Saturday, 15 November 2014

'Gue pengen sekolah lagi!'

Kata-kata 'Gue pengen sekolah lagi!' rasanya sudah cukup sering saya katakan sejak saya lulus Apoteker dua tahun lalu. Biasanya kata-kata itu rajin terlontar jika 1) saya sedang jenuh bekerja, 2) saya sedang iri hati melihat foto teman-teman Facebook yang sedang kuliah di luar negeri, dan 3) saya memang sedang di jalan yang benar: ingin menimba ilmu.

Belajar buat saya adalah pekerjaan paling asyik di dunia. Gimana enggak, duduk manis, buka literatur, tenggelam dalam indahnya ilmu pengetahuan, dan kemudian jadi pintar. Maka dari itu, saya rindu sekali dengan bangku sekolah. Walaupun saya sama sekali nggak rindu sama ujian-ujiannya sih terutama ujian Apoteker ITB yang astaganaga banget susaaaaahnya.

Setahun pertama kerja, saya sama sekali nggak serius memikirkan soal rencana sekolah lagi ini. Saya terbuai banget dengan kenikmatan punya duit sendiri, kartu debit yang bisa digesek bahkan cuma buat beli yoghurt di minimarket, dan terutama jalan-jalan kemana-mana. Tapi, suatu hari di bulan Juli 2013, saya mulai mengubah omongan 'Gue pengen sekolah lagi!' menjadi sesuatu yang pasti.

Semuanya dimulai ketika saya, yang pagi itu sedang sarapan di sebuah hotel di Kota Solo (biasa, kerjaan), tiba-tiba iseng membuka browser dan mengetik 'Master Clinical Pharmacy' di tab pencarian. Yup, itu jurusan yang saya inginkan untuk pendidikan lanjutan ini. Seperti sudah diduga, mesin pencari menunjukkan ribuan entry, dan hasil pencarian teratas adalah website-website perguruan tinggi di seluruh dunia. Saya buka satu persatu entry teratas, baca-baca sekilas, hingga akhirnya saya tiba di website ini. Sungguh, saat itu saya langsung mengeluarkan notes dan pena saya, mencatat alamat website tersebut, melingkari tulisan saya tersebut dan memberikan kalimat 'ini menarik banget sumpah!' di sebelah lingkaran tersebut.

Dan sejak saat itu, tujuan saya bulat untuk daftar ke program MSc Clinical Pharmacy, International Practice and Policy di University College London. Bahkan dengan gaya (atau nekat?)-nya saya sama sekali nggak menyiapkan pilihan kedua. Bukan apa-apa, saya merasa jurusan yang lain nggak begitu ngena di hati saya. Buat apa saya sekolah sesuatu yang saya nggak sukai? Ngomong-ngomong, saya baru tahu kemudian jika universitas tujuan ini masuk dalam daftar lima perguruan tinggi terbaik tingkat....... dunia. Ketawa miris banget saat tahu fakta itu!

Eh, kenapa harus di luar negeri sih Ties? Pengen nyari bule? Pengen gegayaan? Nggak. Jawabannya sesederhana saya pengen merasakan secara langsung sistem kefarmasian, terutama bidang klinis, di negara yang sudah maju. Biar nanti saat saya pulang ke negeri tercinta, saya tahu apa yang harus saya lakukan supaya kefarmasian klinisnya nggak kalah yahud sama negara-negara maju tersebut. Yah, jelek-jelek gini, saya cukup idealis soal ilmu dan penerapannya. Hehe.

Setiap hari saya buka website program tersebut, sampai-sampai hapal sama semua persyaratannya. Yah, nggak ada yang mudah. Haha, ya iyalah. Yang pertama dan terutama tentunya adalah motivational letter, atau yang biasa saya singkat dengan motlet. Motlet ini, menurut hemat saya, adalah kunci paling kunci dari syarat pendaftaran kuliah Master. Motlet ini semacam essay yang menggambarkan siapa kita, background pendidikan dan riwayat pekerjaan kita yang related sama bidang Master yang mau kita apply, future goal yang ingin kita capai terkait bidang tersebut, kenapa kita cocok untuk dipilih menjadi mahasiswa program tersebut, dan tentunya kenapa kita memilih program tersebut. Saya, dengan segala keterbatasan-namun-tetap-harus-perfeksionis, mulai menulis motlet saya sekitar bulan September 2013 dan selesai di bulan....... Desember 2013. Hahaha... Iya, 3 bulan lebih untuk dua halaman essay!  

Meskipun kedengarannya bikin males, namun saya menikmati sekali proses ini. Saya yang waktu itu masih jomblo biasanya mengerjakan motlet tersebut setiap weekend. Tempat favorit? Pojokan Starbucks Bintaro Sektor 9, ditemani segelas hazelnut latte (biasanya grande. Udah nggak mempan sama ukuran tall doang). Pembuatan motlet ini saya mulai dengan riset kecil-kecilan soal bidang yang ingin saya tekuni (harus banget hukumnya kita paham sama bidang yang kita mau tekuni), terutama update terbaru soal keilmuan di bidnag tersebut. Kemudian, tentunya drafting. Mulai menulis (dengan segala keterbatasan dalam bahasa Inggris), hapus, nulis lagi, hapus, gitu seterusnya. Proofreader(s) mutlak ada banget! Soalnya kita harus memastikan orang lain paham sama apa yang kita tulis. Bersyukurlah saya, dikaruniai teman-teman yang sangat sangat baik hati yang mau proofread motlet saya, apalagi mbak ini yang berhasil mengubah bahasa Inggris ala anak kelas 3 SD yang saya buat menjadi rangkaian kata-kata yang sophisticated. Couldn't thank you enough, Yot.

Sambil bikin motlet, sambil mengusahakan recommendation letter juga dong! Program yang saya tuju mengharuskan saya mendapatkan satu letter dari dosen semasa kuliah, dan satu letter dari pimpinan tempat saya bekerja. Nah, karena ini berhubungan sama orang lain, yang tentunya juga sibuk dengan pekerjaannya, maka dari jauh-jauh hari kita sudah harus sounding dulu sama beliau-beliau. Saya sih tipe orang yang sukanya tatap muka, jadi waktu saya mau minta tolong dosen saya buat memberikan rekomendasi untuk saya, ya saya bela-belain pergi ke Bandung untuk bertemu beliau. Mendapatkan recommendation letter ini memang gampang-gampang-susah, tapi kuncinya adalah pada komunikasi interpersonal yang baik deh.

Syarat 'heboh' berikutnya adalah kemampuan berbahasa. Karena saya pengen kuliah di Inggris, saya harus tes IELTS. Perjuangan selengkapnya tentang persiapan saya menuju tes IELTS bisa dibaca di postingan ini (ngiklan). Saya segitu nggak pedenya dengan kemampuan saya, jadi saya belajar dimana-mana, bahkan di pesawat terbang kalau sedang berdinas.

Menyiapkan semua hal tersebut nggak mudah, apalagi karena saya bekerja, Saat-saat menyerah bahkan pernah datang pada saya, saat ada sandungan yang membuat saya nggak bisa melangkah maju, apalagi mendaftar. Selama beberapa minggu saya sama sekali nggak menyentuh hal-hal soal sekolah ini, dan kerjaan saya cuma ngomel-ngomel aja. Sampai suatu sore, saat sedang berenang dengan Mbak Anis, kakak senior terbaik di mantan kantor saya dulu, saya merasa 'ditampar' dan jadi gearing up lagi buat bisa sekolah. Sore itu saya sibuk curhat sama Mbak Anis tentang 'Gue pengen sekolah lagi!' ini, disertai dengan omelan-omelan tentang betapa menderitanya hidup saya karena satu dan lain hal eksternal yang menghalangi jalan saya. Saat itu saya berharap dapat puk-puk dari Mbak Anis, tapi kakak cantik saya itu malah berkata 'Kamu tuh nggak pantas ngeluh. Kamu belum mulai perang, udah takut duluan'.

Mbak Anis nggak sedang memarahi saya, tapi saya bersyukur karena Tuhan menyadarkan saya lewat kata-katanya. Iya, betul! Saya tuh baru wacana aja pengen sekolah lagi, tapi belum ngapa-ngapain! Sambil terus berdoa, saya kembali giat berusaha. Dan akhirnya, suatu hari di bulan Januari 2014, dengan tangan gemetar saya meng-klik tombol 'Submit application' di website UCL. 

Sekitar seminggu kemudian, saya dapat e-mail dari School of Pharmacy-nya langsung, isinya memberitakan bahwa aplikasi saya sudah diterima, dan...... mereka minta saya submit another essay, kali ini topiknya sesuatu yang sangat fundamental tentang kefarmasian. Ketawa miris lagi. Duh Gusti, mau sekolah susah banget yo. Essay kali ini beres dalam waktu tiga hari, kembali merongrong ibu ini untuk proofread. Plus Mbak Anis juga buat konten-nya, saya inget banget diskusi sama Mbak Anis di Solaria Lotte Mart Bintaro hahaha...

Essay kedua pun dikirim, tapi saya nggak perlu menunggu lama untuk kecewa. Pihak sekolah menyatakan aplikasi saya masih akan dipertimbangkan dan dibicarakan dahulu dengan Director of Programme-nya, karena satu dan lain hal. Membaca e-mail tersebut membuat saya menangis, jujur saja. Bukan karena sedih tidak diterima di universitas tersebut, tapi karena saya tiba-tiba merasakan semua kelelahan jiwa dan raga selama menyiapkan pendaftaran, hanya untuk ditolak. Memang sih mereka nggak menyatakan kalau saya fix 100% ditolak, tapi kata-kata dalam e-mail tersebut sangat menggambarkan bahwa probabilitas saya dapat diterima hanyalah 20-30%.

Hari demi hari berlalu, saya pun sudah move on. Kata-kata 'Gue pengen sekolah lagi!' sedang tertidur di pojok hati yang paling dalam. Saya sibuk kembali dengan pekerjaan. Hingga suatu malam, saat sedang bertelepon ria dengan mas-mas ini, saya menerima sebuah e-mail. Dari UCL. Hati ini rasanya langsung berpindah ke mata kaki begitu membaca sender-nya. Saya baca, dan lemaslah kaki ini.

I got conditional offer. From the programme of my dream.

Hanya tinggal mengirimkan hasil IELTS saya, jadilah statusnya unconditional offer. Rasanya saat itu badan saya berubah seperti jeli, terlalu sulit untuk diam tegak. Tidak henti-hentinya saya bersyukur, sambil cubit-cubit diri sendiri, karena sesungguhnya bahkan dengan status 'dipertimbangkan' tuh ini semua terlalu manis bahkan untuk sebuah mimpi.

*

'Gue pengen sekolah lagi!' adalah titik awal dimana saya merumuskan mimpi ini. Namun seperti apa yang dikatakan Mbak Anis, ngomong 'Gue pengen sekolah lagi!' seribu kalipun tidak akan membuat saya sekolah, jika saya tidak berusaha. Niat tidak akan pernah bermakna jika ia diam saja disana, tanpa pupuk untuk menjadikannya nyata.

Dan disinilah saya, kedinginan di suhu 10 derajat kota London, menulis semua ini, suatu refleksi indah dari perjalanan saya. Terimakasih Tuhan. Terimakasih Mamah, Papah, dede. Terimakasih teman-teman caem, Terimakasih mas. Gimanapun, dukungan doa dan semangat dari kalianlah yang membuat saya ada disini.....

Baiklah, kembali pada essay. Hah, essay lagi? Iyalah, perjuangan yang sesungguhnya justru baru dimulai saat kuliah, bukan sebelumnya!





Friday, 7 November 2014

Pelayanan Paspor Online di Kanim Bandung

Hola! Setelah lama tidak memperhatikan blog ini akhirnya saya punya waktu luang untuk sedikit santai dan posting banyak (banyak!) hal menarik yang saya alami beberapa bulan terakhir ini.

Seperti sudah diketahui oleh khalayak ramai (cih), mulai September ini saya resmi menjadi mahasiswa (lagi) di salah satu kota tersibuk di dunia: London. Pindah ke tempat sejauh ini tentunya membutuhkan banyak sekali persiapan, terutama dokumen. Salah satu dokumen paling sakti buat pergi keluar negeri sudah pasti adalah paspor. Saya terakhir bikin paspor tahun 2009, dan masa berlakunya berakhir Januari 2014 kemarin. Ya sudah, akhirnya saya pun harus memperpanjang paspor untuk keperluan sekolah kali ini.

Pada saat saya membuat paspor pertama kali tahun 2009 itu, saya inget sekali bahwa saya harus datang tiga kali ke Kantor Imigrasi. Kedatangan pertama untuk mengisi formulir dan mengumpulkan dokumen yang relevan seperti akte kelahiran, kedatangan kedua untuk foto dan wawancara serta pembayaran biaya pembuatan visa, lalu kedatangan ketiga untuk mengambil paspor yang sudah jadi.

Waktu itu sih gampang banget melakukan semuanya, maklum masih mahasiswa yang waktunya fleksibel banget. Sedangkan saat saya melakukan pengurusan paspor kemarin, saya sedang berstatus sebagai karyawan yang sudah jelas waktunya terbatas. Apalagi cutinya. Jadilah saya harus pintar-pintar mengatur waktu supaya bisa mengurus paspor.

Untunglah teknologi informasi sudah maju! Jadilah saya berpikir untuk menggunakan layanan pembuatan paspor secara online. Asumsi saya, jika menggunakan layanan ini, saya cukup sekali saja datang ke Kantor Imigrasi, yaitu pada saat pengambilan foto dan wawancara. Jadi kan cutinya juga cukup sehari saja, hehe.

Teknologi informasi memang boleh maju, tapi saat itu, rasanya menyebalkan sekali mencoba membuat paspor secara online. Bagaimana tidak, mengakses website Dirjen Imigrasi sebagai langkah awal pembuatan paspor online tuh membutuhkan effort dan doa banget! Pertama, dia suka nggak bisa diakses kalau jam sibuk. Jadilah saya nongkrongin laptop subuh-subuh demi bisa akses dan masukin data pendaftaran. Kedua,  dulu, pas jaman saya apply, semua dokumen harus di-upload saat pendaftaran online. Ini nih yang butuh effort, berkali-kali dokumen saya gagal ter-upload, padahal udah sesuai sama ketentuannya. Tapi sepertinya sekarang udah beda lagi program pendaftaran online-nya. Masalah krusial lain adalah menentukan hari kita datang ke Kantor Imigrasi. Ini agak tricky menurut saya, karena biasanya tanggal yang available adalah sekitar seminggu dari saat kita melakukan pendaftaran tersebut. Jadi, kalau baru daftar malam ini, sepertinya mustahil kita bisa memilih tanggal besok atau lusa untuk janji temu di Kantor Imigrasi.

Masalah data diri dan upload dokumen beres, sesi berikutnya adalah membayar biaya pembuatan paspor. Waktu itu saya diharuskan bayar di Kantor Cabang Bank BNI dimanapun sambil bawa semacam surat pengantar yang akan dikirim via e-mail setelah kita menyelesaikan pendataan online. Yang patut diperhatikan adalah adanya tenggat waktu untuk membayar ke bank terkait.

Setelah semuanya beres, maka kita tinggal datang saja ke Kantor Imigrasi di hari temu yang sudah kita pilih. Nah, disinilah saya merasakan reformasi birokrasi! Jadi di hari H, saya datang jam 7 pagi ke Kantor Imigrasi Bandung. Sudah ada antrian yang mengular, membuat saya sedikit panik. Ternyata oh ternyata, itu antrian buat yang belum melakukan pendaftaran online. Sedangkan buat yang sudah melakukan pendaftaran online, tinggal memperlihatkan print-an janji temu yang dikirim via e-mail ke petugas di pintu. Petugas kemudian akan melakukan scanning barcode yang ada di janji temu tersebut, selanjutnya kita dapat nomor antrian deh. Oh iya, dokumen yang harus dibawa di hari H janji temu adalah semua dokumen asli (biasanya sih KTP, KK, paspor lama, tapi bisa bervariasi tergantung kepentingan masing-masing individu), dan materai 6000 rupiah. 

Layout Kantor Imigrasi Bandung sudah banyak berubah dari sejak saya bikin paspor tahun 2009 itu. Bahkan mereka menyediakan mother room, yang menurut saya merupakan salah satu customer service yang oke. Proses pelayanannya juga cepat, saya cuma menunggu sekitar 15 menit untuk kemudian dipanggil ke meja petugas. Petugas akan mewawancarai kita secara singkat, pertanyaan yang diajukan pada saya sih standar seperti hendak pergi kemana, tujuannya apa, hal-hal seperti itu. Setelah wawancara, petugas akan mengambil foto kita. Untungnya, foto saya kali ini kece. Nggak kayak paspor sebelumnya, haha. Ngomong-ngomong, tutor saya disini aja bilang foto saya di paspor kece loh. Haha. Kibas poni dulu ah. Selain foto, petugas juga akan mengambil sidik jari kita. Tapi udah canggih, pake finger scanner gitu. Nggak kayak di Polres Cimahi yang masih pake tinta hitam haha...

And that's all! Setelah semuanya beres, kita akan diberi tanda terima untuk pengambilan paspor yang sudah jadi, yaitu tiga hari kerja setelahnya. Tiga hari kemudian saya datang dan voila, nggak sampai 5 menit antri, paspor baru sudah di tangan. Oh iya, buat Anda yang ingin memiliki paspor lamanya, harus bawa materai 6000 yah dan menandatangani semacam surat pengambilan paspor lama. Soalnya default dari Kantor Imigrasi adalah paspor lama akan ditahan jika tidak diminta oleh pemilik.

Sekian dulu reportase (yang sudah mengendap dari bulan Juni, hahaha) mengenai pembuatan paspor online di Kanim Bandung. Pokoknya dari saya sih nilainya 8 dari skala 10 buat Kanim Bandung. Bravo!

Thursday, 21 August 2014

Things I'm Gonna Miss

It has been one year and ten months since I came to Bintaro and start my first formal job ever. Yesterday, August 20 2014, was the last day I could contribute something for my company. As usual, saying goodbye is so damn hard, especially because my work mates are so cool and awesome and kind.

Not doing the eight to five daily routine anymore makes me reminiscing the good experiences I had with this job. Surely, they're way too nice to be left behind, and here comes my thought on some things I'm gonna miss.

Doing business trip will be the main thing I'm gonna miss! This is the most awesome aspect of my past job, I could travel all around Indonesia archipelago, for free! There were works to do, of course, but I still found it very fun. Let's do the count! Out of 34 Indonesia's provinces, I've been visited 15 of them, working purpose! Wiihii... I consider that as an awesome achievement, haha! Another fact of these business trips was the super heavy schedule: I could be at three different city located at three different islands within five working days! I was boarding on a plane with the same feeling as if I jump into the angkot in front of my kosan. My kosan mates even getting used to my schedule that made me couldn't be find in kosan for a week, or even more.

The demanding schedule also compelled me to be a creative-with-time person. For example, I had to accustomed myself on doing anything in a riding taxi, from sleep, eat, rehearse my presentation, and even doing make-up. Pak Wawan is a Blue Bird taxi driver who used to be my regular, and he was also accustomed to this habit of mine, especially when I had a 5 am flight to be caught, haha...

But after all, traveling surely is one of the loveliest things to do on earth. I could interact with many people from many different places and cultures (all hail Indonesia and its diversity!), went to awesome places, and of course, tried many (many!) Indonesian culinary, right in its origin. Don't blame me for this overweight body of mine, because the temptations were so damn hard to resist. I mean, how come you could miss a bowl of hot Coto Makassar, even if you had a plate of Mi Titi Panakukkang's before?

Despite of that, being alone almost everywhere was another fact of the job. At the airport, at the train station, at the plane, at the train, at the hotel room, you name it. Yes, my business trip was kind of a solo trip, so clingy girl would not welcome here. I'm a genuinely sanguine and a very social girl actually, who really need to be in a group or crowd to feel happy. But I tried to enjoy my solitude, usually it is earplug and tablet and smart phone which always be my saviors. Another fun thing to do when I was alone was to monitor people's gesture around me, how they react to problem, how they communicate. One 'weird' thing that I realize is that I could reduce my fear on something 'magic' during my working time. I used to be a fainthearted person, especially when it's come to something like ghost etc, so I don't really like being alone on a place I have not ever been. But I found myself comfortable living alone at many hotel room, even ones that said to be scary. Thank God, I never encountered any scary moment, and hopefully I would never ever experience any of that.

I think I will also miss doing my main job: public speaking a.k.a presentation. I had done presentation in many settings, from small group presentation with only five audiences, to large scale audience, for example in front of nearly 200 general practitioners. It was sometime scary, I admit, to speak scientifically in front of doctors or professors who are the masters of their respective field of practice. But I like it, especially when they appreciate what I was saying. And in my opinion, doing presentation in a small city's hospital feels more passionate than doing it in a metropolitan hospital, because the audience were really gave their greatest attention to what I delivered, asked so many questions, and sometimes they even took a note about the 'lesson' I gave.

Work mates are definitely next thing to be missed once I resign. In my department, we're working more like a family than mere office mates. Some of them are my sweet escapes, whom I could share my stories with. From laugh bursting to tear jerking stories, they always there. I think I'm gonna tell about them further on another post :) But leaving them makes me really sad. There will be no more hanging around after office hours, no more sleepover nights at their kosan, no more stupid Sametime chat, no more lunch at the Dining H(e)all, no more restroom's lame joke, and so on. Oh, here come my teary eyes. They really made my days, and made the working load to be much bearable. 

Look! What a wonderful job I had! Yes, of course there were some unpleasant moments too, but I just want to remember only the gracious things and try to forget the bad ones. Hey, life is already complicated, why should we always beef about what has happened? 

But, even though it was a great first job, life must goes on, and I have to let it go to catch my dream. I am really grateful that God blessed me with this challenging yet fun working experience, and moreover I thank Him that I could pass it all well.

Thank you, and I'm gonna miss those precious moments so much :)


Saturday, 2 August 2014

Brown and Cony

Few days ago, he bought a new smartphone. To welcome this brand new (and obviously more sophisticated than the previous one) phone, he installed the LINE application, which is widely known as a chatting application with cool stickers feature.

Finally, we could chat along on LINE! This is kinda good news for me, since I'd love to use the stickers to express my feeling toward him. Fortunately, LINE itself has a broad range of lovey dovey stickers, especially between their two main characters: Brown and Cony.

Everyone who using LINE regularly must know Brown, the bear with not so much facial expressions, and Cony, the (female) rabbit with her moody attitude. Their love story has been pictured with many stickers set, there are Brown and Cony's Lovey Dovey Date, Brown and Cony's Cozy Winter Date, and even the My Love from Another Star's LINE sticker using Brown and Cony to play the part of Do Min-jun and Cheon Song-yi.

While sending him (a lot of) Brown and Cony stickers, I suddenly realize that Brown and Cony could be the figures that describe us on our daily life. 

He would be Brown: expressionless face, small talking, sometimes with careless attitude, but has a big heart. I would be Cony: a moody but usually happy, loud, expressive, and sometimes annoying.

They might be have different personality (if not distinct), but in the end, they could be on a relationship. Stupidity, clumsiness, and even 'war' could take place on their daily life, simultaneously with their happiness and lovey dovey story.

So do we.

I will always be a fussy girl who love to nag at him-because that is one of the ways I could indicate my affection-and make him angry with my occasional clumsiness. He will always be a man-on-general-basis who doesn't really care whether I wear pink or red lipstick, and will always calm me down on my panic situation. But in the end, we love the way we live our life, just like Brown and Cony will love and hate each other at once. 

Because, you know, relationship is a package containing in-turn sweet saying and bickering that make the persons deeply understand each other as the time goes!

Wednesday, 18 June 2014

Me and (so called) Airport Fashion


I'm not a devoted full-time fashionista, but I do care about my daily appearance. Iyalah, sebagai cewek pada umumnya, saya akan meluangkan sedikit waktu untuk memikirkan what to wear, head to toe.

Menilik fakta bahwa saya adalah karyawati biasa-biasa-saja di suatu perusahaan yang mengharuskan employee-nya menggunakan seragam dari hari Senin hingga Kamis, harusnya persoalan outfit of the day bukanlah masalah besar buat saya. Tapi namanya juga cewek, tetep aja saya suka ribet mengenai hal ini, especially when it comes to the fact that I am an airport(s)-frequent guest.

Yes, airport fashion. Saya pertama kali mengetahui term ini karena saya fans berat salah satu Korean girl group, SNSD. Nah, the ladies of SNSD ini selalu tampil amazingly fashionable setiap kali mereka ada di airport untuk flight ke tujuan-tujuan konser/pemotretan/aktivitas apapun. Designer items head to toe, from baseball cap to sunglasses and even their iPhone cases, airport fashion menjadi salah satu ajang mereka untuk brand endorsement sekaligus membuktikan kekecean style mereka whenever they are, including on the departure time.

source: http://snsdoverload.blogspot.com/
My forever favorite from the 9: Jessica.
Her airport fashion is simple yet gorgeous, and her arrogant face makes the outfit even better!
Sejak beberapa tahun lalu, airport fashion adalah sesuatu yang common, nggak cuma di dunia Kpop saja. Silakan berkunjung ke airport-airport di Indonesia and you'll see people in the most updated style wait for their flights. Kece abis, istilah saya sih.
Hollywood's airport looks.
source: http://www.fashionfoiegras.com/2010/01/celebrity-airport-style.html
 Some people might think it is unnecessary, ngapain coba heboh-heboh dandan mau naik pesawat doang. Ngapain juga pake heels, kesandung bangku pesawat baru tahu rasa deh. Tapi, kalau kita lihat dari sudut pandang yang lain (my own POV, actually, haha), ada banyak alasan untuk tampil stylish di airport.

Sebagai karyawati yang kunjungannya ke airport sudah barang tentu untuk bekerja, saya sering merasa salah tingkah kalau pakai baju santai macam jeans dan kaus oblong biasa. Yup, simply because I'm on duty. Untuk tujuan ini, formal outfit yang paling sering saya gunakan di airport tentunya seragam kebangsaan: kemeja biru atau putih, celana atau rok dan blazer biru dongker. Dengan berpakaian seragam, lengkap dengan sepatu yang sesuai (usually I wear my 5-cm-heels, not the stiletto one, of course), saya merasa lebih percaya diri dan tidak saltum alias salah kostum. Terutama jika dapat penerbangan dengan maskapai ini, yang mostly penumpangnya adalah orang-orang yang juga on duty dan berpakaian rapi, serta biasanya sudah berumur. Dengan menggunakan formal outfit, saya merasa ada rasa profesionalisme yang tercermin dalam appearance saya, so that I could tell them that 'hey, don't (always) judge me by my age!'. Haha, hebring amat ya. Tapi kira-kira seperti itulah. Kebosanan yang kadang melanda karena berpakaian seragam yang gitu-gitu aja cukup disiasati dengan aksesoris: kalung dan gelang adalah andalan utama saya. Accessories are small things that really work for appearance-booster!

Selain outfit, tampilan muka alias make up juga menjadi perhatian saya. Habis rasanya kurang aja gitu kalau bare-faced pergi kemana-mana, apalagi biasanya setelah landing di destinasi tujuan saya akan segera meluncur ke tempat bekerja. Kalau lagi dapat flight subuh dan harus berangkat jam 3 pagi dari kosan, ya saya akan bangun jam 2 subuh buat dandan. Sounds so crazy, yes? But I enjoy it. Minimal sih pakai BB cream dan bedak dan lipstik, biasanya ini edisi malas. Kalau edisi sregep alias rajin, ya lengkap aja sama eye makeup. Sampai di tempat tujuan juga biasanya WC adalah tempat pertama yang saya tuju, selain untuk buang hajat, juga untuk cari cermin buat benerin makeup dan menghapus minyak-minyak dengan kertas minyak. By the way, dari pengalaman-pengalaman saya, wearing mascara while on board is a big no. Entah kenapa kalau ketiduran di pesawat bakal ada bekas-bekas maskara yang agak ganggu di kelopak mata bagian bawah.

Saya bukannya nggak pernah 'nakal'. Beberapa kali saya cuek pakai celana pendek dan T-shirt pas flight, bisanya kalau flight saya hari Minggu (hey, that's originally my holiday!). Tapi selalu ada perasaan rikuh, nggak nyaman, saat masuk lounge atau pesawat (again, apalagi kalo naik maskapai ini) dengan outfit kaya gitu. Sekarang sih saya udah jarang tampil cuek beybeh gitu, kalaupun mau tampil santai minimal saya pakai dress selutut atau atasan yang sedikit 'manis' macam babydoll. After all, mau hari Minggu pun, ini judulnya tetap business trip, so saya pikir berpakaian dengan tema menjaga business things tetap baik bagus juga buat dilakukan.

By the way, seragam tersayang sering menjadi jebakan batman juga buat saya. Paling sering sih ketemu petinggi-petinggi perusahaan yang juga lagi flight. Kadang ketemu beberapa user produk juga yang easily recognized me and my job from this uniform, haha. Kalau udah begini biasanya saya selalu sigap senyum dan langsung behave (contoh: nggak ngambil makanan dengan rakusnya di lounge).

After all, doing airport fashion menurut saya adalah masalah mendongkrak kepercayaan diri. Kenyamanan kadang menjadi nomor dua, saya akui iya. Saya pribadi sih tetap prefer to wear heels than sneakers, simply karena saya merasa lebih pede memadukan business suit dengan heels, despite of kaki saya pegel-pegel seharian pakai heels. Nggak usah branded juga dari atas sampe bawah, yang penting tetap rapi dan enak dilihat. Lastly, semuanya kembali ke kenyamanan dan kepedean masing-masing individu untuk mengenakan pakaian saat bepergian dengan pesawat terbang ini.

Happy traveling!


Monday, 16 June 2014

My Daily Menu: Flight's Delay!

source: patdollard.com
Sebagai seorang karyawati yang sering mendapat mandat untuk bekerja di daerah-daerah yang harus ditempuh menggunakan moda pesawat terbang, salah satu menu harian saya adalah menghadapi musuh-dalam-selimut bernama delay alias penundaan atau keterlambatan jadwal penerbangan dari jadwal seharusnya. Saya nggak tahu keadaan di negara lain, tapi penerbangan-penerbangan domestik di negara tercinta ini 80%-nya selalu delay, sepanjang pengalaman saya. Saking seringnya kena delay, rasanya saya sudah imun sama these delay thingy, sampai-sampai delay sekitar 30 menitan sudah masuk ke ranah ah-biasa-aja buat saya.

source: http://www.quickmeme.com

Kenapa sih harus delay? Mungkin ini pertanyaan paling mendasar dari semua penumpang pesawat terbang. Sepanjang pengetahuan saya, delay bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena keadaan cuaca yang memang tidak mengizinkan pesawat untuk menjalani penerbangan. Biasanya delay macam ini terjadi di sekitar bulan November hingga Februari, dimana curah hujan sedang tinggi-tingginya. Delay karena kondisi bencana alam juga dapat saja terjadi, misalnya saat saya harus cancel penerbangan saat terjadi erupsi Gunung Kelud pada Februari 2014 yang lalu. Delay semacam ini, menurut saya, sangat patut dipahami. Ya iyalah, daripada disuruh naik pesawat dalam kondisi hujan badai halilintar saya sih mendingan sabar menanti aja sampai semuanya kondusif, daripada mengalami resiko tinggi kecelakaan.

Alasan kedua terjadinya delay adalah kendala teknis, baik dari maskapai penerbangan maupun dari kesiapan bandar udara sebagai prasarana paling penting dalam transportasi udara. Mungkin inilah alasan utama dari banyaknya delay yang saya hadapi. Saya pernah kena delay hampir tiga jam untuk penerbangan dari Bandar Lampung ke Jakarta karena pintu pesawatnya rusak. Tak usahlah menyebutkan maskapai yang saya gunakan saat itu, tapi yang jelas saat itu saya deg-degan banget. Emang sih pihak maskapai langsung mendatangkan teknisi untuk memperbaiki kerusakan tersebut, tapi yang bikin deg-degan adalah keterangan salah satu petugas berseragam maskapai tersebut saat saya tanya progress perbaikannya: "Kita berusaha betulkan sampai 100% bener sih Bu, tapi misal nggak bisa 100% betul, ya kita akan terbang lebih rendah." Oh nooo!! Enggak gitu juga sih Mas, ya harus 100% lah, gile apa kalo tiba-tiba di atas Selat Sunda pintunya kebuka. Hii, amit-amit pisan. Pernah juga saya kena delay dua jam untuk penerbangan dari Jakarta ke Palu karena penggantian pesawat. Hal terparah dari delay ini adalah saya jadi tidak bisa menghadiri acara (alias kerjaan) di tempat tujuan. Saking kesalnya, saya langsung menulis e-mail kepada maskapai terkait dan menumpahkan semua unek-unek saya (karena lagi marah jadi pake bahasa Inggris, sok nggaya). E-mail tersebut langsung dibalas dalam waktu 1x24 jam (juga dalam bahasa Inggris), isinya permintaan maaf dari si maskapai. Hmm, pelayanan kelas premium emang beda, plus mungkin karena saya menyertakan nomor kartu-sakti-warna-emas itu kali yah. Tapi sekali lagi, dalam hal ini saya lebih memilih keselamatan sih, dibandingkan terbang tepat waktu namun beresiko terhadap safety.

Versi lain dari delay karena hambatan teknis adalah kepadatan lalu lintas bandar udara asal maupun tujuan. Pesawat dalam kondisi baik, maskapai tidak berkendala, tapi runway alias landasan yang digunakan padat, saking banyaknya pesawat yang ingin menggunakan landasan tersebut. Delay jenis ini nih yang membuat saya sering tepok-tepok dada. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bandar Udara Soekarno-Hatta sebagai bandara andalan saya sudah sangat parah kondisi traffic-nya. Menurut situs airport-world.com, pada tahun 2013 Bandara Soetta adalah bandara tersibuk kedelapan di dunia dan keempat di Asia Pasifik. Uh-wow banget bukan? Efek dari padatnya traffic di Soetta adalah pesawat harus antri untuk dapat take-off ataupun landing, dan hal ini sudah jelas mempengaruhi ketepatan jadwal penerbangan. Dan sudah jelas, delay pada suatu jam penerbangan akan merembet pada jadwal-jadwal berikutnya. So, makin malam, makin panjanglah durasi delay-nya, bisa sampai hitungan jam. Bandara lain di Indonesia yang bisa-dipastikan-selalu-delay adalah Bandar Udara Juanda di Surabaya. Walaupun Bandara Juanda udah menambah satu terminal baru, ternyata runway yang digunakan itu-itu saja, so the delay problems still couldn't be helped. By the way, in my opinion, untuk mengatasi problem ini, solusi yang paling masuk akal adalah membangun sebuah bandara baru untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah Jabodetabek, sehingga load Soetta bisa berkurang. Kabarnya sih pemerintah akan membangun bandara baru di daerah Karawang. Saya berharap semoga rencana ini bisa segera direalisasikan, plus kalau boleh request semoga akses menuju bandara baru tersebut (semacam tol, angkutan pemadu moda, dan lain-lain) juga mudah diakses dan nyaman digunakan. Kenapa saya berpendapat demikian, karena saya percaya bila transportasi udara di Indonesia kondisinya membaik, maka akan meningkat pula produktivitas secara ekonomi dan sosial baik di daerah asal dan tujuan.
Antrian pesawat di Soetta. Source: setkab.go.id
What to do on delay time? Secara marah-marah karena delay tuh hanya akan menghabiskan energi saja, lebih baik mengisi waktu delay dengan perbuatan bermanfaat. Saya sih biasanya mengerjakan kerjaan kantor (sudah tentu bohong) pada saat delay. Kegiatan lain tentunya surf the internet. Tinggal masuk lounge (kalau lagi dapat maskapai ini), atau cari cafe terdekat buat nebeng wi-fi. Bisa juga blogging, seperti yang saat ini saya lakukan saat terkena delay dari Surabaya menuju Jakarta. Membaca buku juga merupakan pilihan bijak, makanya saya selalu bawa sebuah buku di tas saya atau e-book di tablet. Telepon orangtua atau pacar juga bisa menjadi alternatif pengisi waktu. Kalau nggak punya pulsa, cukup sms atau WhatsApp pihak terkait dan bilang "telepon aku dong". Hihi. Pilihan lain yang paling ultimate tentu saja mencari pojokan untuk bersandar dan kemudian tertidur pulas. Bahaya dari tertidur saat menunggu pesawat tentu saja kemungkinan missed the boarding time, apalagi di bandara kayak Juanda yang sudah nggak menggunakan teknik pengumuman lewat pengeras suara. So pilihan ini biasanya nggak saya lakukan, apalagi saya termasuk manusia yang kebo banget kalau sudah tidur. By the way the point is nggak usah kesal, cemberut, apalagi ngamuk kalau kena delay, karena terbukti makin bikin bad mood.
source: keepcalm-o-matic.co.uk
Anyway, delay nggak selamanya berujung pada kesengsaraan. Dalam sesi delay karena pintu pesawatnya rusak tadi, saya (yang waktu masih single and available) jadi bisa berkenalan dengan seorang cowok yang juga berada di penerbangan yang sama. Ngobrol-ngobrol pun dilakukan, dan pas saya sudah geer stadium empat, si cowok berkata "Eh, kamu punya powerbank nggak? Pinjem dong!". Kampret, ternyata dia cuma ngincer powerbank saya doang, hahaha.Sesi delay lain (lupa darimana dan kemana) membuat saya berkenalan dengan seorang ibu yang bekerja sebagai manager distribusi sebuah perusahaan wadah bekal terkenal. Beliau bercerita bahwa karirnya dimulai dari direct seller yang mengetuk pintu demi pintu untuk berjualan produknya. Semua dijalani selama enam belas tahun, dan sekarang beliau sudah bisa berkeliling Eropa dari hasil reward atas achievement penjualannya. Pesan beliau agar 'anak muda itu harus sabar, jangan mau instan saja saat bekerja' sungguh menohok saya sebagai anak kemarin sore yang kadang menuntut fasilitas setara dengan mama saya yang sudah berkarir puluhan tahun.

By the way, sebenarnya ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan berkaitan dengan delay ini loh. Semuanya tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Bila kita simak penjelasan berikut, kompensasi bisa berupa refreshment alias makanan ringan yang dibagikan pihak maskapai pada penumpang, hingga kompensasi dalam bentuk uang. Tapi di PM tersebut juga disebutkan bahwa kompensasi ini tidak berlaku apabila delay disebabkan karena faktor cuaca dan faktor teknis/operasional, yang detailnya disebutkan lebih lanjut dalam PM terkait. So far sih saya selalu dapat kompensasi dalam bentuk refreshment yang selalu saya syukuri sebagai bentuk makan malam gratis.

Flight's delay memang tidak dipungkiri adalah salah satu kegiatan yang menghabiskan masa muda saya yang berharga ini. Tapi saya selalu ikhlas apabila delay yang terjadi berkenaan dengan safety assurance kita saat bepergian. Kalau delay-nya karena profesionalitas yang kurang memadai dari maskapai penerbangan sih, cukup tepok dada aja sambil bilang "selambat-lambatnya delay pasti akan berangkat juga kok".

Have a good flight, readers!







Friday, 6 June 2014

Taking the IELTS: The Prep, The Test, The Result

Ada suatu kesibukan baru dalam hidup saya sejak bulan Oktober 2013 hingga April 2014 kemarin: menyiapkan diri untuk tes IELTS, or the International English Language Testing System. IELTS, as we know, adalah suatu tes untuk membuktikan proficiency atau kemahiran kita di bidang Bahasa Inggris. Tingkat kemahiran kita akan diukur dengan angka, yang berkisar antara 0-9. By the way, IELTS ini emang bukan satu-satunya English proficiency test yang ada dan banyak diakui secara internasional sih. Ada juga TOEFL dan banyak yang lainnya. In my case, I prefer IELTS karena negara tujuan saya (tujuan apa hayo, hihi semoga bisa dibahas di post-post berikutnya hihi) adalah United Kingdom, dan setahu saya negara-negara British Commonwealth emang lebih prefer IELTS daripada TOEFL. By the way lagi, saya kemarin dapat e-mail dari suatu universitas berbasis UK dan mereka memberitahu bahwa per 6 April 2014, TOEFL sudah tidak diterima sebagai syarat English proficiency untuk mendapatkan UK Visa Student Tier 4. Untuk lebih jelasnya mungkin bisa dibaca disini ya.

Back to me and my IELTS test. FYI, saya belum pernah ikutan tes IELTS sebelum ini. TOEFL sih udah pernah, tapi hanya yang paper based, intitusional pula. So saya cukup deg-degan nih karena dihadapkan dengan target dapat nilai minimal overall 6.5 dengan nilai minimal setiap section adalah 6. Ada empat section yang diujikan dalam tes IELTS: listening, reading, writing, dan speaking.

Kegiatan persiapan saya mulai dengan tanya-tanya pengalaman beberapa teman yang sudah lebih dulu tes. Ada yang bilang tesnya susah, ada yang bilang biasa aja, macem-macem deh. Tapi yang jelas semua teman tersebut memberi nasehat bahwa saya sebaiknya belajar dan mempersiapkan diri dengan baik sebelum tesnya. Bukan apa-apa, tes IELTS ini harganya cukup mahal, sekitar 2,5 juta rupiah, jadi bodoh aja rasanya kalau asal-asalan ngambil tes dan nggak lulus.

Salah satu teman, Kiki, berhasil dapat overall score 7 buat IELTS-nya. Kata Kiki, dia banyak belajar mandiri. Dari Kiki pula saya dapat rekomendasi beberapa buku untuk latihan IELTS. Salah satu yang dia recommend adalah Barron's. Saya beli bukunya, harganya sekitar 300 ribu, di Kinokuniya Plaza Senayan. Saya coba kerjakan tes-tes yang ada disana. Pertamanya sih masih agak awkward, terutama pas bagian listening. Saya kebiasa dengar American accent di film atau lagu, sekalinya listening dengan British accent, butuh beberapa waktu buat getting used to it.

Setelah mengerjakan soal-soal di Barron's, saya memutuskan untuk ikut mock exam alias semacam try out IE:LTS ini. Saya ambil tes-nya di IEDUC Bandung. Kayanya dia punya kantor juga di Jakarta, tapi saya kebetulan hari itu lagi pulang kampung ke Bandung, jadi sekalian aja. Harga mock exam-nya sekitar duaratus ribu rupiah saat itu. Namanya juga mock exam, ya situasinya dikondisikan seperti tes aslinya nanti. Dan masalah utama saya saat mock exam ini adalah time management. Seriously I run out of time banget. Hasil mock exam keluar, saya dapat L6.5R6.5W5.5S5.0. Gilaaa, PR banget buat ngejar nilai bagus!

Melihat hasil tersebut, saya berpikir mau nggak mau saya harus les buat preparation IELTS. Nah, ini nih masalahnya, secara saya adalah karyawati dengan jadwal kerja ter-tidak fleksibel untuk les-lesan begini. So dari sekian banyak pilihan tempat preparation, saya pilih IELTS preparation workshop yang diadakan oleh IDP Pondok Indah. Cuma seminggu dan tempat serta waktunya bisa dikejar after my office hours. Syukurlah, saya berhasil mengosongkan jadwal seminggu full bebas dari tugas luar kota.

Pengajar workshop saya adalah seorang native bernama John, yang juga adalah IELTS examiner. John baik, bersedia diskusi, dan yang jelas orangnya to the point. Pas saya bilang target saya adalah dapet score 7, dia senyum dan bilang "that will be hard, though". Hahaha, sialan. Tapi saya nggak tersinggung, saya anggap itu challenge dari dia supaya saya kerja keras. Selama workshop John banyak memberikan tips-tips yang berguna untuk tes. Oh iya, jangan harap bakal diajarin lagi basic English ya disini. Secara namanya workshop, jadi ya fokusnya pada how to prepare for the IELTS-nya aja, bukan pelajaran bahasa Inggris. Enaknya ikutan les preparation kaya gini, ada yang menilai buat writing dan speaking section, secara nilai saya di dua section tersebut mengkhawatirkan dunia banget.

Beres seminggu workshop, saya masih belum pede untuk langsung ambil tes. Saya merasa masih perlu banyak berlatih, terutama ya di writing dan speaking section tadi. Saya berlatih menggunakan buku kumpulan soal IELTS yang dikeluarkan oleh Cambridge, suer deh tingkat kesulitannya maknyus banget buat belajar. Selain belajar dari buku soal, saya juga melatih kemampuan listening dengan menonton film berbahasa Inggris tanpa subtitle (my favorite will always be Om Benedict Cumberbatch and his Sherlock series), rajin mendengarkan radio berbahasa Inggris via streaming online (BBC kalau lagi serius, Capital FM London kalau lagi pengen ajeb-ajeb). Buat melatih speaking, saya mengajak beberapa teman buat nemenin saya ngobrol in English (thanks a lot buat Mbak Anis, Yosi, Dek Alda), atau kalau lagi sendirian ya self talking aja sama cermin, di WC, pokoknya malu-maluin. Kemampuan writing saya juga masih ababil, terutama vocabulary saya yang kurang variatif, so saya banyak membaca koran, artikel, hingga literatur berbahasa Inggris. Setiap vocabulary baru yang saya temui saya catat, sehingga bisa jadi referensi untuk bahan writing.

Setelah merasa (sedikit) lebih siap, saya mencanangkan tanggal 5 April sebagai test date saya. Seminggu sebelum tanggal tersebut saya mendaftar online, dan disambut kenyataan pahit bahwa semua test centre (bahkan Bandung dan Surabaya)  udah full booked buat ujian tanggal tersebut. Alamak! Terpaksa saya (dengan sedikit dimarahin sama mas-mas ini) mengundurkan test jadi tanggal 12 April. Pendaftaran dan pembayaran dilakukan online, setelah itu kita harus datang ke kantor cabang IDP terdekat (soalnya saya ambil test-nya di IDP. Kalau di Jakarta selain IDP, penyelenggara lain adalah IALF dan British Council) untuk finger-scanned dan foto.

D day! Saya dapet venue tes di Apartment Pondok Indah Golf. Test dimulai jam 8, tapi jam 7 saya sudah rapi jali ada di venue. Sesuai saran dari sahabat saya si Vava yang sudah pernah IELTS, saya makan nasi goreng ('harus nasi sarapannya!') plus kopi (beli di Sevel dekat kosan, haha). Di dalam ruang test sendiri boleh bawa air minum asal wadahnya transparan.

Saat sudah duduk di bangku test rasanya deg-degan banget. First section, listening. Sebelum mulai, pastikan kita bisa mendengar audio dengan jelas di tempat kita duduk. Ingat! IELTS ini bentuknya mostly isian dan bukan multiple choice. Nah, isian means kita harus mengisi dengan spelling yang tepat. Salah spelling ya coret. Kurang 's' di akhir kata sebagai bentuk plural juga coret. Gunakan juga huruf kapital sesuai dengan kaidahnya, misalnya di awal kata yang berupa nama orang atau tempat. Dan karena audio untuk listening test ini hanya dimainkan sekali saja, pastikan untuk selalu move on dan jangan hilang fokus bila di tengah-tengah soal kita mengalami kesulitan menjawab. Yang menjadi distractor kalau tes listening biasanya kalau ada soal yang berhubungan dengan angka (misal nomor telepon), atau spelling suatu nama.

Listening sudah dilalui, saatnya saya lanjut ke section berikutnya: reading. Cara saya mengerjakan tes reading adalah sebagai berikut: saya screening dulu tipe soal yang diberikan untuk tiap bacaan, kemudian membaca cepat bacaan tersebut (usually no more than 2 minutes for each passage) sambil menggarisbawahi kata atau kalimat yang tersurat dalam pertanyaan yang sudah sempat saya screening tadi. Setelah itu saya membaca betul-betul masing pertanyaan yang diajukan, dan mencari jawabannya di bacaan tadi (seharusnya mencari dimana letak dari jawaban tersebut akan lebih mudah karena kita sudah sempat screening bacaannya terlebih dahulu, bukan?). Sebenarnya ada banyak cara mengerjakan lain, tapi so far saya cukup sukses dengan pendekatan ini sih hehe.

Section berikutnya adalah writing. Momok terbesar saya, actually. Writing ini ada dua task, task kedua bernilai dua kali lipat dari task pertama. So, curahkanlah 80% perhatianmu pada Task 2. Jangan berlama-lama di Task 1, cukup 15 menit, maksimal 20 menit. Kebanyakan teman-teman saya yang failed di writing section ternyata menaruh perhatian berlebih pada Task 1 sehingga Task 2 tidak dikerjakan dengan baik. Menurut tutor saya waktu preparation, ada beberapa hal yang dinilai di writing section ini. Pertama adalah response kita pada pertanyaan yang diberikan (misalnya untuk Task 1, kemampuan kita mengidentifikasi poin penting dari grafik atau diagram yang diberikan). Kedua, coherence atau kesesuaian isi tulisan dengan pertanyaan pada soal. Ketiga, lexical resource. Semakin banyak kita gunakan vocabulary yang lebih formal (contoh: gunakan 'obtain' untuk kata 'get'), semakin baik nilai kita. Keempat adalah grammar, jadi sediakan beberapa menit di akhir untuk memeriksa kembali grammar yang kita gunakan. Sebelum memulai menulis, saya biasanya membuat mind map mengenai topik yang ditanyakan. Kemudian, membuat kerangka kasar isi per paragraf. Intinya, rencanakanlah dahulu apa yang hendak kita tulis dengan matang, baru kemudian mengembangkannya. Jangan terburu-buru ingin langsung menulis tanpa perencanaan yang baik, karena bisa jadi kita stuck di tengah-tengah dan berujung pada pemborosan waktu.

Section terakhir adalah speaking. Disini kita akan berhadapan dengan seorang penguji atau examiner, native speaker tentunya, yang akan memberikan beberapa pertanyaan pada kita. Speaking test sendiri terdiri dari tiga part. Pada part pertama, biasanya examiner meminta kita menceritakan mengenai diri kita dan hal-hal umum yang berhubungan dengan diri kita: family, hobby, school, work, daily life, etc selama kurang lebih dua menit. Kemudian pada part 2, examiner akan memberikan sebuah kertas berisi topik dan beberapa pertanyaan mengenai topik tersebut. Kita akan diberi waktu satu menit untuk mempersiapkan poin-poin yang akan kita utarakan, kemudian selama dua menit berikutnya kita harus menceritakan topik tersebut serta menjawab pertanyaan yang diberikan pada sang examiner. Ibaratnya, kita lagi presentasi mengenai topik yang diberikan. Part terakhir, lebih berupa diskusi antara sang examiner dengan kita, topiknya biasanya nggak berbeda jauh dengan topik di part dua. Pengalaman saya, examiner saya orangnya cukup baik, full smile pula, sehingga saya rileks dan tidak tegang. Penilaian pada tes speaking ini, menurut yang diajarkan tutor saya, hampir sama dengan writing section. Fluency and coherence, lexical resource, grammatical range, serta accuracy and pronunciation.

Selesai sudah serangkaian test IELTS, saatnya menunggu 13 hari untuk mengetahui hasil nilai saya. Preview hasil test kita bisa diakses secara online di sini dengan memasukkan nama lengkap dan nomor ID yang kita gunakan saat test. Sungguh saya sangat deg-degan membuka website tersebut pada hari itu, sambil doa tak putus-putus, ternyata hasil yang saya dapat beyond my wildest expectation. Kaget, dan tentunya sangat bersyukur. 

IELTS test harus saya akui bukanlah sesuatu yang mudah, namun bukannya tidak bisa dipersiapkan dengan baik, bukan? Latihan, latihan, dan latihan adalah kunci utama kesuksesan tes IELTS menurut saya. Bukan hanya latihan dari soal yang sudah ada, tapi latihan membiasakan diri kita dengan English dalam hidup sehari-hari. Jangan lupa berdoa dan stay focus selama tes, niscaya hasil yang baik akan datang pada kita.

***

Big thanks to mas-mas baik yang sudah menemani saya selama hari tes, your presence really reduced my worry!



Thursday, 8 May 2014

My Weekdays Escape: Lumajang, B29, dan Negeri di Atas Awan



 "Ties, awal Mei tugas tiga hari berturut-turut ya, dua hari di Lumajang dan sehari di Jember."

Demikianlah titah dari Pak Bos pada saya di suatu hari kerja. Meh, another episode of jelajah Jawa Timur nih, pikir saya. Baiklah, sebagai karyawati yang (ceritanya) baik, saya pun mengiyakan dan segera membuat itinerary perjalanan.

'Petualangan' dimulai di suatu Senin subuh yang damai, saya naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya, kemudian naik kereta api dari Stasiun Gubeng Surabaya ke Jember. Eh, kenapa ke Jember dulu? Iya, soalnya area manager cabang sana tinggal di Jember, jadi nanti saya akan pergi bareng beliau ke Lumajang.

Semalam istirahat di Jember, Selasa pagi saya pergi ke Lumajang bersama sang area manager, Pak Rony. Perjalanan Jember-Lumajang ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam (plus acara berhenti ngemil pastel yang sumpah-enak-banget, ada di Toko Soponyono, daerah perbatasan Jember sama Lumajang), medan cukup oke, plus pemandangan yang teduh dan damai.

Lumajang ini ternyata terletak di kaki Gunung Semeru. Pantesan aja hawanya cukup bersahabat, plus kotanya emang nggak begitu besar, sehingga rasanya nyaman aja. Di Lumajang ini saya menginap di Hotel Gajah Mada di Jl. P.B. Sudirman. Hotelnya fine kok, bersih dengan harga yang sesuai pula.

Dua hari kerja di Lumajang, Rabu siang setelah beres presentasi Pak Rony bertanya pada saya mau jalan-jalan kemana. Wah, saya clueless banget, so saya menyerahkan semuanya ke Pak Rony.

"Oke Bu, kita ke B29 saja yuk!"

Hah, B29? Apaan tuh? Saya sih taunya itu merk detergen. Tapi ternyata bukan B29 yang itu kok. B29 ini, menurut Pak Rony, adalah kampung tertinggi di Pulau Jawa. Wuih, bakal seru nih.

Kami pun berkendara sekitar sembilan puluh menit perjalanan ke arah luar kota Lumajang, dan setelah beberapa saat terpampang baligo besar bertuliskan 'Selamat Datang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru'. Whoa whoa whoa! This is gonna be awesome, saya pikir.

Jalanan menuju Desa Argosari
 Kami terus melaju menuju sebuah desa yang bernama Argosari. So far, jalanan masih bersahabat banget, aspal, dan bisa dilewati dua mobil dari arah yang berlawanan. Yang nggak bersahabat sih medannya, banyak banget tikungan tajam yang merupakan tanjakan. Gile, udah nanjak, tikungan tajam pula. Sedap.

Gerbang Desa Argosari

Kira-kira 3 km dari gerbang desa Argosari, kami mulai merasa bahwa medan jalanan ke depan sudah tidak bisa dilalui lagi dengan mobil. Akhirnya kami berhenti di pinggir jalan dan menunggu penduduk yang lewat untuk kami tanyai soal akses menuju B29.

Dari keterangan beberapa penduduk yang melintas, akses satu-satunya menuju ke B29 adalah menggunakan ojek sepeda motor. Okesip, kami pun menyewa motor tiga orang penduduk setempat. Harga ojek yang kami sepakati adalah Rp 40.000 PP per ojek. By the way harga ini bisa bervariasi, bisa jadi lebih mahal kalau naiknya dari titik yang lebih bawah dari tempat kami berhenti. Driver ojeg yang saya naiki namanya Pak Tuwi. Beliau orang Suku Tengger asli, dan sehari-hari bermata pencaharian sebagai petani kentang dan bawang merah.

Motor digas dan kami pun mulai menapaki jalan menuju B29. Oh. My. God. The journey is more challenging to the adrenaline than riding Halilintar at Dufan! Seriously, it's very not recommended buat wisata keluarga bersama anak kecil, atau buat wanita hamil. Jalan setapak yang sangat off-road, jurang di sebelah kanan, bukit di sebelah kiri. Seriously I have to give ten thumbs to Pak Tuwi yang jago banget ngendarain motor di medan kaya gini. But despite of the off-road, the scenery is spectacularly beautiful. Bayangin bunga-bunga liar yang tumbuh di kiri-kanan, berpadu dengan lahan bawang merah, di ketinggian dimana awan adalah teman seperjalanan saking rasanya dekat banget. Yup, julukan buat daerah ini adalah Negeri di Atas Awan :)



Sepanjang perjalanan, Pak Tuwi bercerita tentang B29 ini pada saya (iya, beliau bisa banget cerita dengan santai, sambil nyetir motor di kondisi off-road, sementara saya di kursi penumpang berdoa semoga saya nggak terjungkal dan mendarat dengan posisi pantat duluan). B29 sendiri adalah singkatan dari Bromo-29. Bromo, karena daerah tersebut masih termasuk ke dalam rangkaian pegunungan Bromo. 29, karena titik tersebut berada 2900 meter di atas permukaan laut, dan diklaim sebagai tanah tertinggi di Pulau Jawa. B29 ini sendiri masih masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Lumajang.

Setelah sekitar 20 menit mengendarai motor-rasa-Halilintar, tibalah kami di titik B29. WHOA! This is breathtaking scenery! I can see Bromo from above. Yup, from above! Interesting, isn't it? Jadi titik B29 ini memang secara ketinggian kabarnya lebih tinggi daripada Bromo, makanya kita bisa memandang Bromo dari atas disini. Eits, belom semua. Toleh kiri, dan puncak Gunung Semeru pun dengan gagahnya hadir memanjakan mata. Superb!

Bromo Mountain, right in front of my eyes

Puncak Gunung Semeru, gagah!
Kami pun naik lagi ke suatu tanah lapang dan mulai membuka bekal makan siang: ayam bakar. Kalau kata Pak Rony, ini adalah ayam bakar terenak yang pernah ia makan seumur hidup. Hahaha, boleh juga. Disini kami bertemu dua orang pecinta alam yang sedang mendirikan tenda dalam rangka ingin melihat sunrise esok hari dari titik ini. Ternyata oh ternyata, Pak Rony turned out to be pecinta alam juga while he was younger, so nyambunglah beliau ngobrol sama dua orang yang kami temui tadi. Dari pembicaraan mereka, ada satu hal yang saya tangkap: kabarnya Semeru sekarang kotor, sejak banyak orang berbondong-bondong datang kesana tanpa pengetahuan lingkungan hidup yang cukup (kata mas-nya itu sih most likely imbas dari pemutaran film 5 cm beberapa waktu lalu).

Angin disini cukup dingin, walaupun panas matahari pukul 4 sore masih cukup menyengat. By the way, mostly masyarakat asli sini selalu pakai sarung kain yang disampirkan di bahu mereka. Wajar sih, the wind is so breezy.

So that was it! Setelah beres makan ayam-bakar-terenak-versi-Pak-Rony, kami pun bersiap turun dan kembali ke kota karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul empat sore.

Hmm, wait a sec. Have I mention that I made it there with complete business suit and a 5 cm heels?

Oh yes, I did that.

And I believe that there's a high possibility I'm the only one who do that. Crazy, yes? Hahaha... I admit that! Beberapa cowok pecinta alam yang ada di lokasi sampai bingung, ini mbak-mbak nyasar darimana nih. Bahkan Pak Tuwi sempat stres waktu liat saya nekat naik bukit pake heels. Ya maklum, ini event impromptu, kabur setelah beres kerja, so saya mana persiapan kostum. Tapi toh saya (syukurlah) selamat-selamat aja kok, tanpa kekurangan sesuatu apapun, kecuali lengan bagian bawah yang nyeri karena pegangan kencang di motor.

Made it with blazer and heels, yeay!


Literally Negeri di Atas Awan. Since I'm higher than the cloud :D
B29, Desa Argosari, Kabupaten Lumajang. Highly recommended banget buat dikunjungi. Sebaiknya pas weekday, karena kabarnya kalau weekend rame banget, dan space-nya nggak seluas itu, jadi pasti crowded. Sangat disarankan membawa kamera yang bagusan dikit, atau at least kalau mau pakai phone camera, jangan lupa bawa powerbank.

Satu lagi. Jagalah kebersihan dan kelestarian alamnya ya! :) 




Friday, 28 February 2014

Vulcantine Day: Me, Eruption, and February 14

14 Februari 2014

Hari pertama sejak terjadinya erupsi Gunung Kelud. Erupsi hebat yang menyebabkan semburan hujan abu ke daerah-daerah sekitarnya, bahkan hingga ke Bandung yang berada di Jawa Barat. Kebetulan, saya menjadi salah satu manusia yang turut mengalami cukup banyak kejadian sebagai kompensasi  dari erupsi tersebut.

Semua ini bermula karena sejak tanggal 10 Februari saya bertugas di Kota Malang, yang notabene berjarak kurang lebih 100 kilometer dari Gunung Kelud. Tanggal 13 Februari malam, mas-mas ini bertanya pada saya bagaimana kondisi saya terkait erupsi Kelud. Sebagai anak yang cuma nonton Channel V di kamar hotel, sejujurnya saya bahkan nggak akan tahu Kelud erupsi kalau nggak diberitahu Mas Arie. Dan sejujurnya lagi, ilmu peta buta saya ini jongkok banget, sehingga saya nggak langsung connect hubungan antara erupsi Kelud dan posisi saya di Malang. Oke, mari minta bantuan pada Gmaps! Ketik-ketik di search engine, voila! Saya pun terhenyak. Kok (ternyata) deket sih dari Malang? Channel TV langsung saya pindah ke channel berita nasional, dan gambar-gambar yang ditampilkan cukup membuat saya sadar bahwa ini bencana besar.

Hasil searching di Gmaps tentang posisi saya dan Gunung Kelud

Saya masih berusaha menenangkan diri karena berita-berita belum menyebutkan efek erupsi pada Kota Malang. Tapi ketenangan yang sudah berhasil saya capai itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian saya melihat kilatan seperti petir berwarna agak merah di langit sebelah barat saya, di arah dimana GPS saya menunjukkan posisi Gunung Kelud.

Kalau saya panik, cara terbaik untuk mengatasinya adalah berbagi kepanikan pada orang lain. Maka saya segera chat dengan ibu ini dan ibu ini via Line. Berbagai saran mulai mereka berikan, dari mengisi full air minum, charge semua gadget dan power bank, hapalin letak tangga darurat, sampai larangan pakai daster saat tidur ('biar lo bisa cepet kabur dengan outfit yang cukup oke kalau amit-amit ada bahaya') dan anjuran tidur dengan bawa tas berisi semua perlengkapan ('pas dulu Bandung gempa heboh, gue tidur pake tas selempang loh. Biar cepet kalo mau evakuasi').

Sungguh, malam itu saya sulit tidur. Setiap kali mau memejamkan mata, rasanya takut bakal terjadi apa-apa. Tapi saya pantau du luar jendela, Kota Malang masih fine, sehingga setelah berdoa saya pun bisa tidur.

Terbangun jam 5.30 pagi, Kota Malang was so perfectly fine. Jadi ceritanya, seharusnya saya flight balik ke Jakarta dari Malang ini jam 10.45. Nggak ada hujan abu sama sekali. Mungkin karena menurut pemberitaan, angin bertiup ke arah barat dan barat daya Kelud, sedangkan saya ada di timur Kelud. Langkah pertama tentunya tetap memantau berita, dan mendapati kabar bahwa beberapa bandara sudah closed, antara lain Surabaya, Solo, Yogyakarta. Segera saya menelepon ibu dan bapak bos yang berada di Jakarta. Mereka menginstruksikan saya untuk bersiap-siap extend menginap di Malang in case flight saya delayed. Saya lalu mencoba menelepon kantor Garuda Indonesia cabang Malang, dan mereka menyatakan bahwa baru saja mereka menerim kabar bahwa bandara Malang juga ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Moreover, mereka menyarankan saya refund saja tiket saya karena tidak ada yang bisa memprediksi kapan bandara bisa kembali beroperasi.

Okaay, itu berarti saya harus SEGERA mencari jalan lain untuk kembali ke Jakarta. Seperti saran beberapa orang, alternatif paling favorable tentu saja menggunakan kereta api. Namun sebelum memutuskan, tentunya harus diskusi dulu dengan bos di kantor, berhubung ini dalam rangka dinas. Setelah sesi-sesi telepon heboh, akhirnya keputusannya adalah bahwa siang ini saya akan ke Surabaya dari Malang, handle kerjaan tim di Surabaya (harusnya Mas Lubbi yang isi, tapi kan beliau juga nggak bisa flight dari Jakarta), lalu naik kereta dari Surabaya ke Jakarta.

Baiklah! Langkah utama adalah mengamankan tiket kereta dari Surabaya ke Jakarta. Cek online, puji Tuhan masih ada buat malam ini. Saya langsung lari-lari (literally lari!) ke Alfamart dekat hotel untuk membeli tiket kereta. Saat semua sudah terlihat beres, mbak-mbak Alfa nya memberitahu saya bahwa pembayaran tidak bisa dilakukan dengan debit, harus cash. What? Ya saya mana ada prepare cash sebanyak itu! Akhirnya saya batalkan transaksi, dan lari ke Indomaret yang berjarak beberapa meter. Hal pertama yang saya tanyakan tentunya adalah apakah mereka menerima pembayaran dengan debit card atau tidak, haha. Syukurlah bisa, tapi amazingly tiket kereta untuk malam ini yang sekian menit lalu masih available di toko sebelah, sekarang sudah sold out. Astagaaa... Ini sih udah jelas semua orang yang flight-nya di-cancel langsung beralih ke kereta. Saya cepat-cepat mengubah jadwal menjadi keesokan harinya, dan syukurlah masih tersedia seat. Setelah saya menyelesaikan transaksi, saya segera menghubungi Mbak Ocha supaya membantu saya booking hotel di Surabaya malam ini.

Setelah episode lari-lari demi tiket kereta (kemana-mana jalan kaki), saya merasa lapar dan baru sadar sedari pagi belum sempat sarapan. Saya pun kembali ke hotel dan berpikir bisa sarapan dengan tenang. Sambil nyeruput teh manis, saya menelepon travel jurusan Malang-Surabaya. Puji Tuhan, masih ada seat untuk keberangkatan jam 10. Saya lirik jam, jam 9. Okesip, keburu banget. Saya pun segera deal dan meneruskan ke menu sarapan berikutnya: nasi goreng.

Baru dua suap, saya tiba-tiba baru ingat bahwa saya belum refund tiket flight saya! Waduh.... Piye ki tuips. Berdasarkan keterangan CS Garuda yang tadi pagi saya hubungi, refund harus dilakukan di kota keberangkatan. Makjang.... Itu artinya saya harus refund sebelum saya meninggalkan Malang dong, which is cuma sisa 40 menitan lagi sebelum travel saya jemput. Syukurlah, kantor Garuda Malang terletak di dekat hotel saya. Jadi saya cepat-cepat menghabiskan sarapan dan segera pergi untuk melakukan refund. Of course, literally running. Again.

Sampai di kantor GA, saya langsung lemes mendapati antrian pengunjung udah mengular. Saya dapat nomor tunggu 10, sementara antrian baru nomor 1. Saya pun segera menghubungi pihak travel Malang-Surabaya dan memohon-mohon supaya mereka mau menunggui saya beres refund. Beruntung, mereka mau. Mungkin karena nggak tega mendengar suara saya yang memelas ini. Setelah hampir 40 menit, urusan refund pun kelar. Langsung cepat-cepat balik ke hotel, check out, dan naik travel menuju Surabaya.
 

Gambaran kasar positioning tempat-tempat dalam cerita. Pardon me for the super-unartistic-doodling of mine :)

Perjalanan menuju Surabaya nggak bisa dibilang mudah, sepanjang jalan berasa kaya lagi di gurun karena abu tebal yang menghalangi pandangan. Tapi syukurlah, volume kendaraan saat itu tidak padat sehingga dalam jangka waktu 3,5 jam perjalanan saya sudah sampai di Surabaya.

Masih ada beberapa saat sebelum presentasi sore ini dimulai, saya pun leha-leha sejenak di kantor cabang Surabaya sambil makan empal penyet. Finally, I could have some peaceful meal setelah seharian ini rasanya lari-lari terus. Plus segelas kopi sebelum presentasi, sore ini rasanya cukup tenang untuk dijalani.

Pulang presentasi, menyempatkan diri dulu pergi ke Stasiun Gubeng untuk menukarkan e-ticket saya dengan tiket 'beneran'. Prosesi penukaran ini juga agak bikin deg-degan sih, karena saya cukup gambling juga datang ke Gubeng jam 8 malam. Syukurlah, loketnya masih buka.

Akhirnya touchdown hotel juga sekitar jam 9 malam dan mendapati 'masalah' baru: I didn't have any clean clothes left. Maklum, cuma persiapan buat 5D4N aja, nggak ngira bakal extend semalam begini. Dan saya termasuk orang yang ogah pakai baju yang udah seharian dipakai, apalagi besok harus menempuh perjalanan panjang Surabaya-Jakarta by train. Ya udah, nggak ada pilihan lain: let's rinse the clothes! Saya pilih mencuci satu kemeja yang bahannya cepet kering kalau basah, dan beres nyuci saya memanfaatkan hair dryer hotel buat mengeringkan si kemeja. Syukurlah, besok paginya dia sudah kering dan bisa saya gunakan.

15 Februari 2014

Jam 7 pagi saya sudah rapi jali tiba di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Woah, what a crowd! Seperti ramalan saya (dan memang dibilang juga di liputan-liputan televisi), semua orang beralih ke moda transportasi kereta api begitu tahu Bandara Juanda ditutup sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Dari segi appearance pun sudah kelihatan kok, secara hari itu Sabtu pagi tapi banyak orang pakai business suit. Pasti karena flight-nya cancel dan nggak punya baju lagi buat extend semalam hihi.

Jam 8.15 KA Argo Bromo Anggrek yang saya naiki berangkat dari Pasar Turi. Hufft, embrace yourself for this long (long!) journey, Ties! Untunglah semalam saya sudah mendownload semua episode drama yang belum saya tonton, sehingga perjalanan menjadi lebih bearable. Ditambah dengan pemandangan sepanjang perjalanan yang memang bagus banget sih (walaupun mendung) dan percakapan via WhatsApp (uhuk) akhirnya 10 jam pun berlalu dan saya bisa touchdown Gambir.

Keluar dari kereta rasanya lemes banget. Kalau naik pesawat 10 jam udah sampai Australia kali ya. Kembali menghadapi ujian kesabaran menunggu antrian taksi burung biru seperti biasa, dengan cuek saya duduk aja ndelosor di trotoar Gambir. Capek soalnya, haha.

Sekitar jam 9 malam akhirnya saya sampai juga di kosan, yang sudah seminggu nggak dipukpuk sama yang punyanya itu. Ah, kasur! How much I miss you! Despite of all this tiredness, saya bersyukur banget masih bisa pulang ke Jakarta. Kalau flashback ke pagi hari tanggal 14 Februari itu, rasanya makin-makin bersyukur, bahwa di tengah erupsi yang berada di dekat saya, saya masih diberi keselamatan.

Oh, and the Valentine's Day? Yah, cukuplah dirayakan dengan cukup stres melihat ornamen cupid segede pohon Natal dari bahan styrofoam warna pink dangdut di dekat venue presentasi saya sore itu. Kalau kata Pak Daud (area manager Surabaya) sih 'Ini Vulcantine Day bu Tiesa!'. 

Yup, Happy Vulcantine Day then. Semoga cinta selalu berada di sekitar kita, termasuk cinta pada sesama yang menjadi korban erupsi kali ini. :)