Wednesday, 18 June 2014

Me and (so called) Airport Fashion


I'm not a devoted full-time fashionista, but I do care about my daily appearance. Iyalah, sebagai cewek pada umumnya, saya akan meluangkan sedikit waktu untuk memikirkan what to wear, head to toe.

Menilik fakta bahwa saya adalah karyawati biasa-biasa-saja di suatu perusahaan yang mengharuskan employee-nya menggunakan seragam dari hari Senin hingga Kamis, harusnya persoalan outfit of the day bukanlah masalah besar buat saya. Tapi namanya juga cewek, tetep aja saya suka ribet mengenai hal ini, especially when it comes to the fact that I am an airport(s)-frequent guest.

Yes, airport fashion. Saya pertama kali mengetahui term ini karena saya fans berat salah satu Korean girl group, SNSD. Nah, the ladies of SNSD ini selalu tampil amazingly fashionable setiap kali mereka ada di airport untuk flight ke tujuan-tujuan konser/pemotretan/aktivitas apapun. Designer items head to toe, from baseball cap to sunglasses and even their iPhone cases, airport fashion menjadi salah satu ajang mereka untuk brand endorsement sekaligus membuktikan kekecean style mereka whenever they are, including on the departure time.

source: http://snsdoverload.blogspot.com/
My forever favorite from the 9: Jessica.
Her airport fashion is simple yet gorgeous, and her arrogant face makes the outfit even better!
Sejak beberapa tahun lalu, airport fashion adalah sesuatu yang common, nggak cuma di dunia Kpop saja. Silakan berkunjung ke airport-airport di Indonesia and you'll see people in the most updated style wait for their flights. Kece abis, istilah saya sih.
Hollywood's airport looks.
source: http://www.fashionfoiegras.com/2010/01/celebrity-airport-style.html
 Some people might think it is unnecessary, ngapain coba heboh-heboh dandan mau naik pesawat doang. Ngapain juga pake heels, kesandung bangku pesawat baru tahu rasa deh. Tapi, kalau kita lihat dari sudut pandang yang lain (my own POV, actually, haha), ada banyak alasan untuk tampil stylish di airport.

Sebagai karyawati yang kunjungannya ke airport sudah barang tentu untuk bekerja, saya sering merasa salah tingkah kalau pakai baju santai macam jeans dan kaus oblong biasa. Yup, simply because I'm on duty. Untuk tujuan ini, formal outfit yang paling sering saya gunakan di airport tentunya seragam kebangsaan: kemeja biru atau putih, celana atau rok dan blazer biru dongker. Dengan berpakaian seragam, lengkap dengan sepatu yang sesuai (usually I wear my 5-cm-heels, not the stiletto one, of course), saya merasa lebih percaya diri dan tidak saltum alias salah kostum. Terutama jika dapat penerbangan dengan maskapai ini, yang mostly penumpangnya adalah orang-orang yang juga on duty dan berpakaian rapi, serta biasanya sudah berumur. Dengan menggunakan formal outfit, saya merasa ada rasa profesionalisme yang tercermin dalam appearance saya, so that I could tell them that 'hey, don't (always) judge me by my age!'. Haha, hebring amat ya. Tapi kira-kira seperti itulah. Kebosanan yang kadang melanda karena berpakaian seragam yang gitu-gitu aja cukup disiasati dengan aksesoris: kalung dan gelang adalah andalan utama saya. Accessories are small things that really work for appearance-booster!

Selain outfit, tampilan muka alias make up juga menjadi perhatian saya. Habis rasanya kurang aja gitu kalau bare-faced pergi kemana-mana, apalagi biasanya setelah landing di destinasi tujuan saya akan segera meluncur ke tempat bekerja. Kalau lagi dapat flight subuh dan harus berangkat jam 3 pagi dari kosan, ya saya akan bangun jam 2 subuh buat dandan. Sounds so crazy, yes? But I enjoy it. Minimal sih pakai BB cream dan bedak dan lipstik, biasanya ini edisi malas. Kalau edisi sregep alias rajin, ya lengkap aja sama eye makeup. Sampai di tempat tujuan juga biasanya WC adalah tempat pertama yang saya tuju, selain untuk buang hajat, juga untuk cari cermin buat benerin makeup dan menghapus minyak-minyak dengan kertas minyak. By the way, dari pengalaman-pengalaman saya, wearing mascara while on board is a big no. Entah kenapa kalau ketiduran di pesawat bakal ada bekas-bekas maskara yang agak ganggu di kelopak mata bagian bawah.

Saya bukannya nggak pernah 'nakal'. Beberapa kali saya cuek pakai celana pendek dan T-shirt pas flight, bisanya kalau flight saya hari Minggu (hey, that's originally my holiday!). Tapi selalu ada perasaan rikuh, nggak nyaman, saat masuk lounge atau pesawat (again, apalagi kalo naik maskapai ini) dengan outfit kaya gitu. Sekarang sih saya udah jarang tampil cuek beybeh gitu, kalaupun mau tampil santai minimal saya pakai dress selutut atau atasan yang sedikit 'manis' macam babydoll. After all, mau hari Minggu pun, ini judulnya tetap business trip, so saya pikir berpakaian dengan tema menjaga business things tetap baik bagus juga buat dilakukan.

By the way, seragam tersayang sering menjadi jebakan batman juga buat saya. Paling sering sih ketemu petinggi-petinggi perusahaan yang juga lagi flight. Kadang ketemu beberapa user produk juga yang easily recognized me and my job from this uniform, haha. Kalau udah begini biasanya saya selalu sigap senyum dan langsung behave (contoh: nggak ngambil makanan dengan rakusnya di lounge).

After all, doing airport fashion menurut saya adalah masalah mendongkrak kepercayaan diri. Kenyamanan kadang menjadi nomor dua, saya akui iya. Saya pribadi sih tetap prefer to wear heels than sneakers, simply karena saya merasa lebih pede memadukan business suit dengan heels, despite of kaki saya pegel-pegel seharian pakai heels. Nggak usah branded juga dari atas sampe bawah, yang penting tetap rapi dan enak dilihat. Lastly, semuanya kembali ke kenyamanan dan kepedean masing-masing individu untuk mengenakan pakaian saat bepergian dengan pesawat terbang ini.

Happy traveling!


Monday, 16 June 2014

My Daily Menu: Flight's Delay!

source: patdollard.com
Sebagai seorang karyawati yang sering mendapat mandat untuk bekerja di daerah-daerah yang harus ditempuh menggunakan moda pesawat terbang, salah satu menu harian saya adalah menghadapi musuh-dalam-selimut bernama delay alias penundaan atau keterlambatan jadwal penerbangan dari jadwal seharusnya. Saya nggak tahu keadaan di negara lain, tapi penerbangan-penerbangan domestik di negara tercinta ini 80%-nya selalu delay, sepanjang pengalaman saya. Saking seringnya kena delay, rasanya saya sudah imun sama these delay thingy, sampai-sampai delay sekitar 30 menitan sudah masuk ke ranah ah-biasa-aja buat saya.

source: http://www.quickmeme.com

Kenapa sih harus delay? Mungkin ini pertanyaan paling mendasar dari semua penumpang pesawat terbang. Sepanjang pengetahuan saya, delay bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena keadaan cuaca yang memang tidak mengizinkan pesawat untuk menjalani penerbangan. Biasanya delay macam ini terjadi di sekitar bulan November hingga Februari, dimana curah hujan sedang tinggi-tingginya. Delay karena kondisi bencana alam juga dapat saja terjadi, misalnya saat saya harus cancel penerbangan saat terjadi erupsi Gunung Kelud pada Februari 2014 yang lalu. Delay semacam ini, menurut saya, sangat patut dipahami. Ya iyalah, daripada disuruh naik pesawat dalam kondisi hujan badai halilintar saya sih mendingan sabar menanti aja sampai semuanya kondusif, daripada mengalami resiko tinggi kecelakaan.

Alasan kedua terjadinya delay adalah kendala teknis, baik dari maskapai penerbangan maupun dari kesiapan bandar udara sebagai prasarana paling penting dalam transportasi udara. Mungkin inilah alasan utama dari banyaknya delay yang saya hadapi. Saya pernah kena delay hampir tiga jam untuk penerbangan dari Bandar Lampung ke Jakarta karena pintu pesawatnya rusak. Tak usahlah menyebutkan maskapai yang saya gunakan saat itu, tapi yang jelas saat itu saya deg-degan banget. Emang sih pihak maskapai langsung mendatangkan teknisi untuk memperbaiki kerusakan tersebut, tapi yang bikin deg-degan adalah keterangan salah satu petugas berseragam maskapai tersebut saat saya tanya progress perbaikannya: "Kita berusaha betulkan sampai 100% bener sih Bu, tapi misal nggak bisa 100% betul, ya kita akan terbang lebih rendah." Oh nooo!! Enggak gitu juga sih Mas, ya harus 100% lah, gile apa kalo tiba-tiba di atas Selat Sunda pintunya kebuka. Hii, amit-amit pisan. Pernah juga saya kena delay dua jam untuk penerbangan dari Jakarta ke Palu karena penggantian pesawat. Hal terparah dari delay ini adalah saya jadi tidak bisa menghadiri acara (alias kerjaan) di tempat tujuan. Saking kesalnya, saya langsung menulis e-mail kepada maskapai terkait dan menumpahkan semua unek-unek saya (karena lagi marah jadi pake bahasa Inggris, sok nggaya). E-mail tersebut langsung dibalas dalam waktu 1x24 jam (juga dalam bahasa Inggris), isinya permintaan maaf dari si maskapai. Hmm, pelayanan kelas premium emang beda, plus mungkin karena saya menyertakan nomor kartu-sakti-warna-emas itu kali yah. Tapi sekali lagi, dalam hal ini saya lebih memilih keselamatan sih, dibandingkan terbang tepat waktu namun beresiko terhadap safety.

Versi lain dari delay karena hambatan teknis adalah kepadatan lalu lintas bandar udara asal maupun tujuan. Pesawat dalam kondisi baik, maskapai tidak berkendala, tapi runway alias landasan yang digunakan padat, saking banyaknya pesawat yang ingin menggunakan landasan tersebut. Delay jenis ini nih yang membuat saya sering tepok-tepok dada. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bandar Udara Soekarno-Hatta sebagai bandara andalan saya sudah sangat parah kondisi traffic-nya. Menurut situs airport-world.com, pada tahun 2013 Bandara Soetta adalah bandara tersibuk kedelapan di dunia dan keempat di Asia Pasifik. Uh-wow banget bukan? Efek dari padatnya traffic di Soetta adalah pesawat harus antri untuk dapat take-off ataupun landing, dan hal ini sudah jelas mempengaruhi ketepatan jadwal penerbangan. Dan sudah jelas, delay pada suatu jam penerbangan akan merembet pada jadwal-jadwal berikutnya. So, makin malam, makin panjanglah durasi delay-nya, bisa sampai hitungan jam. Bandara lain di Indonesia yang bisa-dipastikan-selalu-delay adalah Bandar Udara Juanda di Surabaya. Walaupun Bandara Juanda udah menambah satu terminal baru, ternyata runway yang digunakan itu-itu saja, so the delay problems still couldn't be helped. By the way, in my opinion, untuk mengatasi problem ini, solusi yang paling masuk akal adalah membangun sebuah bandara baru untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah Jabodetabek, sehingga load Soetta bisa berkurang. Kabarnya sih pemerintah akan membangun bandara baru di daerah Karawang. Saya berharap semoga rencana ini bisa segera direalisasikan, plus kalau boleh request semoga akses menuju bandara baru tersebut (semacam tol, angkutan pemadu moda, dan lain-lain) juga mudah diakses dan nyaman digunakan. Kenapa saya berpendapat demikian, karena saya percaya bila transportasi udara di Indonesia kondisinya membaik, maka akan meningkat pula produktivitas secara ekonomi dan sosial baik di daerah asal dan tujuan.
Antrian pesawat di Soetta. Source: setkab.go.id
What to do on delay time? Secara marah-marah karena delay tuh hanya akan menghabiskan energi saja, lebih baik mengisi waktu delay dengan perbuatan bermanfaat. Saya sih biasanya mengerjakan kerjaan kantor (sudah tentu bohong) pada saat delay. Kegiatan lain tentunya surf the internet. Tinggal masuk lounge (kalau lagi dapat maskapai ini), atau cari cafe terdekat buat nebeng wi-fi. Bisa juga blogging, seperti yang saat ini saya lakukan saat terkena delay dari Surabaya menuju Jakarta. Membaca buku juga merupakan pilihan bijak, makanya saya selalu bawa sebuah buku di tas saya atau e-book di tablet. Telepon orangtua atau pacar juga bisa menjadi alternatif pengisi waktu. Kalau nggak punya pulsa, cukup sms atau WhatsApp pihak terkait dan bilang "telepon aku dong". Hihi. Pilihan lain yang paling ultimate tentu saja mencari pojokan untuk bersandar dan kemudian tertidur pulas. Bahaya dari tertidur saat menunggu pesawat tentu saja kemungkinan missed the boarding time, apalagi di bandara kayak Juanda yang sudah nggak menggunakan teknik pengumuman lewat pengeras suara. So pilihan ini biasanya nggak saya lakukan, apalagi saya termasuk manusia yang kebo banget kalau sudah tidur. By the way the point is nggak usah kesal, cemberut, apalagi ngamuk kalau kena delay, karena terbukti makin bikin bad mood.
source: keepcalm-o-matic.co.uk
Anyway, delay nggak selamanya berujung pada kesengsaraan. Dalam sesi delay karena pintu pesawatnya rusak tadi, saya (yang waktu masih single and available) jadi bisa berkenalan dengan seorang cowok yang juga berada di penerbangan yang sama. Ngobrol-ngobrol pun dilakukan, dan pas saya sudah geer stadium empat, si cowok berkata "Eh, kamu punya powerbank nggak? Pinjem dong!". Kampret, ternyata dia cuma ngincer powerbank saya doang, hahaha.Sesi delay lain (lupa darimana dan kemana) membuat saya berkenalan dengan seorang ibu yang bekerja sebagai manager distribusi sebuah perusahaan wadah bekal terkenal. Beliau bercerita bahwa karirnya dimulai dari direct seller yang mengetuk pintu demi pintu untuk berjualan produknya. Semua dijalani selama enam belas tahun, dan sekarang beliau sudah bisa berkeliling Eropa dari hasil reward atas achievement penjualannya. Pesan beliau agar 'anak muda itu harus sabar, jangan mau instan saja saat bekerja' sungguh menohok saya sebagai anak kemarin sore yang kadang menuntut fasilitas setara dengan mama saya yang sudah berkarir puluhan tahun.

By the way, sebenarnya ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan berkaitan dengan delay ini loh. Semuanya tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Bila kita simak penjelasan berikut, kompensasi bisa berupa refreshment alias makanan ringan yang dibagikan pihak maskapai pada penumpang, hingga kompensasi dalam bentuk uang. Tapi di PM tersebut juga disebutkan bahwa kompensasi ini tidak berlaku apabila delay disebabkan karena faktor cuaca dan faktor teknis/operasional, yang detailnya disebutkan lebih lanjut dalam PM terkait. So far sih saya selalu dapat kompensasi dalam bentuk refreshment yang selalu saya syukuri sebagai bentuk makan malam gratis.

Flight's delay memang tidak dipungkiri adalah salah satu kegiatan yang menghabiskan masa muda saya yang berharga ini. Tapi saya selalu ikhlas apabila delay yang terjadi berkenaan dengan safety assurance kita saat bepergian. Kalau delay-nya karena profesionalitas yang kurang memadai dari maskapai penerbangan sih, cukup tepok dada aja sambil bilang "selambat-lambatnya delay pasti akan berangkat juga kok".

Have a good flight, readers!







Friday, 6 June 2014

Taking the IELTS: The Prep, The Test, The Result

Ada suatu kesibukan baru dalam hidup saya sejak bulan Oktober 2013 hingga April 2014 kemarin: menyiapkan diri untuk tes IELTS, or the International English Language Testing System. IELTS, as we know, adalah suatu tes untuk membuktikan proficiency atau kemahiran kita di bidang Bahasa Inggris. Tingkat kemahiran kita akan diukur dengan angka, yang berkisar antara 0-9. By the way, IELTS ini emang bukan satu-satunya English proficiency test yang ada dan banyak diakui secara internasional sih. Ada juga TOEFL dan banyak yang lainnya. In my case, I prefer IELTS karena negara tujuan saya (tujuan apa hayo, hihi semoga bisa dibahas di post-post berikutnya hihi) adalah United Kingdom, dan setahu saya negara-negara British Commonwealth emang lebih prefer IELTS daripada TOEFL. By the way lagi, saya kemarin dapat e-mail dari suatu universitas berbasis UK dan mereka memberitahu bahwa per 6 April 2014, TOEFL sudah tidak diterima sebagai syarat English proficiency untuk mendapatkan UK Visa Student Tier 4. Untuk lebih jelasnya mungkin bisa dibaca disini ya.

Back to me and my IELTS test. FYI, saya belum pernah ikutan tes IELTS sebelum ini. TOEFL sih udah pernah, tapi hanya yang paper based, intitusional pula. So saya cukup deg-degan nih karena dihadapkan dengan target dapat nilai minimal overall 6.5 dengan nilai minimal setiap section adalah 6. Ada empat section yang diujikan dalam tes IELTS: listening, reading, writing, dan speaking.

Kegiatan persiapan saya mulai dengan tanya-tanya pengalaman beberapa teman yang sudah lebih dulu tes. Ada yang bilang tesnya susah, ada yang bilang biasa aja, macem-macem deh. Tapi yang jelas semua teman tersebut memberi nasehat bahwa saya sebaiknya belajar dan mempersiapkan diri dengan baik sebelum tesnya. Bukan apa-apa, tes IELTS ini harganya cukup mahal, sekitar 2,5 juta rupiah, jadi bodoh aja rasanya kalau asal-asalan ngambil tes dan nggak lulus.

Salah satu teman, Kiki, berhasil dapat overall score 7 buat IELTS-nya. Kata Kiki, dia banyak belajar mandiri. Dari Kiki pula saya dapat rekomendasi beberapa buku untuk latihan IELTS. Salah satu yang dia recommend adalah Barron's. Saya beli bukunya, harganya sekitar 300 ribu, di Kinokuniya Plaza Senayan. Saya coba kerjakan tes-tes yang ada disana. Pertamanya sih masih agak awkward, terutama pas bagian listening. Saya kebiasa dengar American accent di film atau lagu, sekalinya listening dengan British accent, butuh beberapa waktu buat getting used to it.

Setelah mengerjakan soal-soal di Barron's, saya memutuskan untuk ikut mock exam alias semacam try out IE:LTS ini. Saya ambil tes-nya di IEDUC Bandung. Kayanya dia punya kantor juga di Jakarta, tapi saya kebetulan hari itu lagi pulang kampung ke Bandung, jadi sekalian aja. Harga mock exam-nya sekitar duaratus ribu rupiah saat itu. Namanya juga mock exam, ya situasinya dikondisikan seperti tes aslinya nanti. Dan masalah utama saya saat mock exam ini adalah time management. Seriously I run out of time banget. Hasil mock exam keluar, saya dapat L6.5R6.5W5.5S5.0. Gilaaa, PR banget buat ngejar nilai bagus!

Melihat hasil tersebut, saya berpikir mau nggak mau saya harus les buat preparation IELTS. Nah, ini nih masalahnya, secara saya adalah karyawati dengan jadwal kerja ter-tidak fleksibel untuk les-lesan begini. So dari sekian banyak pilihan tempat preparation, saya pilih IELTS preparation workshop yang diadakan oleh IDP Pondok Indah. Cuma seminggu dan tempat serta waktunya bisa dikejar after my office hours. Syukurlah, saya berhasil mengosongkan jadwal seminggu full bebas dari tugas luar kota.

Pengajar workshop saya adalah seorang native bernama John, yang juga adalah IELTS examiner. John baik, bersedia diskusi, dan yang jelas orangnya to the point. Pas saya bilang target saya adalah dapet score 7, dia senyum dan bilang "that will be hard, though". Hahaha, sialan. Tapi saya nggak tersinggung, saya anggap itu challenge dari dia supaya saya kerja keras. Selama workshop John banyak memberikan tips-tips yang berguna untuk tes. Oh iya, jangan harap bakal diajarin lagi basic English ya disini. Secara namanya workshop, jadi ya fokusnya pada how to prepare for the IELTS-nya aja, bukan pelajaran bahasa Inggris. Enaknya ikutan les preparation kaya gini, ada yang menilai buat writing dan speaking section, secara nilai saya di dua section tersebut mengkhawatirkan dunia banget.

Beres seminggu workshop, saya masih belum pede untuk langsung ambil tes. Saya merasa masih perlu banyak berlatih, terutama ya di writing dan speaking section tadi. Saya berlatih menggunakan buku kumpulan soal IELTS yang dikeluarkan oleh Cambridge, suer deh tingkat kesulitannya maknyus banget buat belajar. Selain belajar dari buku soal, saya juga melatih kemampuan listening dengan menonton film berbahasa Inggris tanpa subtitle (my favorite will always be Om Benedict Cumberbatch and his Sherlock series), rajin mendengarkan radio berbahasa Inggris via streaming online (BBC kalau lagi serius, Capital FM London kalau lagi pengen ajeb-ajeb). Buat melatih speaking, saya mengajak beberapa teman buat nemenin saya ngobrol in English (thanks a lot buat Mbak Anis, Yosi, Dek Alda), atau kalau lagi sendirian ya self talking aja sama cermin, di WC, pokoknya malu-maluin. Kemampuan writing saya juga masih ababil, terutama vocabulary saya yang kurang variatif, so saya banyak membaca koran, artikel, hingga literatur berbahasa Inggris. Setiap vocabulary baru yang saya temui saya catat, sehingga bisa jadi referensi untuk bahan writing.

Setelah merasa (sedikit) lebih siap, saya mencanangkan tanggal 5 April sebagai test date saya. Seminggu sebelum tanggal tersebut saya mendaftar online, dan disambut kenyataan pahit bahwa semua test centre (bahkan Bandung dan Surabaya)  udah full booked buat ujian tanggal tersebut. Alamak! Terpaksa saya (dengan sedikit dimarahin sama mas-mas ini) mengundurkan test jadi tanggal 12 April. Pendaftaran dan pembayaran dilakukan online, setelah itu kita harus datang ke kantor cabang IDP terdekat (soalnya saya ambil test-nya di IDP. Kalau di Jakarta selain IDP, penyelenggara lain adalah IALF dan British Council) untuk finger-scanned dan foto.

D day! Saya dapet venue tes di Apartment Pondok Indah Golf. Test dimulai jam 8, tapi jam 7 saya sudah rapi jali ada di venue. Sesuai saran dari sahabat saya si Vava yang sudah pernah IELTS, saya makan nasi goreng ('harus nasi sarapannya!') plus kopi (beli di Sevel dekat kosan, haha). Di dalam ruang test sendiri boleh bawa air minum asal wadahnya transparan.

Saat sudah duduk di bangku test rasanya deg-degan banget. First section, listening. Sebelum mulai, pastikan kita bisa mendengar audio dengan jelas di tempat kita duduk. Ingat! IELTS ini bentuknya mostly isian dan bukan multiple choice. Nah, isian means kita harus mengisi dengan spelling yang tepat. Salah spelling ya coret. Kurang 's' di akhir kata sebagai bentuk plural juga coret. Gunakan juga huruf kapital sesuai dengan kaidahnya, misalnya di awal kata yang berupa nama orang atau tempat. Dan karena audio untuk listening test ini hanya dimainkan sekali saja, pastikan untuk selalu move on dan jangan hilang fokus bila di tengah-tengah soal kita mengalami kesulitan menjawab. Yang menjadi distractor kalau tes listening biasanya kalau ada soal yang berhubungan dengan angka (misal nomor telepon), atau spelling suatu nama.

Listening sudah dilalui, saatnya saya lanjut ke section berikutnya: reading. Cara saya mengerjakan tes reading adalah sebagai berikut: saya screening dulu tipe soal yang diberikan untuk tiap bacaan, kemudian membaca cepat bacaan tersebut (usually no more than 2 minutes for each passage) sambil menggarisbawahi kata atau kalimat yang tersurat dalam pertanyaan yang sudah sempat saya screening tadi. Setelah itu saya membaca betul-betul masing pertanyaan yang diajukan, dan mencari jawabannya di bacaan tadi (seharusnya mencari dimana letak dari jawaban tersebut akan lebih mudah karena kita sudah sempat screening bacaannya terlebih dahulu, bukan?). Sebenarnya ada banyak cara mengerjakan lain, tapi so far saya cukup sukses dengan pendekatan ini sih hehe.

Section berikutnya adalah writing. Momok terbesar saya, actually. Writing ini ada dua task, task kedua bernilai dua kali lipat dari task pertama. So, curahkanlah 80% perhatianmu pada Task 2. Jangan berlama-lama di Task 1, cukup 15 menit, maksimal 20 menit. Kebanyakan teman-teman saya yang failed di writing section ternyata menaruh perhatian berlebih pada Task 1 sehingga Task 2 tidak dikerjakan dengan baik. Menurut tutor saya waktu preparation, ada beberapa hal yang dinilai di writing section ini. Pertama adalah response kita pada pertanyaan yang diberikan (misalnya untuk Task 1, kemampuan kita mengidentifikasi poin penting dari grafik atau diagram yang diberikan). Kedua, coherence atau kesesuaian isi tulisan dengan pertanyaan pada soal. Ketiga, lexical resource. Semakin banyak kita gunakan vocabulary yang lebih formal (contoh: gunakan 'obtain' untuk kata 'get'), semakin baik nilai kita. Keempat adalah grammar, jadi sediakan beberapa menit di akhir untuk memeriksa kembali grammar yang kita gunakan. Sebelum memulai menulis, saya biasanya membuat mind map mengenai topik yang ditanyakan. Kemudian, membuat kerangka kasar isi per paragraf. Intinya, rencanakanlah dahulu apa yang hendak kita tulis dengan matang, baru kemudian mengembangkannya. Jangan terburu-buru ingin langsung menulis tanpa perencanaan yang baik, karena bisa jadi kita stuck di tengah-tengah dan berujung pada pemborosan waktu.

Section terakhir adalah speaking. Disini kita akan berhadapan dengan seorang penguji atau examiner, native speaker tentunya, yang akan memberikan beberapa pertanyaan pada kita. Speaking test sendiri terdiri dari tiga part. Pada part pertama, biasanya examiner meminta kita menceritakan mengenai diri kita dan hal-hal umum yang berhubungan dengan diri kita: family, hobby, school, work, daily life, etc selama kurang lebih dua menit. Kemudian pada part 2, examiner akan memberikan sebuah kertas berisi topik dan beberapa pertanyaan mengenai topik tersebut. Kita akan diberi waktu satu menit untuk mempersiapkan poin-poin yang akan kita utarakan, kemudian selama dua menit berikutnya kita harus menceritakan topik tersebut serta menjawab pertanyaan yang diberikan pada sang examiner. Ibaratnya, kita lagi presentasi mengenai topik yang diberikan. Part terakhir, lebih berupa diskusi antara sang examiner dengan kita, topiknya biasanya nggak berbeda jauh dengan topik di part dua. Pengalaman saya, examiner saya orangnya cukup baik, full smile pula, sehingga saya rileks dan tidak tegang. Penilaian pada tes speaking ini, menurut yang diajarkan tutor saya, hampir sama dengan writing section. Fluency and coherence, lexical resource, grammatical range, serta accuracy and pronunciation.

Selesai sudah serangkaian test IELTS, saatnya menunggu 13 hari untuk mengetahui hasil nilai saya. Preview hasil test kita bisa diakses secara online di sini dengan memasukkan nama lengkap dan nomor ID yang kita gunakan saat test. Sungguh saya sangat deg-degan membuka website tersebut pada hari itu, sambil doa tak putus-putus, ternyata hasil yang saya dapat beyond my wildest expectation. Kaget, dan tentunya sangat bersyukur. 

IELTS test harus saya akui bukanlah sesuatu yang mudah, namun bukannya tidak bisa dipersiapkan dengan baik, bukan? Latihan, latihan, dan latihan adalah kunci utama kesuksesan tes IELTS menurut saya. Bukan hanya latihan dari soal yang sudah ada, tapi latihan membiasakan diri kita dengan English dalam hidup sehari-hari. Jangan lupa berdoa dan stay focus selama tes, niscaya hasil yang baik akan datang pada kita.

***

Big thanks to mas-mas baik yang sudah menemani saya selama hari tes, your presence really reduced my worry!