Friday 26 July 2013

Handwritten Letter: Meaningful but Forgotten

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kabar dari mama saya bahwa ada sepucuk surat datang dari sahabat saya Vava yang sedang bersekolah di Jerman. Nggak sabar untuk segera pulang ke rumah, akhirnya kemarin saya pun membaca surat tersebut.

Two pages, one litre of tears. Itulah kira-kira summary setelah saya membaca surat tersebut. Surat dari Vava ditulis dengan tulisan tangannya, dan isinya semua tentang cerita-cerita penuh cita dari Weingarten.

Letter fromVava :)
Handwritten letter. Sudah berapa lama ya sejak terakhir kali saya menerima surat yang ditulis dengan tulisan tangan seperti ini? I realize that I'm an e-generation: saya tumbuh besar dalam dunia yang memanjakan saya electronically. E-mail, e-messenger, e-card, e-payment, e-banking, you name it. Yes, they are helpful. But when we talk about social relationship, that e- thingy may loosen up the warmth of greet someone non-electronically.

Saya dan Vava bukannya nggak pernah menggunakan kecanggihan dunia seperti e-mail, video call via Skype, chat via WhatsApp atau Facebook, dan lain-lain yang bisa di-support oleh gadget kami masing-masing. Tapi malam itu, saat saya membaca surat dari Vava, saya menyadari, ada makna yang lebih dalam, yang lebih emosional, pada handwritten letter tersebut.

Betapa saya merasa dua juta kali lebih kangen pada sahabat saya ini saat membaca tulisan tangannya. Tulisan tangan yang sama yang sudah saya kenal sejak kami berteman dari SMP, 12 tahun yang lalu. Tulisan tangan yang sama yang mati-matian mengajari saya rangkaian listrik saat les Fisika karena saya segitu bodohnya soal hal itu. Tulisan tangan yang sama yang mencoret-coret partitur lagu yang kami gunakan untuk berlatih choir. Aplikasi-aplikasi surat elektronik boleh mempunyai ribuan font style, ratusan emoticon, puluhan warna warni, tapi semuanya nggak bisa membuat saya meneteskan air mata seperti ini. Dan rasanya cerita-cerita yang tertuang dalam surat tersebut terasa lebih nyata karena saya membayangkan Vava melakukan effort lebih untuk capek-capek menulis tanpa bantuan keyboard gadget.

Dan memikirkan betapa sepucuk surat ini, tinta-tinta yang tergores di dalamnya, dalam naungan sebuah amplop ini, harus melewati Samudera Hindia untuk bisa sampai dari Weingarten di Jerman ke Cimahi di Indonesia, rasanya ada semacam emotional added value disitu, terasa lebih meaningful dibandingkan yang sampai dalam hitungan detik.

Yup, handwritten letter is meaningful but sometime it is forgotten. Handwritten letter menurut saya akan mengungkapkan secara lebih emosional apa yang hendak disampaikan oleh sang pemberi pesan kepada penerimanya. Ya karena itu tadi, dibutuhkan effort lebih serta afeksi yang besar. Tulisan tangan adalah signature yang khas dari seseorang, tidak identik seperti halnya font style yang akan memiliki rupa fisik yang sama walaupun diketikkan oleh individu yang berbeda.

So, let's greet people we love by our handwrite. Nggak harus selalu, tapi mari menyempatkan diri melakukannya sesekali. Letter, cards, anything. Lebih tidak efektif secara waktu dan biaya mungkin iya, tapi saya pribadi percaya, lewat cara ini ada lebih banyak afeksi yang bisa kita tunjukkan pada orang-orang tersayang.

Happy handwriting! :)

Kalau postcard yang ini datang Natal tahun lalu :)

Saturday 13 July 2013

Bintaro Jaya: Perumahan Terdepan di Selatan Jakarta


Pekerjaan membawa saya pindah dari hometown saya menuju ke Bintaro sekitar setahun yang lalu. Awal saya menginjakkan kaki di Bintaro Jaya, suatu Perumahan di Jakarta Selatan ,saya langsung jatuh cinta sama suasananya. Betapa tidak, Bintaro Jaya the Professional's City ini adalah suatu residensial dengan fasilitas berskala kota!

Pertama, sebagai suatu perumahan, tentunya Bintaro Jaya menawarkan banyak pilihan residensial, yang dimulai dengan distrik dan cluster-cluster di sektor 1 hingga 9, kemudian disusul dengan pengembangan Discovery Residence dan Kebayoran Residence yang kesemuanya memiliki konsep hunian yang asri dengan sentuhan alam, sesuai dengan konsep Ecomunnity yang diusung. Mengikuti tren hunian vertikal, Bintaro Jaya juga sudah mulai mengembangkan Bintaro Plaza Residences, sebagai condominium pertama di kawasan ini. 

Salah satu keuntungan memiliki rumah di Bintaro Jaya adalah kawasan ini relatif bebas banjir. Bahkan pada saat banjir yang cukup besar melanda Jakarta sekitar awal tahun 2013 lalu, kawasan Bintaro Jaya aman dari banjir, karena menurut saya pribadi drainage alias pengelolaan air di kawasan ini cukup baik, dengan adanya sungai buatan yang membentang sepanjang sektor 6, 7, dan 8. Di masing-masing cluster sendiri terdapat selokan yang cukup lebar dan dalam.
Sungai buatan di Bintaro Jaya. Taken from Menteng Park (as seen on my Instagram)

 

Keamanan juga cukup terjamin, karena setaip residence/distrik/cluster memiliki security personnels yang rajin berpatroli.






Kawasan CBD Bintaro Jaya
Kedua, Bintaro Jaya memiliki Central Business District (CBD) yang berada di Sektor 7, yang dihuni oleh beberapa gedung, antara lain Titan Center (tempat saya bekerja :) ), Bank Permata, CIMB Niaga, BCA, Bank Mandiri, Bank BNI, serta showroom beberapa automotive brand seperti BMW, KIA, Auto 2000, Nissan, Toyota, dan Daihatsu. Jarak dari kawasan residensial menuju CBD ini terbilang cukup dekat sehingga memudahkan akses penghuni menuju pusat bisnis. Selain dekat, jalanan penghubung di Bintaro Jaya juga cukup lebar, bersih, dan tidak membingungkan. Selain bersahabat dengan pengendara kendaraan bermotor, Bintaro Jaya juga bersahabat dengan para pedestrian alias pejalan kaki karena tersedia trotoar yang cukup lebar dan teduh, zebra cross serta lampu lalu lintas untuk penyebrangan yang berfungsi baik.
Bintaro Jaya The Professional's City, sahabat para pejalan kaki :) (as seen on my Instagram)


Trotoar, jalan raya, dan traffic light di Bintaro Jaya the Professional's City yang tertata rapi (as seen on my Instagram)
Rumah nyaman dan kantor dekat bukanlah semata alasan saya senang tinggal di Bintaro Jaya The Professional's City. Alasan ketiga, karena Bintaro Jaya The Professional's City menawarkan beragam fasilitas penunjang yang membuat hidup makin nyaman! Pusat perbelanjaan sendiri ada banyak pilihannya, mulai dari Pasar Modern Bintaro di sektor 2 dan 9, Bintaro Plaza, Lotte Mall Bintaro, Hari-Hari Pasar Swalayan, Carefour, Giant, Informa, Electronic City... Wah, mau cari apa saja ada, dari kebutuhan sehari-hari sampai elektronik dan perabotan rumah tangga.
Pasar Modern Bintaro Sektor 9, Bersih dan Nyaman!
One of the supermarket here in Bintaro Jaya The Professional's City
Pintu masuk Pasar Modern. Rapi!
 

Tidak punya kendaraan pribadi (like I do :p), atau malas 'menyiksa'diri menyetir dalam kemacetan? Jangan khawatir, Bintaro Jaya The Professional's City menyediakan banyak pilihan public transportation. Favorit saya sih, naik shuttle bus Trans Bintaro di haltenya ada di depan BTC sektor 7 (rutenya Bintaro Jaya-Pondok Indah via tol JORR-Ratu Plaza-muter di FX Senayan-Senayan City/Plaza Senayan-Pondok Indah-balik ke Bintaro Jaya via JORR), cukup dengan Rp 15.000 bisa pergi ke mall-mall paling asyik di Ibukota (jadwalnya bisa lihat disini)

Moda lain adalah Commuter Line, yang dapat diakses lewat Stasiun Pondok Ranji di sektor 2 atau Stasiun Jurang Mangu di sektor 9. Wah ini juga sangat memudahkan, mau sampe Bekasi pun bisa. Bahkan saya pernah ke Bogor naik Commuter Line ini dari Bintaro!

Buat yang berkendara, akses jalan keluar kawasan Bintaro Jaya The Professional's City ini juga cukup mudah terutama via tol JORR, ke arah Jakarta dapat masuk di gerbang tol Pondok Ranji di sektor 7, dan ke arah Serpong/Tangerang lewat gerbang tol Pondok Aren di sektor 9.

Bila Anda sudah berkeluarga dan memiliki anak usia sekolah, tidak perlu jauh-jauh untuk mendapatkan pendidikan yang baik bagi buah hati Anda, dari mulai tingkat playgroup, TK, SD, SMP, SMA, hingga perkuliahan, antara lain di British International School, Sekolah Global Jaya, Sekolah BPK Penabur, dan Universitas Pembangunan Jaya.

Soal kesehatan, jangan khawatir, ada RS Premier Bintaro di sektor 7 yang siap melayani kebutuhan perawatan dan pemeliharaan kesehatan. Selain Rumah Sakit, beberapa Apotek yang ada di Bintaro Jaya juga memudahkan akses kita mendapatkan obat dan alat kesehatan lain.

Talk about kesehatan, tentunya kita sadari bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Salah satu caranya tentunya dengan berolahraga. Bintaro Jaya The Professional's City menawarkan banyak sekali pilihan, tinggal dipilih sesuai minat olahraga Anda. Bila ingin berenang tersedia kolam renang di sektor 1, ingin jogging bisa memilih Menteng Park, bersepeda di Kebayoran Park, mengayun raket di tennis court sektor 1, atau taking gym class di beberapa fitness center yang ada, bahkan Anda yang suka golf bisa driving di Driving Range sektor 9.


Menteng Park sektor 7, perwujudan nyata konsep Ecommunity Bintaro Jaya The Professional's City. Tempat favorit saya buat jogging nih! (as seen on my Instagram)

Tempat makan dan hangout? Don't worry, Bintaro Jaya The Professional's City punya semua. Heavy meal, light meal, coffee shop, western food, Japanese, Indonesian, Chinese food, you name it! Mulai dari food stall yang setiap malam ramai ada di kawasan parkir Bintaro Trade Center di sektor 7,  hingga restoran-restoran yang namanya tentu sudah familiar dengan Anda.


Urusan jasmani beres, urusan rohani nggak boleh dilupakan. Hal ini juga difasilitasi oleh Bintaro Jaya The Professional's City dengan adanya Mesjid Jami di sektor 1, gereja Katolik Santa Maria Regina di sektor 7, serta GKI Maleo di sektor 9 dan GKI Bintama di sektor 3.

Whoa! Banyak banget kan alasan untuk tinggal di Bintaro? So, bila Anda ingin merasakan sendiri asyiknya jadi Bintaro resident, come and live your life here in Bintaro Jaya the Professional's City! :)

***

Disclaimer: all the photos with my watermark are taken by me, while the other photos are courtesy of Bintaro Jaya :)

Sambel: Enjoy It While You Can!



Sebagai anak Indonesia yang baik dan menjunjung tinggi lidah cinta-local-food, ada dua hal yang (should be) selalu ada dalam menu makanan sehari-hari saya: sambel dan kerupuk.

Sambel dengan berbagai kreasinya emang membangkitkan nafsu makan banget, dimana buat saya masing-masing menu punya 'jodoh' sambelnya masing-masing. Nasi dan sayur asem plus ikan asin itu temennya sambel terasi. Kalau tempe mendoan dan tahu pletok, of course sambel kecap plus cabe rawit. Makan mie kocok? Sambel bawang putih then!

Serunya, mostly tempat makan menyediakan sambel free of charge dan free flow juga, alias silakan ambil sepuasnya. Biasanya si sambel disediakan di wadah-wadah plastik dan ditaruh di atas meja biar pengunjung langsung ambil. Tapi beberapa rumah makan sekarang udah menyediakan sambel ini sebagai menu terpisah alias harus bayar.

And as we know, komponen utama dalam sambal adalah CABE. No cabe, no sambel. But unfortunately, akhir-akhir ini harga cabe lagi melambung setinggi langit. Pagi ini, saat belanja ke pasar (hari Sabtu itu enaknya bangun subuh, lari pagi di Menteng Park Bintaro, pulangnya ke Pasar Modern Bintaro sektor 9, belanja sayur hihi) saya cukup stres ngedenger harga-harga bahan pangan, termasuk si cabe, yang mulai ngga bersahabat.

"Bang, cabe merah keriting lima ribuan!"
"Yah elah mbak, nih lima ribu cuma dapet segini!" (nunjukin sejumput cabe)
*shock* "Seriusan? Ya ampun mahal amat cabe. Ya udah se-ons, berapa?"
"Tujuh ribu" (lalu menambahkan cuma sekitar 3 buah cabe)
Oke. Mulai khawatir. Mulai khawatir kalau-kalau sambel-sambel free of charge di rumah makan mulai hilang dari peredaran. Khawatir kalau mau makan sambel aja harus extra cost nambah beberapa ribu rupiah di bill makanan. Khawatir kalau ke depannya sambel mulai nggak berasa pedes, gara-gara cabe yang dipakai masih belum cukup umur untuk memproduksi cukup capsaicin , suatu minyak atsiri di dalam cabe yang emang berfungsi sebagai penghasil rasa pedas.

So, permenungan saya pagi ini menghasilkan judul postingan kali ini: enjoy sambel while you can. Selagi masih ada sambel free of charge, selagi masih ada sambel yang berasa nendang. Please mulai sekarang kalo ada sambel gratis jangan ambil sesendok sayur tapi cuma dimakan secolek doang, kasian tuh yang beli cabe.

Oh ya, dan selagi saluran gastrointestinal masih bisa diajak kerjasama. Prinsip makan sambel: anything in excess will harm you.

Salam seuhah*!

*seuhah: Sundanese phrase to express pungency after eating something spicy :D

Saturday 6 July 2013

National Holiday Escape: Bogor!

Hari libur nasional adalah salah satu escape yang cukup menyenangkan buat karyawan kaya saya. Pertama, ada reduksi jam kerja, dan kedua, punya waktu lebih buat seneng-seneng.

Sebagai karyawan yang berusaha terdepan dalam prestasi liburan, saya emang hobi ngapalin hari-hari libur nasional dalam setahun. Sebenernya sih, alasan utama adalah karena sebagai newbie saya belum bisa ambil cuti, jadi hari libur nasional benar-benar menjadi sarana liburan buat saya dan teman-teman seangkatan.

Dan salah satu escape itu datang tanggal 6 Juni kemarin. Wah, libur di hari Kamis! Kejepit sih, dan, seperti yang sudah saya bilang tadi, Jumat-nya saya nggak bisa ambil cuti, jadi saya harus memikirkan liburan yang dekat dan bisa dijalani dalam 24 jam aja, tapi tetep fun dong.

Hasil ngobrol-ngobrol bareng temen-temen semasa kuliah (yang masih berjuang jadi karyawan di grup perusahaan yang sama, haha) memutuskan kita bakal pergi ke Bogor hari itu. Alasan utamanya, pengen nyobain naik commuter line! Oke, norak banget pasti kedengerannya buat yang tiap hari naik commuter line. Tapi buat anak-anak perantauan kaya kami, ini bakal jadi perjalanan pertama kami naik moda angkutan ini.

Rombongan pun terbentuk, terdiri dari saya, Kun, Grace, Austin, dan Nicha. Kami berlima beneran belum pernah ada yang nyobain naik commuter line, jadi semalem sebelumnya kami heboh diskusi di grup WhatsApp untuk mencari tahu tentang jadwal commuter line, yang diakhiri dengan kebingungan karena nggak bisa baca jadwal commuter line, yang, menurut kami, njelimet. Tapi kami modal nekat aja deh, pokoknya besok pagi janjian ketemu di stasiun.

Saya, Grace, dan Kun berangkat bareng dari Bintaro. Pagi-pagi, walaupun ujan kami udah kece kumpul di Alfamart pengkolan menuju stasiun (enggak banget yak, nunggu di pengkolan), lalu kami jalan kaki ke Stasiun Pondok Ranji. Berdasarkan rules bahwa ‘petugas berseragam adalah tempat yang tepat untuk bertanya saat tersesat’, kami pun bertanya pada petugas loket karcis, gimana cara kami bisa mencapai Bogor dengan commuter line. Ternyata, kami bisa membeli tiket terusan seharga Rp 17.000 dari Pondok Ranji menuju Bogor. Jadi dari Pondok Ranji kami naik comline menuju Tanah Abang, nah dari Tanah Abang pindah ke comline yang menuju Bogor.

Karcis comline berupa suatu kartu chip yang harus kita scan supaya kita bisa masuk peron. Bener-bener mirip sama pengalaman jaman dulu naik Metro di Paris (kurang gaul emang, pernah naik Metro Paris tapi nggak pernah naik comline di Jakarta). Kereta menuju Tanah Abang pun tiba dengan kondisi sangat full house alias dempet-dempetan. Tapi walaupun dalam posisi dempet-dempetan begitu, kami bertiga tetep bisa ngobrol dengan asyik, sempet gosipin orang segala bahkan (ups).

Karcis commuter line dan sedikit sneak peek interior com (as seen on my Instagram )

Sampai di Tanah Abang, dasar kurang cerdas, kami santai aja mengikuti arus orang-orang yang sama-sama baru keluar dari kereta. Eh, ternyata kami salah jalur! Kami malah keluar (dan dengan begonya kartu karcis kami serahkan ke petugas exit), padahal harusnya kami pindah ke jalur 5 instead of exit. Tapi dasar bocah-bocah selow, kami pun menghampiri bapak petugas.
‘Pak, kita harusnya pindah jalur soalnya mau ke Bogor, tapi kita malah keluar..’
‘Ya udah, beli karcis lagi Mbak.’
‘Yah pak, tadi kami udah beli yang terusan ke Bogor…’
Entah karena tampang kami yang terlalu kasihan atau emang bapak petugasnya baik, beliau pun me-rescan tumpukan kartu di depan beliau, demi mencari 3 kartu karcis milik kami (pasti ke-track, soalnya karcis kami kalau di-scan muncul tulisan BOO yang artinya memang karcis tersebut terusan sampai stasiun Bogor). 
Setelah kurang lebih 5 menit, ketemulah tiga kartu milik tiga anak dodol ini. Kami pun mengucapkan beribu terimakasih pada bapak petugas baik hati tersebut (‘Harusnya nggak boleh loh Mbak! Tapi saya kasihan kalau Mbak harus beli tiket lagi. Kan bisa buat beli yang lain’.) dan segera menuju jalur 5.

Kereta menuju Bogor pun datang, dan isinya kosong melompong. Comline ini sebenarnya bersih loh dan cukup oke kalau lagi kosong, dan ada gerbong khusus wanita-nya, plus ada security yang siap 'mengusir' siapapun yang berjenis kelamin pria yang berani duduk di gerbong khusus wanita ini. Kami sempat berhenti sebentar di stasiun Duren Kalibata untuk bertemu dengan Nicha dan Austin (mereka naik dari stasiun itu). Oh ya, kalau naik comline ini sistemnya kaya kita naik transJakarta, jadi kalau nggak keluar peron ya nggak perlu beli karcis lagi.

Full team, kami tiba di Bogor sekitar pukul 11, dan disambut dengan cuaca mendung dan dingin. Uh, bener-bener perfect banget buat jalan-jalan! Keluar stasiun, kami naik angkot nomer 03 menuju ke daerah Taman Kencana, karena dari hasil browsing-browsing, di daerah sekitar Taman Kencana banyak tempat makan-makannya. Naik angkotnya sih waktu itu dua ribu perak per orang, tapi itu waktu BBM belum naik sih.

Sampai di daerah Taman Kencana, kami pun agak kalap karena ternyata beneran banyak banget tempat makan disana. Dan inilah rute makan-makan kami hari itu:


1.       Lasagna Gulung dan Macaroni Panggang
Resto ini letaknya di Jalan Salak, kami sih memilih makan lasagna, macaroni-nya buat dibawa pulang. Tempatnya adem banget, rumahnya bergaya jaman dulu dengan konsep terbuka. Tempat duduknya ada yang berupa sofa, ada tempat duduk meja-kursi biasa, ada juga yang lesehan. Seperti namanya menunya ya lasagna dengan berbagai isian. Kami memilih beef lasagna dan shrimp cannelloni. Rasanya enak banget! Harga lasagna gulungnya sekitar 70 ribu per gulung kalau nggak salah, sedangkan cannelloni-nya sekitar 35 ribu per porsi. Tapi dari segi rasa saya lebih prefer shrimp cannelloni nya, mungkin karena beef lasagna udah umum aja ada dimana-mana.
Atas: Beef Lasagna. Bawah: Shrimp Cannelloni (as seen on my Instagram )
2.       Rumah Cupcakes
Rumah Cupcakes ini terletak di Jalan Sanggabuana (sebelahan banget sama Jalan Salak). Bentuknya café yang unyu banget, nuansanya serba pink dan putih, sampai mas-mas pramusajinya pun seragamnya pink. Menunya sebenarnya beragam tapi kami memilih makan cupcakes aja disini. Favorit saya cashew nuts cupcake dan blue velvet, karena rasanya nggak terlalu manis, pas deh pokoknya. Salah satu yang saya suka dari café ini adalah WC nya yang super bersih dan oke interiornya. Karena konsep café nya yang unyu-unyu, kami berlima menghabiskan cukup banyak waktu untuk foto-foto kurang penting di sini (memanfaatkan aplikasi PuddingCam di smartphone si Austin).

Various mini cupcakes (clockwise: strawberry, chocolate, bluberry, cashewnuts) (as seen on my Instagram )

Blue Velvet cupcake (as seen on my Instagram )

Taking pics ^^ (as seen on my Instagram )

Taking pics, front-camera edition :D (as seen on my Instagram )
3.       Pia Apple Pie
Setelah kenyang makan cupcake (dan kenyang foto-foto) kami move on ke destinasi kuliner selanjutnya: Pia Apple Pie di Jalan Pangrango. Walaupun nama restonya Pia Apple Pie tapi ada banyak juga hidangan lain selain apple pie disini, misalnya ada pie coklat, aneka minuman seperti smoothies dan kawan-kawan, serta beberapa menu heavy meal (kebanyakan western food). Kami sih tetap memilih memesan apple pie ukuran medium terus makannya bagi-bagi. Keistimewaan apple pie disini menurut saya adalah isi apple jam-nya yang tuebel banget! Saya sih suka, apalagi aroma cinnamon alias kayu manisnya kerasa banget (cinnamon plus apel itu juara!). Pie crust-nya juga cukup enak, walaupun buat saya sih agak kurang garing.
Medium apple pie

A piece of apple pie dan isiannya yang tebaaal :D (as seen on my Instagram )

Oh ya, untuk interiornya, resto ini cukup sederhana, warna dasar interiornya putih dengan beberapa bagian tembok bata merah unfinished, dan tentunya ada gambar pohon apel dimana-mana disertai beberapa quotes yang cukup unik yang semuanya bercerita tentang apel.
Salah satu sudut resto

4.       Kedai Kita
Sebenarnya perut kami sudah lumayan kenyang karena serbuan banyak makanan, tapi salah seorang teman bilang bahwa kami harus mencoba pizza tungku di Kedai Kita Jalan Pangrango (letaknya hadep-hadepan sama Pia Apple Pie kok). Kami pun menuju kesana daaaan… Penuh banget!! Perasaingan mendapatkan tempat duduk benar-benar ketat sampai kami berlima terpaksa berpencar dan mengawasi meja-meja yang keliatannya udah akan ditinggal penghuninya. Hampir setengah jam, kami rasanya ingin menyerah (bahkan sempet ada insiden Grace hampir ribut gara-gara rebutan tempat sama orang haha), tapi untung Mami Nicha sebagai ibu Negara yang baik dan benar mendapatkan tempat buat kami berlima. Kami pun memesan signature dish di tempat ini yaitu pizza tungku dan beberapa heavy meal lain. Pizza tungkunya rasanya enak (kami pesan BBQ pizza), tapi ifumie yang kami pesan rasanya kurang cetar. Pangsit gorengnya lumayan enak. Strawberry juice yang saya dan Grace pesan sebenarnya adalah signature beverage juga dari resto ini, tapi sayangnya strawberry juice batch kami rasanya kurang asik (mungkin karena hari itu restonya penuh banget kali ya, jadi pelayanannya kurang maksimeum hehehe).
Ifumie

BBQ pizza
5.       Death by Chocolate
Perut rasanya udah full house banget, tapi kami masih men-challenge diri kami dengan destinasi (yang untungnya) terakhir kami: Death by Chocolate di Jalan Ceremai. Jadi dari Kedai Kita kami jalan kaki menyusuri Jalan Ceremai berhubung kami kira nggak ada angkot yang lewat. Sudah jalan sekitar 50 meter, eh, ternyata ada angkot yang lewat. Hahaha, berasa bego. Tapi udah terlanjur, lanjut aja jalan kaki. Sayangnya disini trotoarnya kurang bersahabat buat pedestrian, tapi pepohonannya cukup rindang (semi-hutan malah menurut kami).
While walking menyusuri Jl Ceremai :)
Sampai di DbC kami pesan chocolate cake, yang rasanya emang ‘mematikan’ banget, just like the name of the café, soalnya coklat buanget deh rasanya. Kenyang pol. Disini interior tempatnya kaya Rumah Hantu di Dufan gitu, nama-nama dish and beverage-nya pun serem-serem, saya juga lupa sih exactly namanya apa, tapi ada yang kira-kira sounds like ‘Bola Mata Drakula’ yang sebenarnya adalah puding (sorry no pics available >.<)

Beres dari DbC, kami kembali jalan ke arah Taman Kencana buat naik angkot yang menuju ke arah stasiun. Sampai stasiun kami kembali ngantri tiket comline (kali ini udah pinter naik comline) dan seperti biasa gosip sepanjang jalan Bogor-Tanah Abang.
Masih sempat narsis di comline dengan bantuan front-camera ^^ (as seen on my Instagram )

Sampai Tanah Abang, kembali saya, Grace, dan Kun sebagai pejuang Bintaro lanjut kereta yang ke arah Serpong dan turun di Pondok Ranji. Jam menunjukkan pukul 20.30 saat kami touchdown Pondok Ranji (dan saya masih sempet jajan semangkuk baso sebelum pulang ke kosan, luar biasa gembul sekali). Berakhirlah sehari di Bogor bersama ‘geng’ DXG, yang syukurlah sekarang sudah bisa naik comline.

Sebenarnya masih banyak hal-hal dalam list perjalanan ini yang tidak terlaksana karena waktu yang terbatas, contohnya kami belum ke Kebun Raya Bogor (sebenarnya ini keinginan pribadi saya. Yang lain udah ogah berkunjung ke tempat-tempat kaya gitu, kayanya gara-gara udah muak jaman kuliah Botani Farmasi dulu dicekokin segala macam pengetahuan tanaman), plus kami belum ngasih makan dan foto bareng rusa-rusa kece yang ada di Istana Presiden Bogor (sempat lihat dari angkot doang, they’re soooo cute! Dan jumlahnya buanyak bangett berkeliaran di taman Istana Bogor, duh pokoknya unyu maksimal). 

Nggak tahan untuk nggak posting foto rusa-rusa imut Istana Bogor :D (photo courtesy of antaranews.com )

Tapi walaupun nggak semua destinasi sempat dijelajahi, overall kami puas banget bisa main ke Bogor hari itu (and, seriously, hemat! Saya menghabiskan sekitar IDR 120K buat transport dan semua makanan tadi) Destinasi untuk libur nasional berikutnya belum ditentukan nih, any idea? :D :D

Wednesday 3 July 2013

Traveling Rules: Urinasi Selagi Sempat, Makan Selagi Tersedia!



Yupp!! Dua rules itu yang selalu saya pegang bener-bener saat menjalani pekerjaan saya, yang membuat saya menghabiskan setengah waktu hidup saya berada di perjalanan dengan berbagai moda angkutan: pesawat, bus, kereta api, mobil, travel, taksi, ojeg, becak, semua.

Pertama: urinasi alias buang air kecil lah selagi sempat. Selagi tersedia WC yang cukup eligible dijadikan tempat berhajat. Selagi tersedia air mengalir yang cukup bersih dan tisu untuk seka-seka.

Kenapa? Simpel. Dalam perjalanan kita nggak bakal selalu mempunyai kesempatan untuk melaksanakan salah satu fungsi fisiologis penting tubuh ini. Padahal, urinasi penting sekali dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrololit dalam tubuh, plus menahan-nahan urinasi, seperti yang kita tahu, akan menyebabkan akumulasi kristal oksalat yang akhirnya dapat berujung pada suatu penyakit yang kita sebut batu ginjal.

Dalam satu sesi perjalanan ‘mengarungi’ Pantura by travel, sang bapak sopir berhenti di salah satu SPBU dan mempersilakan penumpang buat buang air. Saya melongok WC-nya, ya ampun, keinginan urinasi langsung hilang melihat kondisi dan semeriwing aroma si WC. Nyesel banget, kenapa tadi nggak pipis di pool travel dengan kondisi WC yang masih agak aduhai. Sejak kejadian itu, tiap ketemu WC yang cukup potensial dijadikan tempat urinasi, saya pasti urinasi, whether itu lagi kebelet atau engga sama sekali. Ya itu tadi, daripada nggak nemu WC lagi sepanjang jalan?

Salah satu dosen saya semasa kuliah pernah berujar, otot kandung kemih kita adalah otot skelet, jadi seharusnya keinginan urinasi bisa kita atur sesuai keinginan kita: isi kandung kemih bisa kita tahan saat belum pengen atau belum bisa, dan bisa kita keluarkan saat kita inginkan. (FYI, ada 3 jenis otot di tubuh, salah satunya otot skelet, dengan salah satu cirinya adalah diatur oleh sistem saraf somatik sehingga sifatnya voluntarily controlled. More info kindly visit this link ).

Tapi, kadang teori tinggallah teori. Sebagaimanapun kuatnya saya menahan si otot skelet buat menangguhkan urinasi, tapi dia selalu bisa membuat saya resah gelisah sepanjang perjalanan. Pernah nih, saya berada dalam perjalanan dari Makassar menuju ke Jakarta. Pas masih boarding rasanya nggak ada hasrat sama sekali buat urinasi. Eh setelah beberapa saat di pesawat, dengan induksi dari segelas air mineral dan segelas apple juice, perasaan ingin urinasi mulai muncul. Tapi dasar males gerak, saya tangguhkan kegiatan urinasi. Nggak berapa lama, saya bener-bener nggak tahan. Sialnya, saat itu pilot udah mengeluarkan pernyataan prepare for landing, sehingga WC pesawat tidak bisa digunakan. Duh, terpaksa ditahan lah ini, dengan perkiraan 10 menitan lagi bisa sampai ground dan touchdown WC bandara. Ternyata! Hari itu traffic Bandara Soetta sedang penuh-penuhnya sehingga pesawat saya harus berputar-putar dahulu di udara karena menunggu izin landing. Huaaa… Menahan urinasi itu sangat menyiksaaa…. Sampai akhirnya pesawat landing, saya langsung heboh lari-lari mendapati WC terdekat. Fyuuh, lega bangeeet saat akhirnya bisa urinasi!
**

Kedua, makanlah selagi ada makanan tersedia di depan kita. Nggak, bukan bermaksud menyuruh jadi rakus, tapi janganlah mengabaikan makanan karena alasan kita nggak laper, nggak pengen, apalagi pengen diet (inget! Rules ini setting-nya lagi traveling ya!).
Asli hasil jepretan saya nih beberapa kuliner yg saya temui saat kerja :D (as seen on my Instagram )


Kenapa? Karena dalam perjalanan, kita nggak tahu kapan lagi kita bisa ketemu makanan, alias kita nggak tahu kapan lagi kita bisa makan. Syukur-syukur kalau kita traveling menuju destinasi yang sudah kita kenal baik medannya, jadi kita bisa tahu kira-kira kapan dan dimana akan dapet makanan. Nah yang masalah adalah saat kita nggak tahu apa-apa soal tempat yang bakal kita tuju. Kalau kota besar mungkin gampang ya nemuin convenience store yang buka 24 jam. Lah saya sering kebagian upcountry ke kota-kota yang bahkan udah mulai sepi jam 7 malem.

Setiap kali naik penerbangan yang menyediakan meal, mau laper atau nggak, suka menunya tau nggak, saya pasti menyikat habis meal tersebut. Mama saya pernah berujar, dalam perjalanan, apapun bisa terjadi. Salah satunya adalah kecelakaan (amit-amit getok meja duaribu kali) dimana dalam kondisi seperti itu, kita nggak tahu kapan lagi kita bisa makan. Selain itu, traffic jam yang sulit diprediksi, hal-hal teknis yang menyertai perjalanan, semuanya sulit diprediksi. That’s why, saya selalu makan setiap kali saya bisa menemukan makanan dalam perjalanan, yang tentunya cukup bersih dan bergizi juga.

Salah satu cara mencegah kelaparan dan kehausan tentunya dengan bawa bekel makanan ringan buat dicemil di jalan. Buat saya pribadi, air minum, permen (pertolongan pertama pada light hypoglicaemia buat saya), dan syukur-syukur biskuit (oatmeal biscuit is the best!) adalah must have items tas saya, selain barang-barang live saving lain (sebut saja payung, lipstik, dan power bank).
**

Well, itu tadi sedikit penjabaran saya mengenai dua rules teratas dalam hidup nomaden a la saya. Jadi karyawan dengan jobdesc kebanyakan-di-jalan-jarang-di-rumah gini emang sedikit banyak membuat saya jadi harus prepare buat hal-hal unexpected, tapi bukan berarti nggak bisa diprediksi dan disiasati kok.

Cheers, and happy traveling!