Tuesday 20 October 2015

How I Survived in London


Sudah menjadi rahasia umum kalau London adalah salah satu kota metropolitan tersibuk, terpadat, sekaligus termahal di Eropa. Setahun menjadi penduduk London dengan status mahasiswi berbeasiswa tentunya membutuhkan banyak intrik, agar uang beasiswa tetap bisa mencukupi kebutuhan hidup. Syukur-syukur malah bisa menabung buat jalan-jalan dan mencukupi kebutuhan tersier lainnya.

Di postingan ini saya akan coba menjabarkan langkah-langkah yang dulu saya tempuh agar bisa survive di London, materially maupun mentally. Iya, kekuatan mental juga diperlukan loh dalam menghadapi London yang cukup berbeda dari Indonesia. Yuk, coba kita lihat satu-satu!

1. Forget those high street shops, go to the charity ones!
Saya sengaja nggak membawa banyak baju dari Indonesia waktu saya pergi ke London. Alasan pertama, karena koper saya sudah dipenuhi oleh bumbu-bumbu masakan Indonesia, rice cooker, bahkan cobek kayu. Dan alasan kedua, karena saya yakin baju-baju tropikal yang biasa saya pakai di Indonesia tidak akan sanggup menahan udara dingin Kota London, jadi lebih baik beli baju di sana.
Salah satu pilihan hemat untuk mendapatkan baju bagus dengan harga terjangkau adalah charity shops yang banyak sekali tersebar di seluruh London. Charity shops ini biasanya dikelola oleh yayasan-yayasan kemanusiaan dan digunakan untuk menggalang dana bagi yayasan tersebut. Beberapa charity shops yang cabangnya ada dimana-mana contohnya Oxfam, Cancer Research UK, British Heart Foundation, dan banyak lagi.
Jangan khawatir soal kualitas, asalkan kita pintar memilih, pasti bisa dapat barang yang bagus dengan harga terjangkau! Saya bisa mendapatkan jumper musim dingin seharga £5 saja, teman saya bahkan membeli coat tebal hanya dengan £10. Kenapa harganya bisa terjangkau begitu? Itu karena mereka hampir tidak mengeluarkan modal untuk barang-barang tersebut. Barang-barang yg ada di charity shop adalah barang yang disumbangkan secara cuma-cuma oleh orang lain yang sudah tidak membutuhkannya. Menarik sekali kan, konsepnya?
Selain pakaian, charity shops juga menjual peralatan rumah tangga seperti piring, gelas, dan kawan-kawannya, DVD, dan favorit saya: buku second hand. Saya cukup girang karena bisa mendapatkan tiga buku Jane Austen, hard cover, hanya dengan £5 saja! Benar-benar kebahagiaan. Plus, kenapa saya suka belanja di charity shops, adalah karena saya tahu sembari berbelanja saya menyumbang (walaupun tidak banyak) uang kepada kegiatan sosial yayasan tersebut.

2. Doing exercise while saving
Jalan kaki adalah salah satu hobi saya selama di London. Trotoar yang sangat nyaman memang sangat mendukung kebiasaan ini. Mungkin ini alasannya saya jarang jalan kaki di Indonesia, karena tidak semua tempat mempunyai trotoar yang mumpuni. Kalau nekat jalan di pinggir jalan, ya sudah harus siap diklaksonin sama mobil yang melintas.
Saya tinggal sekitar 2 mil dari sekolah, oleh karena itu saya membutuhkan sarana transportasi setiap harinya. Biasanya saya naik tube atau underground, atau bis. Harga tiket terusan untuk periode 30 hari adalah £89 untuk tube zona 1 dan 2 serta bus, dan £56 untuk bus saja.  Lumayan kan bedanya? Jadilah untuk bulan-bulan terakhir saya di London, saya hanya langganan bus pass saja. Kadang malah sama sekali tidak berlangganan dan memilih berjalan kaki. Keuntungannya adalah badan jadi sehat! Bahkan bobot badan saya bisa turun sekitar 5kg loh saat di London!



3. Enhance your cooking skill!
Cooking is absolutely a great way to save up some money! Berbeda dengan di Indonesia dimana harga makanan ready-to-eat bisa jadi hampir sama dengan harga belanja bahan mentah untuk masak, harga makanan ready-to-eat alias siap saji di London itu mahalnya nggak nahan! Salah satu dugaan saya mengapa hal tersebut bisa terjadi adalah 1) tingginya biaya jasa orang-orang yang memasak dan melayani penjualannya, dan 2) tingginya harga sewa tempat berjualan.
Sebagai perbandingan, satu kotak sandwich yang terdiri dari dua lembar roti, beberapa lembar salami, dan sayuran harganya kurang lebih £3.5. Sedangkan harga belanja satu pak roti isi 12 lembar, satu pak salami isi 10 lembar, dan satu bag sayuran segar harganya hanya sekitar £5, bisa buat 5 kali makan.
Alasan lain masak sendiri adalah mengobati kerinduan pada masakan Indonesia. Lama-lama rasanya bosan loh makan makanan Barat. Skill masak saya memang cukup meningkat selama di London. Di London-lah saya belajar masak rendang, opor, sambal goreng, sayur lodeh, aneka soto. Kreativitas saya juga meningkat sekali, saya bisa banget masak pasta dengan sambal balado, atau nasi goreng aneka variasi.
Biasanya saya masak di malam hari sebanyak dua porsi, satu porsi untuk makan malam itu, dan satu porsi untuk bekal makan siang keesokan harinya. Dalam seminggu saya biasanya belanja groceries sekali, dan menghabiskan sekitar £10 hingga £15, dan itu cukup untuk membuat makanan selama satu minggu tersebut.
Halangan dalam memasak adalah pada saat jadwal kuliah sedang padat-padatnya. Saat itu rasanya punya waktu lebih buat tidur saja sudah syukur, boro-boro masak. Jadi untuk saat-saat seperti ini, masak terpaksa dihentikan dahulu dan mulailah saya bergantung pada makanan-makanan siap saji dan microwaveable, alias tinggal buka-microwave-makan.



4. Grab that almost-expired discount
Ngomong-ngomong makanan siap saji dan microwaveable, di London banyak sekali supermarket yang menyediakannya. Tesco, Sainsbury's, M&S, Waitrose, adalah beberapa nama supermarket langganan saya. Dan karena London adalah kota besar, maka hampir tiap 200 meter ada supermarket, so convenient.
Soal rasa, menurut saya M&S adalah yang paling enak. Unfortunately, salah satu yang termahal juga. Untuk menyiasatinya, pintar-pintarlah mencari barang dengan reduced price. Biasanya makanan segar yang sudah akan expired keesokan harinya, harganya sudah menjadi setengah harga normalnya. Asik kan? Bisa makan enak tapi tetap hemat!

5. Sharing is caring
Saya suka masak bareng teman-teman di flat. Kebetulan ada beberapa anak dari Indonesia juga yang satu flat sama saya. Setiap kali salah satu dari kami masak dengan porsi yang cukup besar, pasti saling berbagi. Biaya belanja bisa dibagi, plus keuntungan lain tentunya adalah mempererat silaturahmi.


6. Manage your account
Saya menggunakan bank ini selama saya tinggal di UK. Keunggulan dari bank tersebut menurut saya adalah karena dia memiliki dua jenis account yang 'satu namun terpisah'. Akun pertama adalah akun untuk transaksi sehari-hari, dilengkapi dengan debit card. Akun kedua adalah saving account, yang tidak bisa digunakan untuk transaksi. Setiap kali saya menerima kiriman uang beasiswa, saya langsung transfer sebagian besar ke akun saving saya, dan hanya menyisakan sedikit di akun transaksi. Hal ini cukup berguna untuk mengerem kebiasaan belanja saya. Keuntungan lain melakukan hal seperti ini adalah keamanan yang lebih terjamin jika amit-amit kartu debitnya hilang atau terjadi fraud lewat online banking.

7. Hey, those parks and gardens and museums are absolutely FREE!
Entertaining ourselves tentunya adalah hal yang nggak boleh dilupakan. Belajar terus-menerus tanpa jeda juga akan membuat jenuh, sehingga refreshing sudah jelas dibutuhkan. Asyiknya, di London banyak banget kegiatan hiburan yang bisa kita dapatkan secara free alias gratis!
Pertama adalah museum. Seperti yang saya jabarkan di postingan terdahulu, museum tuh adalah tempat yang asyik loh buat refreshing. Museum-museum banyak berjejeran di daerah South Kensington, ada pula British Museum yang lokasinya dekat UCL.
Kedua adalah taman kota, nah kalau ini lengkapnya bisa disimak di postingan ini.
Selain itu, banyak juga event atau exhibition seni yang semuanya gratis. Untuk event biasanya diadakan di Trafalgar Square atau Covent Garden. Rajin-rajin aja baca koran (yang juga gratis dan bisa didapatkan di setiap stasiun), atau follow Facebook atau Twitter tentang London.


Kira-kira begitulah saya berusaha menghemat pengeluaran saya, sekaligus menabung untuk kegiatan lain seperti jalan-jalan. London memang mahal, tapi bukan berarti nggak bisa disiasati kok!