Kata-kata 'Gue pengen sekolah lagi!' rasanya sudah cukup sering saya katakan sejak saya lulus Apoteker dua tahun lalu. Biasanya kata-kata itu rajin terlontar jika 1) saya sedang jenuh bekerja, 2) saya sedang iri hati melihat foto teman-teman Facebook yang sedang kuliah di luar negeri, dan 3) saya memang sedang di jalan yang benar: ingin menimba ilmu.
Belajar buat saya adalah pekerjaan paling asyik di dunia. Gimana enggak, duduk manis, buka literatur, tenggelam dalam indahnya ilmu pengetahuan, dan kemudian jadi pintar. Maka dari itu, saya rindu sekali dengan bangku sekolah. Walaupun saya sama sekali nggak rindu sama ujian-ujiannya sih terutama ujian Apoteker ITB yang astaganaga banget susaaaaahnya.
Setahun pertama kerja, saya sama sekali nggak serius memikirkan soal rencana sekolah lagi ini. Saya terbuai banget dengan kenikmatan punya duit sendiri, kartu debit yang bisa digesek bahkan cuma buat beli yoghurt di minimarket, dan terutama jalan-jalan kemana-mana. Tapi, suatu hari di bulan Juli 2013, saya mulai mengubah omongan 'Gue pengen sekolah lagi!' menjadi sesuatu yang pasti.
Semuanya dimulai ketika saya, yang pagi itu sedang sarapan di sebuah hotel di Kota Solo (biasa, kerjaan), tiba-tiba iseng membuka browser dan mengetik 'Master Clinical Pharmacy' di tab pencarian. Yup, itu jurusan yang saya inginkan untuk pendidikan lanjutan ini. Seperti sudah diduga, mesin pencari menunjukkan ribuan entry, dan hasil pencarian teratas adalah website-website perguruan tinggi di seluruh dunia. Saya buka satu persatu entry teratas, baca-baca sekilas, hingga akhirnya saya tiba di website ini. Sungguh, saat itu saya langsung mengeluarkan notes dan pena saya, mencatat alamat website tersebut, melingkari tulisan saya tersebut dan memberikan kalimat 'ini menarik banget sumpah!' di sebelah lingkaran tersebut.
Dan sejak saat itu, tujuan saya bulat untuk daftar ke program MSc Clinical Pharmacy, International Practice and Policy di University College London. Bahkan dengan gaya (atau nekat?)-nya saya sama sekali nggak menyiapkan pilihan kedua. Bukan apa-apa, saya merasa jurusan yang lain nggak begitu ngena di hati saya. Buat apa saya sekolah sesuatu yang saya nggak sukai? Ngomong-ngomong, saya baru tahu kemudian jika universitas tujuan ini masuk dalam daftar lima perguruan tinggi terbaik tingkat....... dunia. Ketawa miris banget saat tahu fakta itu!
Eh, kenapa harus di luar negeri sih Ties? Pengen nyari bule? Pengen gegayaan? Nggak. Jawabannya sesederhana saya pengen merasakan secara langsung sistem kefarmasian, terutama bidang klinis, di negara yang sudah maju. Biar nanti saat saya pulang ke negeri tercinta, saya tahu apa yang harus saya lakukan supaya kefarmasian klinisnya nggak kalah yahud sama negara-negara maju tersebut. Yah, jelek-jelek gini, saya cukup idealis soal ilmu dan penerapannya. Hehe.
Setiap hari saya buka website program tersebut, sampai-sampai hapal sama semua persyaratannya. Yah, nggak ada yang mudah. Haha, ya iyalah. Yang pertama dan terutama tentunya adalah motivational letter, atau yang biasa saya singkat dengan motlet. Motlet ini, menurut hemat saya, adalah kunci paling kunci dari syarat pendaftaran kuliah Master. Motlet ini semacam essay yang menggambarkan siapa kita, background pendidikan dan riwayat pekerjaan kita yang related sama bidang Master yang mau kita apply, future goal yang ingin kita capai terkait bidang tersebut, kenapa kita cocok untuk dipilih menjadi mahasiswa program tersebut, dan tentunya kenapa kita memilih program tersebut. Saya, dengan segala keterbatasan-namun-tetap-harus-perfeksionis, mulai menulis motlet saya sekitar bulan September 2013 dan selesai di bulan....... Desember 2013. Hahaha... Iya, 3 bulan lebih untuk dua halaman essay!
Meskipun kedengarannya bikin males, namun saya menikmati sekali proses ini. Saya yang waktu itu masih jomblo biasanya mengerjakan motlet tersebut setiap weekend. Tempat favorit? Pojokan Starbucks Bintaro Sektor 9, ditemani segelas hazelnut latte (biasanya grande. Udah nggak mempan sama ukuran tall doang). Pembuatan motlet ini saya mulai dengan riset kecil-kecilan soal bidang yang ingin saya tekuni (harus banget hukumnya kita paham sama bidang yang kita mau tekuni), terutama update terbaru soal keilmuan di bidnag tersebut. Kemudian, tentunya drafting. Mulai menulis (dengan segala keterbatasan dalam bahasa Inggris), hapus, nulis lagi, hapus, gitu seterusnya. Proofreader(s) mutlak ada banget! Soalnya kita harus memastikan orang lain paham sama apa yang kita tulis. Bersyukurlah saya, dikaruniai teman-teman yang sangat sangat baik hati yang mau proofread motlet saya, apalagi mbak ini yang berhasil mengubah bahasa Inggris ala anak kelas 3 SD yang saya buat menjadi rangkaian kata-kata yang sophisticated. Couldn't thank you enough, Yot.
Sambil bikin motlet, sambil mengusahakan recommendation letter juga dong! Program yang saya tuju mengharuskan saya mendapatkan satu letter dari dosen semasa kuliah, dan satu letter dari pimpinan tempat saya bekerja. Nah, karena ini berhubungan sama orang lain, yang tentunya juga sibuk dengan pekerjaannya, maka dari jauh-jauh hari kita sudah harus sounding dulu sama beliau-beliau. Saya sih tipe orang yang sukanya tatap muka, jadi waktu saya mau minta tolong dosen saya buat memberikan rekomendasi untuk saya, ya saya bela-belain pergi ke Bandung untuk bertemu beliau. Mendapatkan recommendation letter ini memang gampang-gampang-susah, tapi kuncinya adalah pada komunikasi interpersonal yang baik deh.
Syarat 'heboh' berikutnya adalah kemampuan berbahasa. Karena saya pengen kuliah di Inggris, saya harus tes IELTS. Perjuangan selengkapnya tentang persiapan saya menuju tes IELTS bisa dibaca di postingan ini (ngiklan). Saya segitu nggak pedenya dengan kemampuan saya, jadi saya belajar dimana-mana, bahkan di pesawat terbang kalau sedang berdinas.
Menyiapkan semua hal tersebut nggak mudah, apalagi karena saya bekerja, Saat-saat menyerah bahkan pernah datang pada saya, saat ada sandungan yang membuat saya nggak bisa melangkah maju, apalagi mendaftar. Selama beberapa minggu saya sama sekali nggak menyentuh hal-hal soal sekolah ini, dan kerjaan saya cuma ngomel-ngomel aja. Sampai suatu sore, saat sedang berenang dengan Mbak Anis, kakak senior terbaik di mantan kantor saya dulu, saya merasa 'ditampar' dan jadi gearing up lagi buat bisa sekolah. Sore itu saya sibuk curhat sama Mbak Anis tentang 'Gue pengen sekolah lagi!' ini, disertai dengan omelan-omelan tentang betapa menderitanya hidup saya karena satu dan lain hal eksternal yang menghalangi jalan saya. Saat itu saya berharap dapat puk-puk dari Mbak Anis, tapi kakak cantik saya itu malah berkata 'Kamu tuh nggak pantas ngeluh. Kamu belum mulai perang, udah takut duluan'.
Mbak Anis nggak sedang memarahi saya, tapi saya bersyukur karena Tuhan menyadarkan saya lewat kata-katanya. Iya, betul! Saya tuh baru wacana aja pengen sekolah lagi, tapi belum ngapa-ngapain! Sambil terus berdoa, saya kembali giat berusaha. Dan akhirnya, suatu hari di bulan Januari 2014, dengan tangan gemetar saya meng-klik tombol 'Submit application' di website UCL.
Sekitar seminggu kemudian, saya dapat e-mail dari School of Pharmacy-nya langsung, isinya memberitakan bahwa aplikasi saya sudah diterima, dan...... mereka minta saya submit another essay, kali ini topiknya sesuatu yang sangat fundamental tentang kefarmasian. Ketawa miris lagi. Duh Gusti, mau sekolah susah banget yo. Essay kali ini beres dalam waktu tiga hari, kembali merongrong ibu ini untuk proofread. Plus Mbak Anis juga buat konten-nya, saya inget banget diskusi sama Mbak Anis di Solaria Lotte Mart Bintaro hahaha...
Essay kedua pun dikirim, tapi saya nggak perlu menunggu lama untuk kecewa. Pihak sekolah menyatakan aplikasi saya masih akan dipertimbangkan dan dibicarakan dahulu dengan Director of Programme-nya, karena satu dan lain hal. Membaca e-mail tersebut membuat saya menangis, jujur saja. Bukan karena sedih tidak diterima di universitas tersebut, tapi karena saya tiba-tiba merasakan semua kelelahan jiwa dan raga selama menyiapkan pendaftaran, hanya untuk ditolak. Memang sih mereka nggak menyatakan kalau saya fix 100% ditolak, tapi kata-kata dalam e-mail tersebut sangat menggambarkan bahwa probabilitas saya dapat diterima hanyalah 20-30%.
Hari demi hari berlalu, saya pun sudah move on. Kata-kata 'Gue pengen sekolah lagi!' sedang tertidur di pojok hati yang paling dalam. Saya sibuk kembali dengan pekerjaan. Hingga suatu malam, saat sedang bertelepon ria dengan mas-mas ini, saya menerima sebuah e-mail. Dari UCL. Hati ini rasanya langsung berpindah ke mata kaki begitu membaca sender-nya. Saya baca, dan lemaslah kaki ini.
I got conditional offer. From the programme of my dream.
Hanya tinggal mengirimkan hasil IELTS saya, jadilah statusnya unconditional offer. Rasanya saat itu badan saya berubah seperti jeli, terlalu sulit untuk diam tegak. Tidak henti-hentinya saya bersyukur, sambil cubit-cubit diri sendiri, karena sesungguhnya bahkan dengan status 'dipertimbangkan' tuh ini semua terlalu manis bahkan untuk sebuah mimpi.
*
'Gue pengen sekolah lagi!' adalah titik awal dimana saya merumuskan mimpi ini. Namun seperti apa yang dikatakan Mbak Anis, ngomong 'Gue pengen sekolah lagi!' seribu kalipun tidak akan membuat saya sekolah, jika saya tidak berusaha. Niat tidak akan pernah bermakna jika ia diam saja disana, tanpa pupuk untuk menjadikannya nyata.
Dan disinilah saya, kedinginan di suhu 10 derajat kota London, menulis semua ini, suatu refleksi indah dari perjalanan saya. Terimakasih Tuhan. Terimakasih Mamah, Papah, dede. Terimakasih teman-teman caem, Terimakasih mas. Gimanapun, dukungan doa dan semangat dari kalianlah yang membuat saya ada disini.....
Baiklah, kembali pada essay. Hah, essay lagi? Iyalah, perjuangan yang sesungguhnya justru baru dimulai saat kuliah, bukan sebelumnya!