Friday, 24 July 2015

Ketika Semuanya Berakhir

London, 22 Juli 2015. Saya bangun pukul 9.30AM, setelah hanya tidur beberapa jam saja. Satu setengah jam kemudian saya sudah berada di Cruciform Hub, kembali menghadapi sebuah file berjudul 'Dissertation.docx'.

5PM. Setelah jam-jam penuh kegalauan dan komat-kamit berdoa, saya menekan tombol Ctrl+P. Dua puluh menit (dan tujuh belas British pound sterling) kemudian, tiba-tiba saya mendapati dua bundel cetakan disertasi saya. Suatu kata benda yang menjadi momok saya selama sembilan bulan terakhir, yang menjadi sarapan dan selimut tidur malam saya. Yang menjadi inti dari doa-doa saya, yang menjadi topik curhatan di WhatsApp, LINE call, sekolah, bahkan dapur flat.

5.30PM. Saya berjalan menyusuri Euston Road ditemani sinar matahari sore. Cerah, namun tidak menyengat. Bahkan angin kota London terasa begitu ramah. Dua bundel cetakan disertasi tersebut ada dalam map di dekapan saya, siap dijilid rapi di sebuah tempat penjilidan di sekitar King's Cross. Saya menikmati setiap langkah sambil memandang bus-bus merah bertingkat, menikmati aksen cantik dari para Britons yang tertangkap oleh telinga saya kala saya berjalan.

Lalu tiba-tiba semuanya terasa tidak nyata.

Saya sudah sampai sejauh ini. Saya sudah menyelesaikan semua tugas-tugas yang diwajibkan kepada saya sebagai mahasiswi. Dan itu berarti, saya sudah sampai di penghujung program Master ini. Suatu program yang kadang membuat saya mempertanyakan kewarasan saya: 'kenapa dulu lu nekat ambil S2 di UCL sih, Ties?'

Berakhir sudah malam-malam dengan tidur minimalis. Tidak akan ada lagi cerita dramatis memperebutkan seonggok tempat belajar di perpustakaan, atau komputer dengan posisi paling mantab di computer cluster. Penjaga perpustakaan School of Pharmacy mungkin akan merindukan saya, yang selalu pulang ketika perpus hampir tutup. Dan yang selalu pinjam laptop di perpustakaan karena malas bawa laptop berat-berat dari rumah. Dan saya juga akan merindukan segelas kopi murah-namun-tidak-enak-sama-sekali di kantin sekolah, sebatang Eat Natural rasa yoghurt and almond yang selalu menjadi penyelamat saya di saat lapar.

Kemana jam-jam penuh keputusasaan menatap puluhan jurnal yang harus dibaca dalam dua malam? Kemana waktu-waktu penuh ketakutan menghadapi ujian dan presentasi? Kemana perginya saat-saat penuh air mata karena merasa gagal mendapatkan nilai yang memuaskan?

Ya, saya tidak bisa percaya ini semua sudah berakhir. 

Lega?
Tidak juga.

Tentunya karena nilai saya belum keluar, saya belum dinyatakan sah menjadi seorang Master. Plus topik disertasi saya terlalu menarik untuk tidak dipublikasikan (baca: saya butuh second round survey untuk meningkatkan response rate (baca lagi: habis ini saya tetap harus kerjain proyeknya)), sehingga masih banyak yang menunggu di depan mata.

Tapi jujur, saya merasa kosong sekali segera setelah menyerahkan semua disertasi saya kepada pihak sekolah. Selama 10 bulan terakhir, UCL memaksa saya berlari terus menerus. Sprint, bukan jogging. Dan terus menerus. Saat saya ingin berhenti, UCL mencambuk saya dengan memberi saya nilai yang membuat saya tersenyum pahit. Rasanya dengan effort setara, saya bisa dapat A saat S1 dulu, tapi level maksimal saya ternyata hanya level main-main buat Universitas ini. Jadilah saya diam mendekam di perpus manapun yang saya suka, atau di coffee shop manapun yang bisa membangkitkan inspirasi. Membiarkan liburan-liburan Natal dan Paskah saya lewat begitu saja demi kelulusan dari program ini, walaupun dengan perasaan iri pada teman-teman yang bisa berlibur kemana-mana.

Dan yah, saat semua life routine tersebut tiba-tiba berhenti di hari ini, saya merasa berada dalam ketidaknyataan. Namun di sisi lain, saya lega setengah mati karena saya selamat secara akademik menjalani semua kegilaan ini. Semua mata kuliah saya sudah dinyatakan lulus (kecuali tentunya untuk disertasi ini) sehingga saya terhindar dari kewajiban re-sit ujian.

*

London, 24 Juli 2015. 01.38AM dan saya masih terjaga. Badan saya masih belum bisa menerima ritme baru untuk tidur sebelum jam 2 pagi.

Ketika semuanya berakhir, saat itulah kita merefleksi semua yang sudah terjadi. Dan saat itu pulalah, kita menyadari bahwa selalu ada kekuatan dalam diri kita yang membuat kita mampu melewati semua hal-hal yang awalnya kelihatan tidak nyata. Ya, seperti apa yang dikatakan mendiang Nelson Mandela, everything seems impossible until it is done



3 comments:

  1. so, now is dessert-time :D #makanmakan

    ReplyDelete
  2. well...its an abundance ...it's a bless from the universe...it's a live journey
    good luck for the final battle :)

    now the big question is what next ?

    ReplyDelete
  3. Inspirational story... really nice... want to follow you... :)

    ReplyDelete