Beberapa hari
yang lalu saya mendapat kabar dari mama saya bahwa ada sepucuk surat
datang dari sahabat saya Vava yang sedang bersekolah di Jerman. Nggak
sabar untuk segera pulang ke rumah, akhirnya kemarin saya pun membaca
surat tersebut.
Two pages, one litre of tears. Itulah kira-kira summary setelah saya membaca surat tersebut. Surat dari Vava ditulis dengan tulisan tangannya, dan isinya semua tentang cerita-cerita penuh cita dari Weingarten.
Two pages, one litre of tears. Itulah kira-kira summary setelah saya membaca surat tersebut. Surat dari Vava ditulis dengan tulisan tangannya, dan isinya semua tentang cerita-cerita penuh cita dari Weingarten.
Letter fromVava :) |
Handwritten letter. Sudah berapa lama ya
sejak terakhir kali saya menerima surat yang ditulis dengan tulisan
tangan seperti ini? I realize that I'm an e-generation: saya tumbuh
besar dalam dunia yang memanjakan saya electronically. E-mail,
e-messenger, e-card, e-payment, e-banking, you name it. Yes, they are
helpful. But when we talk about social relationship, that e- thingy may
loosen up the warmth of greet someone non-electronically.
Saya dan Vava bukannya nggak pernah menggunakan kecanggihan dunia seperti e-mail, video call via Skype, chat via WhatsApp atau Facebook, dan lain-lain yang bisa di-support oleh gadget kami masing-masing. Tapi malam itu, saat saya membaca surat dari Vava, saya menyadari, ada makna yang lebih dalam, yang lebih emosional, pada handwritten letter tersebut.
Betapa saya merasa dua juta kali lebih kangen pada sahabat saya ini saat membaca tulisan tangannya. Tulisan tangan yang sama yang sudah saya kenal sejak kami berteman dari SMP, 12 tahun yang lalu. Tulisan tangan yang sama yang mati-matian mengajari saya rangkaian listrik saat les Fisika karena saya segitu bodohnya soal hal itu. Tulisan tangan yang sama yang mencoret-coret partitur lagu yang kami gunakan untuk berlatih choir. Aplikasi-aplikasi surat elektronik boleh mempunyai ribuan font style, ratusan emoticon, puluhan warna warni, tapi semuanya nggak bisa membuat saya meneteskan air mata seperti ini. Dan rasanya cerita-cerita yang tertuang dalam surat tersebut terasa lebih nyata karena saya membayangkan Vava melakukan effort lebih untuk capek-capek menulis tanpa bantuan keyboard gadget.
Dan memikirkan betapa sepucuk surat ini, tinta-tinta yang tergores di dalamnya, dalam naungan sebuah amplop ini, harus melewati Samudera Hindia untuk bisa sampai dari Weingarten di Jerman ke Cimahi di Indonesia, rasanya ada semacam emotional added value disitu, terasa lebih meaningful dibandingkan yang sampai dalam hitungan detik.
Yup, handwritten letter is meaningful but sometime it is forgotten. Handwritten letter menurut saya akan mengungkapkan secara lebih emosional apa yang hendak disampaikan oleh sang pemberi pesan kepada penerimanya. Ya karena itu tadi, dibutuhkan effort lebih serta afeksi yang besar. Tulisan tangan adalah signature yang khas dari seseorang, tidak identik seperti halnya font style yang akan memiliki rupa fisik yang sama walaupun diketikkan oleh individu yang berbeda.
So, let's greet people we love by our handwrite. Nggak harus selalu, tapi mari menyempatkan diri melakukannya sesekali. Letter, cards, anything. Lebih tidak efektif secara waktu dan biaya mungkin iya, tapi saya pribadi percaya, lewat cara ini ada lebih banyak afeksi yang bisa kita tunjukkan pada orang-orang tersayang.
Happy handwriting! :)
Saya dan Vava bukannya nggak pernah menggunakan kecanggihan dunia seperti e-mail, video call via Skype, chat via WhatsApp atau Facebook, dan lain-lain yang bisa di-support oleh gadget kami masing-masing. Tapi malam itu, saat saya membaca surat dari Vava, saya menyadari, ada makna yang lebih dalam, yang lebih emosional, pada handwritten letter tersebut.
Betapa saya merasa dua juta kali lebih kangen pada sahabat saya ini saat membaca tulisan tangannya. Tulisan tangan yang sama yang sudah saya kenal sejak kami berteman dari SMP, 12 tahun yang lalu. Tulisan tangan yang sama yang mati-matian mengajari saya rangkaian listrik saat les Fisika karena saya segitu bodohnya soal hal itu. Tulisan tangan yang sama yang mencoret-coret partitur lagu yang kami gunakan untuk berlatih choir. Aplikasi-aplikasi surat elektronik boleh mempunyai ribuan font style, ratusan emoticon, puluhan warna warni, tapi semuanya nggak bisa membuat saya meneteskan air mata seperti ini. Dan rasanya cerita-cerita yang tertuang dalam surat tersebut terasa lebih nyata karena saya membayangkan Vava melakukan effort lebih untuk capek-capek menulis tanpa bantuan keyboard gadget.
Dan memikirkan betapa sepucuk surat ini, tinta-tinta yang tergores di dalamnya, dalam naungan sebuah amplop ini, harus melewati Samudera Hindia untuk bisa sampai dari Weingarten di Jerman ke Cimahi di Indonesia, rasanya ada semacam emotional added value disitu, terasa lebih meaningful dibandingkan yang sampai dalam hitungan detik.
Yup, handwritten letter is meaningful but sometime it is forgotten. Handwritten letter menurut saya akan mengungkapkan secara lebih emosional apa yang hendak disampaikan oleh sang pemberi pesan kepada penerimanya. Ya karena itu tadi, dibutuhkan effort lebih serta afeksi yang besar. Tulisan tangan adalah signature yang khas dari seseorang, tidak identik seperti halnya font style yang akan memiliki rupa fisik yang sama walaupun diketikkan oleh individu yang berbeda.
So, let's greet people we love by our handwrite. Nggak harus selalu, tapi mari menyempatkan diri melakukannya sesekali. Letter, cards, anything. Lebih tidak efektif secara waktu dan biaya mungkin iya, tapi saya pribadi percaya, lewat cara ini ada lebih banyak afeksi yang bisa kita tunjukkan pada orang-orang tersayang.
Happy handwriting! :)
Kalau postcard yang ini datang Natal tahun lalu :) |