolitan. Gimana saya nggak teriak-teriak dalam hati coba? Saya selalu rindu ngantor dan pergi ke perpus kalau lagi kebagian tugas keluar kota. Librarian-nya, kebetulan adalah teman baik saya. Jadi info ter-update soal koleksi perpustakaan pasti sampai ke telinga saya, kadang lengkap dengan resensinya. Mantab!

Tiba di negara ini, saya benar-benar nggak habis pikir dengan perpustakaan disini. Bayangkan, di daerah tempat saya tinggal saja ada dua perpustakaan lokal yang bisa dicapai dengan jalan kaki selama 5-10 menit! Pokoknya masyarakat disini benar-benar dimanjakan oleh adanya perpustakaan yang dikelola oleh City Council. Koleksinya cukup update, menjadi member pun cukup mudah. Selain buat tempat membaca, perpustakaan juga menyediakan berbagai kegiatan menarik, misalnya Knitting Club yang saya temui di Kentish Town Library. Beberapa warga senior disini saya perhatikan setiap hari jalan ke perpustakaan bahkan sebelum perpustakaannya buka.

Perpustakaan kampus sih lain lagi ceritanya. Perpustakaan UCL School of Pharmacy mungkin menjadi tempat yang paling banyak saya kunjungi selama saya disini. Saya anaknya nggak bisa belajar di kamar karena godaannya banyak sekali, sebut saja tidur, makan, tidur, tidur, dan tidur. Oleh karena itu saya selalu kabur ke perpustakaan dan belajar atau mengerjakan tugas disana. Kalau lagi bosan ke School of Pharmacy, saya biasanya ke Main Library atau Science Library. Main Library-nya UCL megah sekali, kaya di cerita Harry Potter. Beberapa kali saya sempat juga ke British Library, yang aturan utamanya (menurut saya) adalah datanglah setengah jam sebelum perpustakaannya buka, kalau mau dapat tempat duduk.
British Library (sumber: bbc.co.uk)
UCL School of Pharmacy Library (sumber: ucl.ac.uk)

UCL Main Library (sumber: en.wikipedia.org)
 
Berebut tempat di perpustakaan adalah hal yang lumrah terjadi selama saya studi disini. Iya, walaupun perpustakaannya banyak, tetap saja semua orang rebutan! Apalagi kalau masa-masa mau ujian, beuh, dapet tempat di perpus sama susahnya kaya mencari lipstik merah yang kece.

Setahu saya, di Indonesia sendiri sudah mulai berkembang perpustakaan-perpustakaan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat. Saya pernah lihat di Cimahi sudah ada Perpustakaan Kota, Menurut saya hal seperti ini bagus sekali untuk menumbuhkan minat baca, plus juga meningkatkan akses masyarakat terhadap literatur bermutu.

Saya percaya banget sama kata-kata bahwa buku adalah jendela dunia. Iya, dengan membaca, kita bisa merasakan dunia yang belum sempat kita pijak dan rasakan. Jadi, mari pergi ke perpustakaan dan membaca!

Tuesday, 2 June 2015

[#NulisRandom2015] Day Two - Lipstick


I have a very serious problem with a small, colourful tube called lipstick. The problem can be described as severe, chronic addiction to buy and use lipstick. The main symptom is, obviously, never, can not get enough of lipstick.

Out of a bunch of make-up things, why lipstick, you ask? Well, simply because it's the fastest way to dramatically change your appearance. Every time I feel my face is not in a good shape and very pale, a simple, quick smear of lipstick will definitely makes it better. It will give colour to your face, makes you look more alive and of course, beautiful.

My affection to lipstick started when I realised that past job required an adequate make-up, since it involved public speaking. I remember, I asked my mom back then on how to choose, and to use lipstick. She chose a pink Revlon Just Bitten Kissable series for me, and yes, that was my first official lipstick (after years borrowing my mom's to be worn in special occasions).

Since that, I paid special attention to lipstick. I always carry one of my lipstick in my bag. And I start to think that it's a must have daily items, because you won't know when the colour starts to disappear. I tried different shades: pink, red, a bit purple-ish, nude colours, you name it. Every time I went to a shopping mall, cosmetic booths definitely will be my destination. Whether I buy the product or not, I don't really care. Even doing window shopping on lipstick can really makes me happy. This gentleman even said that I visited the same make-up booth thrice a month, he's been counting. LOL.

Some shades I own, under yellow-ish lighting

Taylor Swift's phenomenal red lipstick brought this addiction into different way: I craved for a red colour that can perfectly suits me. And I told you: it's hard! Finding a nice red lipstick is kind of searching for the right guy for the rest of your life. Okay, that's superlative. But you know what I mean, it is that hard. Even up until now I don't think I have found the most satisfied one. You have to take your complexion, your natural lip colour, and so many things into account to find your perfect red.

By far I've tried different brands, from the affordable ones to the one that made me had to live like a beggar for several weeks. I don't have preferences on one particular brand, even though I have to admit that one gives you more moisture, one gives you longer lasting colour, etc. And yeah, I prefer matte finishing, because my big lips won't look that nice in glossy looks.

Six out of nine lipsticks I own now are Revlon, and I love them because they're really affordable. They also have a broad range of shades, however they're not lasting that long in my lips and sometimes I think the colour is not that 'pop out' even after several layers of application.

My YSL rouge pur couture is my precious treasure. The glamourous feeling is undeniable when you wear it, it has a slight nice smell of a very classy perfume when you open the cap. It lasts for around 8 to 10 hours, even after some foods and drinks. But unfortunately it is not really hydrating, so a lip balm is a must before I applied it.

I am currently in love with Rimmel, a UK brand cosmetic. The Lasting Finish Lipstick colours are said to be chosen personally by Kate Moss. It is also very affordable, however the range of shades is not that broad. It's quite creamy and I like the packaging.

Another current baby for me is Bourjois rouge edition velvet. My friend Monica introduced them to me, and I (as expected) could not help but to reach one of them from the Superdrug's shelf. It gives a very intense colour with full coverage to lips. It comes as a liquid with applicator, which Monica said to be the plus point for Bourjois as you can apply the colour more neatly. And as its name says, it feels like a velvet in your lips, which I like.

I have to admit that lips moisture is a key to have model-look lipstick appearance. Thus, I always put a lip balm before I go to bed every night. Brush the lips gently with toothbrush is also helpful for me, as it drives out the dead lips layer. And surely, gives a day break to your lips is a must, to let them breathe in the 'fresh air' without any barrier.

As I said earlier, I still couldn't get enough. My next targets are MAC Diva and Topshop lipstick collection. Bobbi Brown is definitely also on the list, but maybe later, after some savings.

xx!

Monday, 1 June 2015

[#NulisRandom2015] Day One - Sarapan

Beberapa hari yang lalu beberapa teman saya share ajakan tentang menulis random alias apa saja setiap hari selama sebulan penuh. Hmmm, what a challenge! Tanpa pikir panjang saya pun membulatkan niat untuk ikutan. Sudah lama blog ini diam dalam kesendirian karena yang punyanya (sok) sibuk kuliah. Plus, ajang ini bisa jadi pemanasan untuk menulis disertasi. Yeah.

Hari pertama ini saya ingin menulis tentang sarapan. Simply because I just finished my breakfast. 



Hasil pengamatan saya terhadap beberapa orang di sekitar saya, ada beberapa tipe orang berdasarkan kebiasaan sarapan mereka. Tipe pertama adalah orang yang harus selalu sarapan. Biasanya, orang-orang ini sejak kecil selalu terbiasa sarapan, sehingga jika tidak sarapan, rasanya ada yang hilang dari diri mereka. Tipe kedua, adalah tipe yang pengen sarapan tapi nggak sempat. Saya banget. Kami lapar, kami tahu kami butuh sarapan, namun apa daya, waktu tak sampai. Tidur lima menit lebih lama di pagi hari itu nikmatnya berpuluh kali lipat dibanding bangun lima menit lebih awal untuk sarapan. Tipe ketiga, adalah orang-orang yang justru ogah sarapan. Beberapa bilang, sarapan malah bikin mereka mual kekenyangan dan mengantuk sehingga nggak bisa konsen belajar atau bekerja.

Saya pernah membaca beberapa jurnal ilmiah tentang manfaat sarapan pada berbagai usia. Dan hasilnya ternyata bervariasi! Ada penelitian yang bilang kalau sarapan itu nggak berpengaruh banyak sama performance di sekolah atau tempat kerja, ada yang bilang berpengaruh. Menurut saya sih hal ini lumrah, karena banyak faktor lain yang menentukan performance  selain sarapan. Misalnya, jumlah jam tidur. Jenis sarapannya itu sendiri seperti apa, usia... Jadi wajar kalau hasilnya tidak bisa digeneralisasi.

Seperti yang sudah saya bilang, saya termasuk tipe pengen sarapan tapi nggak sempat. Waktu saya masih tinggal bersama mama-papa sih saya pasti sarapan, karena mama saya adalah tipe ibu yang nggak akan membiarkan anggota keluarganya keluar rumah tanpa segelas susu, atau segelas Energen, plus dua roti tawar aneka isi. Saat saya ngekos, mulailah hari-hari tak pernah sarapan dimulai. Minum susu doang biasanya, diikuti beberapa potong gorengan berminyak asoy yang dibeli dalam perjalanan ke kampus. Luar biasa sekali! Seiring bertambahnya usia, saya sadar bahwa saya nggak bisa tiap hari hidup dengan ubi goreng untuk memulai hari kalau saya nggak pengen mati di usia dini karena myocardial infarction. Saya pun mencoba hidup sehat dengan membeli oat siap saji, kemudian saya simpan di laci kantor. Jadi walaupun saya nggak sempat sarapan di rumah, saya bisa sarapan di kantor. Hal ini cukup berhasil, hingga akhirnya saya bosan makan oat tiap pagi. Lalu saya beralih ke tukang bubur ayam depan kantor. Lumayan, variasi.

Sereal dan fresh strawberry, tentunya plus susu. Yummy!
Toast, omelette, yoghurt, and milk coffee.


Ketika saya tiba di UK, saya menjadi penggemar setia sereal dan susu. Susu di sini menurut saya enak dan fresh banget, plus harganya super terjangkau. Awal-awal datang, saya nggak terbiasa harus makan sereal dan susu dingin pagi-pagi (apalagi pas lagi winter), jadi saya selalu memanaskan sarapan saya di microwave  dahulu sebelum disantap. Sekarang sih saya sudah lebih bisa mentolerir minum susu dingin pagi-pagi. Omelet alias telur dadar juga menjadi pilihan saya buat sarapan disini. Versi super malas, saya kocok telor, kasih garam dan merica, lalu masukin ke microwave selama 40 detik. Jadi deh omelet. Hahaha...

Pilihan menu sarapan tidak bisa dipungkiri dipengaruhi juga oleh kebudayaan daerah setempat. Suatu kali saya ngobrol dengan teman saya yang berasal dari Belgia. Saya cerita, di Indonesia, nasi bisa menjadi pilihan sarapan. Dia terkejut banget, karena menurutnya nasi itu 'berat' banget, mengenyangkan, masa iya sarapan nasi. Dia lalu cerita kalau dia paling suka makan roti. Seperti halnya saya bisa makan nasi saat sarapan, makan siang maupun makan malam, dia juga bisa makan roti di setiap kesempatan. Saya bilang, saya nggak suka roti. Rasanya hambar, nggak enak deh menurut saya. Teman saya ini bilang, mungkin karena saya nggak makan roti yang bener-bener baru keluar dari oven, yang lembut banget saking fresh-nya, seperti yang ia selalu makan di Belgia. Ah, sepertinya dia benar! Roti tawar di Indonesia kan kebanyakan produksi massal di industri, jadi nggak begitu fresh. Beberapa hari belakangan saya jadi rajin makan roti tawar tiap pagi, pilih yang whole grain karena saya suka teksturnya, dengan topping unsalted butter dan madu.

Sejak jadi rajin sarapan, saya merasa saya lebih bisa konsentrasi dengan baik sepanjang hari. Plus penyakit maag saya jadi nggak sering kumat. Sekarang saya lagi menghitung hari untuk bisa kembali sarapan nasi kuning, bubur ayam, atau bacang. Rindu banget deh sama menu sarapan super-karbo itu.

Nah, ini cerita sarapan saya. Kalau kamu?

Banana, oat crumbles, and honey.