Friday, 26 May 2017

Menambah Uang Jajan dari Ikutan Penelitian



Sebelum memulai postingan ini, izinkanlah saya membersihkan dahulu sarang laba-laba yang mengotori blog ini. Miris sekali melihat postingan terakhir bertanggal Oktober 2015! Berarti saya sudah enggak mengelus-elus blog ini hampir selama satu setengah tahun! Harap maklum, kegiatan tulis menulis sedang saya fokuskan disini. Demi terciptanya stabilitas rekening.

Baiklah, postingan kali ini agak-agak berbau throwback. Maklum, saya lagi senang mengenang. Dari sekian banyak episode kehidupan saya, edisi mengenang paling sering saya lakukan terhadap medio September 2014 hingga September 2015. Yup, saat saya menikmati satu tahun menjadi mahasiswi berbeasiswa di kotanya Mbak Kate Middleton.

Namanya juga mahasiswi berbeasiswa, tentunya harus pintar-pintar mengatur keuangan. Uang beasiswa yang saya terima saat itu memang terbilang cukup untuk menjalani kehidupan. Namun harap diingat bahwa saya hidup di kota metropolitan dengan biaya hidup yang cukup tinggi di seantero jagad. Sehingga walaupun saya sudah bela-belain bekal setiap hari, tinggal di daerah yang cukup jauh dari sekolah demi menghemat rent, banyak jalan kaki dan meminimalkan naik tube, ya kalau mau tambahan jajan harus ada ekstra usaha.

Saya sadar diri bahwa otak dan fisik saya enggak cukup mumpuni untuk menjalani part time working sambil kuliah master. And mind you, my major is pharmacy. Entah mengapa menurut saya kuliahnya lebih heboh daripada major lain. Dan program master di UK hanya dijalani dalam waktu setahun saja. Sehingga pace kuliahnya sudah kayak orang lagi F1 racing. Riskan sekali untuk menjejali waktu luang dengan kerja, lha wong untuk baca jurnal saja kadang saya lakukan sambil semedi di WC.

Pencerahan datang dari teman satu flat saya yang kebetulan juga berasal dari Indonesia dan dari pemberi beasiswa yang sama. Nona Rasti ini majornya psikologi, dan suatu hari dia bercerita tentang banyaknya mahasiswa psikologi, baik master maupun doktoral, yang sering mengadakan rekrutmen untuk partisipan penelitian yang mereka lakukan. Dan para partisipan ini akan diberi imbalan yang sesuai dalam bentuk poundsterling!

Saat mendengar hal ini di dapur flat bersama sahabat kami dari Mexico, Roberto, saya cuma manggut-manggut saja. Belum terasa ada urgensi untuk cari poundsterling tambahan. Yang saya butuhkan waktu itu malahan jam tambahan dalam sehari karena banyak sekali paper yang harus saya kerjakan.

Suatu sore yang hujan di bulan Juni 2015, saat itu saya sudah bebas dari taught lectures alias kuliah di kelas. Yang tersisa 'hanyalah' paper yang menunggu di-submit, dan tentunya disertasi yang setiap hari hadir di pikiran saya bahkan saat saya sedang tidur. Nona Rasti meng-WhatsApp saya, bertanya apakah saya ada waktu luang sore itu.

"Gue harusnya jadi partisipan penelitian temen gue, nih. Tapi ternyata gue enggak eligible karena riwayat medis gue. Lo bisa gantiin gue nggak, ceu? Tempatnya di Bedford Way doang kok, enggak bakal lebih dari sejam durasinya! Dapet £20 lho ceu buat dua kali kedatangan!"

Saat itu saya mengiyakan tawaran Nona Rasti karena nadanya yang memelas dan katanya ini adalah teman sekelasnya yang sudah cukup desperate cari partisipan. Baiklah, saya pun berangkat.

Setelah menembus hujan deras berjalan kaki dari Brunswick Square ke Bedford Way, saya disambut oleh Victor sang researcher. Setelah berbasa-basi sejenak mengenai derasnya hujan sore itu, ia pun menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang ia lakukan. Ternyata ia hendak meneliti bagaimana seseorang menyimpan memori terhadap suatu unfortunate events, dalam hal ini kecelakaan lalu lintas. Dan bagaimana jika orang tersebut disodori pekerjaan yang 'mendistraksi' pikirannya yang sedang membayangkan event tidak menyenangkan tersebut. Victor bilang, tujuan penelitiannya adalah untuk mencari terapi secara psikologis yang tepat bagi para korban kecelakaan lalu lintas. Wah, menarik sekali!

Setelah menjelaskan teknis penelitian, Victor menyodorkan sebuah kertas berisi informed consent yang perlu saya tanda tangani. Ia bertanya apakah saya keberatan jika dipertontonkan video yang mengandung unsur darah dan semacamnya. Saya sih santai saja.

Saya pun masuk ke sebuah ruangan, yang jujur saja menurut saya agak creepy, berisi meja, kursi, dan seperangkat komputer. Suasana makin creepy gimanaa gitu karena jendela ruangan tersebut menghadap ke Bloomsbury Hotel yang notabene cukup tua, London hujan deras dan berpetir pula. Dan dalam kondisi begitu saya menonton lima video tentang kecelakaan lalu lintas. Sedap.

Di akhir setiap video, ada task yang harus saya kerjakan, kebanyakan seperti main games berbasis logika. Setelah itu saya disodori pertanyaan-pertanyaan yang intinya menggali memori saya tentang video yang saya tonton tadi.

Sesi sore itu akhirnya selesai dan saya harus kembali lagi dua minggu kemudian, dimana setiap hari saya harus mengisi daily journal yang menanyakan apakah memori tentang video-video yang saya tonton tadi terulang di pikiran saya selama dua minggu tersebut.

Dua minggu kemudian saya datang, dan menjalani sesi kedua. Selesai sesi, Victor menyatakan terima kasihnya kepada saya sambil menyodorkan dua lembar uang £10. Astaga, nikmat sekali rasanya menerima uang tersebut di tangan saya! Apalagi siang itu saya ada janji lunch bareng sahabat saya si Carrie. Lumayan, bisa beli minuman tambahan selain tap water.

Pengalaman pertama tersebut tiba-tiba membuat saya craving for more. Apalagi saat itu paper yang tersisa tinggal disertasi saja. Kalaulah waktu saya dalam sehari saya sisihkan satu atau dua jam untuk menjadi partisipan penelitian, saya rasa enggak ada ruginya.

Kembali Nona Rasti yang memberi saya informasi mengenai bagaimana caranya ikut dalam penelitian-penelitian lain tersebut. Ada suatu situs internal UCL tempat para researcher memasang 'iklan' jika mereka sedang mencari partisipan. Di situ akan disebutkan kriteria orang yang dicari (misal dari segi umur, gender, dan riwayat kesehatan), slot waktu dimana mereka mengadakan penelitian (dan calon partisipan memilih mereka hendak berpartisipasi di slot waktu yang mana), deskripsi singkat mengenai kegiatan yang harus dilakukan partisipan selama penelitian, dan tentunya imbalan yang ditawarkan. Kebanyakan studi dilakukan oleh para mahasiswa psikologi dan neuroscience. Saya hampir tidak menemukan penelitian yang bersifat klinis dan melibatkan minum obat, ambil sampel cairan tubuh seperti darah atau urin, dan lain sebagainya.

Mulailah saya berpetualang dari satu appointment satu ke appointment berikutnya. Kadang dalam sehari saya bahkan datang ke dua appointment sekaligus. Apalagi setelah disertasi saya dikumpulkan, wah kerjaan saya cuma cari-cari duit dari partisipasi penelitian saja.

Penelitian yang saya ikuti bermacam-macam, demikian pula 'tugas' yang harus dilakukan. Saya agak lupa berapa persisnya jumlah penelitian yang saya lakukan. Tapi ada beberapa penelitian yang membekas di ingatan saya.

Yang pertama adalah suatu penelitian yang mengambil venue cukup jauh dari wilayah UCL, yakni di sekitar wilayah Angel Station. Sialnya, hari itu terjadi pemogokan transportasi umum di kota London! Aduh, saya jadi berkontemplasi sekali. Imbalannya lumayan, kalau tidak salah £15. Saya cek apps Citymapper, jika ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah tinggal saya, butuh waktu sekitar satu jam. Ah, sudah kepalang, saya pun nekat pergi berjalan kaki. Dan London yang biasanya mendung hari itu super panas, bikin perjalanan saya berasa lagi di negara tropis banget. Sampai di tempat, sang researcher berterima kasih pada saya karena tetap datang, soalnya beberapa peserta lain mengundurkan diri akibat tidak adanya transpor. Ah, saya jadi terharu.

Yang kedua adalah suatu percobaan di lingkungan departemen neuroscience. Kalau tidak salah studinya tentang somatosensory. Jangan tanya saya apa itu somatosensory, saya juga enggak ngerti-ngerti amat. Beberapa hari sebelum jadwal percobaan, saya di-email oleh salah satu researcher yang ada di dalam tim penelitian tersebut. Ia menjelaskan beberapa hal tambahan yang harus saya persiapkan. Salah satunya adalah: jangan keramas. Eh?

Di hari jadwal temu, saya pergi ke tempat perjanjian. Saya dijemput di ruang tunggu oleh Rory, si researcher yang meng-email saya tersebut. Astaga Gusti nu Agung.... Ganteng pisan! Selain baik hati, Rory juga ramah, bikin saya makin deg-degan. Dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa PhD di departemen tersebut. Ia mempersilahkan saya menunggu di ruang kerja para mahasiswa PhD, katanya ia mau memamggil rekannya dulu. Enggak berapa lama, sang rekan datang, dan ternyata sang rekan kerja berbentuk pria yang enggak kalah gantengnya! Ia memperkenalkan diri sebagai Massih, post doctoral student rekan kerja Rory. Duh Gusti nu Agung, nikmat dunia manakah yang aku dustakan. Ini mah bener-bener yah, udah ganteng, scientist, neuroscience pula! Lewat banget itu Ganteng-Ganteng Serigala! Ini lebih luar biasa, Ganteng-Ganteng Scientist.

Alasan kenapa saya enggak boleh keramas akhirnya terjawab. Karena ternyata kepala saya ditempeli topi yang berkabel-kabel buat merekam gelombang otak saya. Tangan saya juga dipasangi elektrode gitu. Maafin saya salah fokus, tapi saat itu saya super menyesal hanya pakai T-shirt yang enggak kece, celana jeans, tanpa make up dan lipstik. Kalau tahu researcher-nya hot hot pop begini, saya nyalon dulu deh (emang sanggup nyalon di London). Untung saja yang dicek gelombang otak dan bukan EKG jantung saya, malu banget ketahuan saya deg-degan ada di sebuah ruangan penelitian bersama dua scientist ganteng.

Penelitian tersebut mengakhiri petualangan saya mencari uang jajan tambahan di penelitian orang. Karena minggu berikutnya saya sudah pulang ke Indonesia. Saya hitung-hitung, uang yang berhasil saya kumpulkan cukup lumayan juga. Kalau enggak salah sampai hampir £90an dalam jangka waktu satu bulanan (soalnya saya sempat vakum dua minggu buat liburan). Sebagian uang tersebut saya gunakan untuk nambah-nambah beli oleh-oleh buat teman dan keluarga di Indonesia. Sebagian saya gunakan untuk membayar excess baggage saat saya pulang (haha).

Mengikuti penelitian-penelitian tersebut enggak hanya soal uang jajan sih kalau buat saya. Saya bisa kenal dengan banyak orang baru, dan terlibat dalam penelitian yang mereka kerjakan. Ternyata seru-seru sekali deh penelitian yang mereka lakukan. Kadang bahkan beyond my imagination. Dan terus merasa seperti remah rempeyek karena ternyata ilmu pengetahuan itu luas sekali!

Itulah pengalaman saya mencari tambahan uang jajan. Siapa tahu menginspirasi teman-teman yang sedang kuliah di UCL, haha. Pesan saya sih jangan sampai hal ini mengganggu kuiah teman-teman, karena kuliah kan your main business. Kalau misal jadwal penelitiannya bentrok dengan jadwal kuliah, ya relakan saja dan cari penelitian lain. Selamat mengejar uang jajan!





Tuesday, 20 October 2015

How I Survived in London


Sudah menjadi rahasia umum kalau London adalah salah satu kota metropolitan tersibuk, terpadat, sekaligus termahal di Eropa. Setahun menjadi penduduk London dengan status mahasiswi berbeasiswa tentunya membutuhkan banyak intrik, agar uang beasiswa tetap bisa mencukupi kebutuhan hidup. Syukur-syukur malah bisa menabung buat jalan-jalan dan mencukupi kebutuhan tersier lainnya.

Di postingan ini saya akan coba menjabarkan langkah-langkah yang dulu saya tempuh agar bisa survive di London, materially maupun mentally. Iya, kekuatan mental juga diperlukan loh dalam menghadapi London yang cukup berbeda dari Indonesia. Yuk, coba kita lihat satu-satu!

1. Forget those high street shops, go to the charity ones!
Saya sengaja nggak membawa banyak baju dari Indonesia waktu saya pergi ke London. Alasan pertama, karena koper saya sudah dipenuhi oleh bumbu-bumbu masakan Indonesia, rice cooker, bahkan cobek kayu. Dan alasan kedua, karena saya yakin baju-baju tropikal yang biasa saya pakai di Indonesia tidak akan sanggup menahan udara dingin Kota London, jadi lebih baik beli baju di sana.
Salah satu pilihan hemat untuk mendapatkan baju bagus dengan harga terjangkau adalah charity shops yang banyak sekali tersebar di seluruh London. Charity shops ini biasanya dikelola oleh yayasan-yayasan kemanusiaan dan digunakan untuk menggalang dana bagi yayasan tersebut. Beberapa charity shops yang cabangnya ada dimana-mana contohnya Oxfam, Cancer Research UK, British Heart Foundation, dan banyak lagi.
Jangan khawatir soal kualitas, asalkan kita pintar memilih, pasti bisa dapat barang yang bagus dengan harga terjangkau! Saya bisa mendapatkan jumper musim dingin seharga £5 saja, teman saya bahkan membeli coat tebal hanya dengan £10. Kenapa harganya bisa terjangkau begitu? Itu karena mereka hampir tidak mengeluarkan modal untuk barang-barang tersebut. Barang-barang yg ada di charity shop adalah barang yang disumbangkan secara cuma-cuma oleh orang lain yang sudah tidak membutuhkannya. Menarik sekali kan, konsepnya?
Selain pakaian, charity shops juga menjual peralatan rumah tangga seperti piring, gelas, dan kawan-kawannya, DVD, dan favorit saya: buku second hand. Saya cukup girang karena bisa mendapatkan tiga buku Jane Austen, hard cover, hanya dengan £5 saja! Benar-benar kebahagiaan. Plus, kenapa saya suka belanja di charity shops, adalah karena saya tahu sembari berbelanja saya menyumbang (walaupun tidak banyak) uang kepada kegiatan sosial yayasan tersebut.

2. Doing exercise while saving
Jalan kaki adalah salah satu hobi saya selama di London. Trotoar yang sangat nyaman memang sangat mendukung kebiasaan ini. Mungkin ini alasannya saya jarang jalan kaki di Indonesia, karena tidak semua tempat mempunyai trotoar yang mumpuni. Kalau nekat jalan di pinggir jalan, ya sudah harus siap diklaksonin sama mobil yang melintas.
Saya tinggal sekitar 2 mil dari sekolah, oleh karena itu saya membutuhkan sarana transportasi setiap harinya. Biasanya saya naik tube atau underground, atau bis. Harga tiket terusan untuk periode 30 hari adalah £89 untuk tube zona 1 dan 2 serta bus, dan £56 untuk bus saja.  Lumayan kan bedanya? Jadilah untuk bulan-bulan terakhir saya di London, saya hanya langganan bus pass saja. Kadang malah sama sekali tidak berlangganan dan memilih berjalan kaki. Keuntungannya adalah badan jadi sehat! Bahkan bobot badan saya bisa turun sekitar 5kg loh saat di London!



3. Enhance your cooking skill!
Cooking is absolutely a great way to save up some money! Berbeda dengan di Indonesia dimana harga makanan ready-to-eat bisa jadi hampir sama dengan harga belanja bahan mentah untuk masak, harga makanan ready-to-eat alias siap saji di London itu mahalnya nggak nahan! Salah satu dugaan saya mengapa hal tersebut bisa terjadi adalah 1) tingginya biaya jasa orang-orang yang memasak dan melayani penjualannya, dan 2) tingginya harga sewa tempat berjualan.
Sebagai perbandingan, satu kotak sandwich yang terdiri dari dua lembar roti, beberapa lembar salami, dan sayuran harganya kurang lebih £3.5. Sedangkan harga belanja satu pak roti isi 12 lembar, satu pak salami isi 10 lembar, dan satu bag sayuran segar harganya hanya sekitar £5, bisa buat 5 kali makan.
Alasan lain masak sendiri adalah mengobati kerinduan pada masakan Indonesia. Lama-lama rasanya bosan loh makan makanan Barat. Skill masak saya memang cukup meningkat selama di London. Di London-lah saya belajar masak rendang, opor, sambal goreng, sayur lodeh, aneka soto. Kreativitas saya juga meningkat sekali, saya bisa banget masak pasta dengan sambal balado, atau nasi goreng aneka variasi.
Biasanya saya masak di malam hari sebanyak dua porsi, satu porsi untuk makan malam itu, dan satu porsi untuk bekal makan siang keesokan harinya. Dalam seminggu saya biasanya belanja groceries sekali, dan menghabiskan sekitar £10 hingga £15, dan itu cukup untuk membuat makanan selama satu minggu tersebut.
Halangan dalam memasak adalah pada saat jadwal kuliah sedang padat-padatnya. Saat itu rasanya punya waktu lebih buat tidur saja sudah syukur, boro-boro masak. Jadi untuk saat-saat seperti ini, masak terpaksa dihentikan dahulu dan mulailah saya bergantung pada makanan-makanan siap saji dan microwaveable, alias tinggal buka-microwave-makan.



4. Grab that almost-expired discount
Ngomong-ngomong makanan siap saji dan microwaveable, di London banyak sekali supermarket yang menyediakannya. Tesco, Sainsbury's, M&S, Waitrose, adalah beberapa nama supermarket langganan saya. Dan karena London adalah kota besar, maka hampir tiap 200 meter ada supermarket, so convenient.
Soal rasa, menurut saya M&S adalah yang paling enak. Unfortunately, salah satu yang termahal juga. Untuk menyiasatinya, pintar-pintarlah mencari barang dengan reduced price. Biasanya makanan segar yang sudah akan expired keesokan harinya, harganya sudah menjadi setengah harga normalnya. Asik kan? Bisa makan enak tapi tetap hemat!

5. Sharing is caring
Saya suka masak bareng teman-teman di flat. Kebetulan ada beberapa anak dari Indonesia juga yang satu flat sama saya. Setiap kali salah satu dari kami masak dengan porsi yang cukup besar, pasti saling berbagi. Biaya belanja bisa dibagi, plus keuntungan lain tentunya adalah mempererat silaturahmi.


6. Manage your account
Saya menggunakan bank ini selama saya tinggal di UK. Keunggulan dari bank tersebut menurut saya adalah karena dia memiliki dua jenis account yang 'satu namun terpisah'. Akun pertama adalah akun untuk transaksi sehari-hari, dilengkapi dengan debit card. Akun kedua adalah saving account, yang tidak bisa digunakan untuk transaksi. Setiap kali saya menerima kiriman uang beasiswa, saya langsung transfer sebagian besar ke akun saving saya, dan hanya menyisakan sedikit di akun transaksi. Hal ini cukup berguna untuk mengerem kebiasaan belanja saya. Keuntungan lain melakukan hal seperti ini adalah keamanan yang lebih terjamin jika amit-amit kartu debitnya hilang atau terjadi fraud lewat online banking.

7. Hey, those parks and gardens and museums are absolutely FREE!
Entertaining ourselves tentunya adalah hal yang nggak boleh dilupakan. Belajar terus-menerus tanpa jeda juga akan membuat jenuh, sehingga refreshing sudah jelas dibutuhkan. Asyiknya, di London banyak banget kegiatan hiburan yang bisa kita dapatkan secara free alias gratis!
Pertama adalah museum. Seperti yang saya jabarkan di postingan terdahulu, museum tuh adalah tempat yang asyik loh buat refreshing. Museum-museum banyak berjejeran di daerah South Kensington, ada pula British Museum yang lokasinya dekat UCL.
Kedua adalah taman kota, nah kalau ini lengkapnya bisa disimak di postingan ini.
Selain itu, banyak juga event atau exhibition seni yang semuanya gratis. Untuk event biasanya diadakan di Trafalgar Square atau Covent Garden. Rajin-rajin aja baca koran (yang juga gratis dan bisa didapatkan di setiap stasiun), atau follow Facebook atau Twitter tentang London.


Kira-kira begitulah saya berusaha menghemat pengeluaran saya, sekaligus menabung untuk kegiatan lain seperti jalan-jalan. London memang mahal, tapi bukan berarti nggak bisa disiasati kok!

Monday, 28 September 2015

Saya dan Terbang

Saya pernah bercerita di postingan saya terdahulu, kalau pekerjaan saya yang lampau mengharuskan saya menjadi seorang frequent flyer. Ada masa-masa dimana naik pesawat adalah sesuatu yang terlalu biasa, bahkan sehari bisa dua kali, udah ngalahin frekuensi mandi.

Setelah hampir 10 bulan berhenti dari kebiasaan lompat dari satu penerbangan ke penerbangan lain, akhirnya beberapa hari lalu saya terbang dari London ke Amsterdam, dan tiga hari setelahnya dari Amsterdam ke Berlin, dan minggu depan ada tiga penerbangan lagi menunggu saya: Budapest-Roma, Roma-Paris, dan Paris-London. Wah, akhirnya ketemu lagi sama pesawat terbang! Berhubung ini hitungannya penerbangan internasional, saya agak gagap di jam-jam awal masuk bandara. Kaya nggak pernah naik pesawat deh pokoknya. Tapi menariknya, di penerbangan kedua saya dari Amsterdam ke Berlin, saya menemukan kembali kebiasaan-kebiasaan masa lalu saya yang ternyata masih sangat melekat.

Picture source: here
Pertama adalah kesigapan packing koper. Saya cukup bangga sama diri sendiri karena, menurut saya, kemampuan packing saya cukup mumpuni. Kebiasaan sering bepergian dulu membuat saya paham barang apa yang perlu dan nggak perlu masuk koper. Saya hampir nggak butuh list barang bawaan karena otak ini sudah memberi sinyal apa saja yang harus masuk koper. Tapi harus diakui, kemampuan saya belum ada apa-apanya dibanding mama saya, yang dengan begitu canggihnya berhasil mengepak 46kg barang dalam dua koper waktu saya pergi dari Jakarta ke London, dimana barang yang masuk koper itu termasuk rice cooker dan cobek kayu.

Kedua adalah kebiasaan check-in yang cukup awal, demi kepentingan mendapatkan seat terbaik. Kalau untuk penerbangan-penerbangan antar negara Eropa kali ini sih semua check in saya lakukan secara online sehingga nggak bisa memilih seat yang saya inginkan. Tapi dulu, kala masih sering terbang bersama maskapai ber-mileage kebangaan Indonesia, saya selalu request seat yang saya inginkan kepada petugas check in. Ada beberapa kondisi yang menentukan pilihan seat saya. Jika penerbangannya pagi hari, saya selalu pilih seat dekat jendela demi bisa meneruskan tidur yang tertunda. Kalau penerbangan malam, selalu memilih seat di aisle, kalau bisa paling depan atau paling belakang, demi kecepatan turun dari pesawat dan tiba di rumah untuk tidur. Untuk penerbangan ke destinasi-destinasi cantik macam Padang, saya selalu pilih seat dekat jendela karena pemandangannya spektakuler banget.

Ketiga adalah kesigapan dalam pemeriksaan di gate keberangkatan. Menurut saya, saya anaknya cukup ringkas dan efisien dalam kegiatan menempatkan koper di ban berjalan, buka jaket, buka sepatu, masuk ke X-ray dan siap diraba-raba, sampai mengumpulkan kembali semua barang dari ban berjalan. Tapi perihal ini, saya cukup kurang sigap untuk mengeluarkan semua gadget (laptop, tablet, kamera) dari dalam tas saat saya akan terbang dari London ke Jakarta beberapa waktu lalu. Laptop sih sudah saya keluarkan, tapi tablet masih tertinggal di dalam tas tangan dan menyebabkan tas saya nggak lolos scanning.

Keempat adalah kesigapan dalam masuk pesawat. Wah, ini penting sekali, demi memastikan cabin luggage saya mendapat tempat yang aman dan nyaman tepat di atas kepala saya. Saya paling menghindari kehabisan tempat untuk menaruh koper di kabin dan berujung pada koper saya harus masuk ke checked luggage. Nunggu bagasinya itu lho, berabad lamanya! Oleh karena itu, saya selalu siaga pilih tempat menunggu persis di depan gate, agar pas gate dibuka saya langsung bisa meluncur masuk. Pokoknya harus terdepan dalam prestasi.

Kelima, ini ciri khas saya banget, adalah tidur nyenyak menjelang take off atau landing. Pokoknya mulai dari pesawat berjalan dari tempat parkir menuju runway, bisa dipastikan saya lagi bobok cantik. Kadang pakai acara agak mangap kalau kecapekan banget. Suasananya mendukung pula buat tidur, karena lampu kabin kan dipadamkan, remang-remang enak deh buat terlelap. Biasanya saya baru bangun saat pesawat udah di udara dan mbak pramugari maskapai ber-mileage mulai membagikan makanan. Habis makan (biasanya sambil nonton TV kalau pesawatnya ada TV-nya), ya tidur lagi. Betapa produktifnya saya di ketinggian 30000 kaki! Kegiatan membanggakan macam mengerjakan kerjaan kantor atau membaca jurnal yang berkaitan dengan presentasi biasanya saya lakukan kalau saya nervous banget dengan presentasi yang akan saya hadapi. Tapi kadang saya cukup berada di jalan yang benar kok, contohnya tulisan ini saya buat saat pesawat sedang melintasi Hannover menuju Berlin (menurut info dari Om Pilot sih begitu), disebabkan saya nggak bisa tidur karena mas bule kece sebelah saya parfumnya memabukkan sekali.

Menulis semua ini bagaikan refleksi, nostalgia yang membuat saya senyum-senyum sendiri. Kalau dipikir-pikir, masa muda saya ini cukup menyenangkan, karena nggak semua orang bisa memiliki pengalaman terbang sebanyak saya di usia semuda ini. Tahun-tahun ke depan sudah dipastikan akan sepi terbang, but if a day comes when I need to catch a flight, I know for sure that I will giggle to remember my old self doing those mentioned things!

Saturday, 1 August 2015

Date at the Museums

Masih ingat film Night at the Museum yang dibintangi oleh Ben Stiller dan almarhum Robin Williams? Walaupun belum pernah nonton, tapi dari judulnya saja sudah bisa ditebak bahwa setting dari cerita film tersebut adalah di museum.

Apa sih yang ada di pikiran kita jika mendengar kata museum? Fosil-fosil binatang purba, manuskrip berwarna coklat dari jaman penjajahan, manekin peraga yang kelihatan seram dan sepertinya benar-benar hidup saat tidak ada orang yang melihat? Menurut KBBI, museum adalah 'gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yg patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu; tempat menyimpan barang kuno'. Jadi memang penampakannya kurang lebih akan sama seperti yang saya sebutkan tadi, hehe.

Karena fungsinya memang untuk mengenang hal-hal dari masa yang sudah lalu, maka wajar jika mengunjungi museum dianggap tidak kekinian. Dan tidak heran pula, sedikit sekali anak muda yang sumringah untuk diajak mengunjungi museum. Pusat perbelanjaan atau tempat-tempat makan lebih menjadi pilihan dalam menghabiskan waktu luang.

Saya juga pernah menjadi bagian dari populasi itu. Saya hanya mengunjungi museum kalau ada karya wisata dari sekolah, atau kalau ada sepupu-sepupu yang lagi main ke Bandung dan minta diantar ke Museum Geologi. Dan sepengamatan saya, ya memang museum-museum tersebut pengunjungnya adalah keluarga dan anak-anak mereka yang berusia kurang dari 16 tahun.

Satu event yang saya datangi bulan Juni lalu membuka pikiran saya akan suatu kegiatan lain yang mungkin bisa dilakukan di museum: pacaran. Iya, date at the museum!

Jadi ceritanya, Juni lalu saya diajak oleh Robyn dan Bu Glori untuk pergi ke acara Lates-nya Science Museum, London. Setiap hari Rabu terakhir di setiap bulan, Science Museum akan buka sampai pukul 10 malam, namun yang boleh masuk hanyalah orang dewasa berusia lebih dari 18 tahun. Acaranya menarik sekali! Intinya tetap memperkenalkan sains, namun kepada adult audience, dengan materi dan pendekatan yang dikemas khusus untuk orang dewasa.

Stand pertama yang saya kunjungi adalah 'DNA isolation'. Prinsipnya sederhana sekali: apusan sel mukosa dari rongga mulut (hasil kumur-kumur semenit pakai NaCl) diekstraksi dengan alkohol agar protein (dan DNA penyusunnya) terperangkap di fase alkohol tersebut. Stand kedua adalah 'build your own DNA' dimana kita bisa membuat model struktur DNA menggunakan jelly, permen, dan marshmallow! Jelly dipakai sebagai model rantai DNA, dan marshmallow aneka warna dipakai sebagai model empat basa penyusun DNA. Jadi waktu menyusun si marshmallow, nggak boleh asal. Harus ingat, adenin itu berpasangannya sama timin, sementara guanin pasangannya adalah sitosin. Setelah selesai, semua marshmallow dan jelly-nya boleh dimakan. Enak kan?
Build your own DNA
Model DNA buatan saya! (Photo: T. Robyn)

Stand menarik lain yang saya kunjungi adalah stand-nya Diamond Research Group, University of Warwick. Kalau selama ini kita (atau saya lebih tepatnya, heu) hanya mengenal diamond alias berlian sebagai molekul paling kuat, ternyata berlian juga mempunyai fitur lain yang super keren! Salah satunya, sebagai molekul dengan konduktivitas termal paling tinggi. And I proved it! Saya bisa melelehkan sebuah bongkahan besar es batu hanya dengan gesekan lembut dari seserpih berlian. Amazing! Berlian tersebut menghantarkan panas dari tubuh saya, sehingga es batunya bisa lumer dengan mudah.
Photo courtesy: http://www2.warwick.ac.uk
Acara lain yang menarik adalah suatu round table discussion yang dipandu oleh seorang moderator, dimana para pengunjung boleh berpartisipasi mengutarakan pendapat soal topik yang dibahas. Kalau nggak salah yang saya lihat kemarin sedang membahas tentang computer and culture.


Nah. Jadi, apa hubungannya sama date at the museum?

Sepenglihatan saya, yang datang ke acara tersebut adalah pasangan-pasangan muda gitu. Habis pulang kantor, janjian ketemu di museum. Terus mereka keliling-keliling ke tiap stand sambil gandengan (enggak, aku enggak iri kok) tangan, sekaligus sambil diskusi. Tangan lain memegang gelas minuman atau makanan ringan. Hampir sama kaya pacaran di mal gitu, tapi bedanya ini yang dilihat adalah stand-stand tentang sains dan hal-hal menarik lainnya, bukan toko baju. Kalau nguping-nguping diskusinya juga serius banget deh. Dan jangan salah, yang datang ini bukan golongan nerd dengan kacamata tebal dan baju ketinggalan jaman. Semuanya gaul dan gaya, khas anak muda London pada umumnya. Dan jangan salah, ada dance floor-nya juga buat mingle setelah lelah mengitar seisi museum!
Photo courtesy: http://blog.sciencemuseum.org.uk/insight/category/lates/


Menarik sekali bukan? Pertama-tama saya kagum dengan pihak pengelola museum yang mampu menjadikan museum suatu atraksi yang menarik, nggak membosankan, dan bisa dinikmati oleh semua golongan usia. Kedua, saya kagum sama masyarakat yang juga antusias dengan program-program seperti ini.

Saya langsung bertekad banget menggalakkan tipe pacaran pintar macam nge-date di museum gini di Indonesia. Kalau dipikir-pikir, di Indonesia juga banyak banget museum yang menarik buat dikunjungi. Nggak cuma dikunjungi, tapi juga ditelisik sejarah dan nilai-nilai lain di balik benda-benda yang dikoleksi. Dan betapa serunya kalau bisa mendiskusikan itu sambil pacaran. Menarik sekali kan, bisa mengakrabkan diri dengan calon pendamping hidup tapi sambil belajar sesuatu yang baru. Jadi sekali-kali obrolannya bukan cuma tentang gosip artis, gosip teman, atau KPR rumah. Dan tempat nge-date-nya bisa lebih bervariasi dari cuma bioskop atau tempat makan saja. Diskusinya jangan dibawa serius dan mengancam kehidupan asmara juga tapi, kan nggak lucu kalau marahan sama pacar gara-gara berbeda pendapat soal masa depan BPJS di Indonesia, misalnya. 

Butuh ide tentang museum-museum yang bisa dikunjungi? Untuk yang berdomisili di Jakarta bisa klik http://www.jakarta-tourism.go.id/taxonomy/term/18. Untuk Jawa Barat silakan ditilik website Dinas Pariwisata Jawa Barat di http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/cat-det.php?id=18&lang=id. Buat daerah-daerah lain, mesin pencari pasti siap memberikan jawaban untuk semua kebutuhan kita.

So, are you ready to date at the museums?

Friday, 24 July 2015

Ketika Semuanya Berakhir

London, 22 Juli 2015. Saya bangun pukul 9.30AM, setelah hanya tidur beberapa jam saja. Satu setengah jam kemudian saya sudah berada di Cruciform Hub, kembali menghadapi sebuah file berjudul 'Dissertation.docx'.

5PM. Setelah jam-jam penuh kegalauan dan komat-kamit berdoa, saya menekan tombol Ctrl+P. Dua puluh menit (dan tujuh belas British pound sterling) kemudian, tiba-tiba saya mendapati dua bundel cetakan disertasi saya. Suatu kata benda yang menjadi momok saya selama sembilan bulan terakhir, yang menjadi sarapan dan selimut tidur malam saya. Yang menjadi inti dari doa-doa saya, yang menjadi topik curhatan di WhatsApp, LINE call, sekolah, bahkan dapur flat.

5.30PM. Saya berjalan menyusuri Euston Road ditemani sinar matahari sore. Cerah, namun tidak menyengat. Bahkan angin kota London terasa begitu ramah. Dua bundel cetakan disertasi tersebut ada dalam map di dekapan saya, siap dijilid rapi di sebuah tempat penjilidan di sekitar King's Cross. Saya menikmati setiap langkah sambil memandang bus-bus merah bertingkat, menikmati aksen cantik dari para Britons yang tertangkap oleh telinga saya kala saya berjalan.

Lalu tiba-tiba semuanya terasa tidak nyata.

Saya sudah sampai sejauh ini. Saya sudah menyelesaikan semua tugas-tugas yang diwajibkan kepada saya sebagai mahasiswi. Dan itu berarti, saya sudah sampai di penghujung program Master ini. Suatu program yang kadang membuat saya mempertanyakan kewarasan saya: 'kenapa dulu lu nekat ambil S2 di UCL sih, Ties?'

Berakhir sudah malam-malam dengan tidur minimalis. Tidak akan ada lagi cerita dramatis memperebutkan seonggok tempat belajar di perpustakaan, atau komputer dengan posisi paling mantab di computer cluster. Penjaga perpustakaan School of Pharmacy mungkin akan merindukan saya, yang selalu pulang ketika perpus hampir tutup. Dan yang selalu pinjam laptop di perpustakaan karena malas bawa laptop berat-berat dari rumah. Dan saya juga akan merindukan segelas kopi murah-namun-tidak-enak-sama-sekali di kantin sekolah, sebatang Eat Natural rasa yoghurt and almond yang selalu menjadi penyelamat saya di saat lapar.

Kemana jam-jam penuh keputusasaan menatap puluhan jurnal yang harus dibaca dalam dua malam? Kemana waktu-waktu penuh ketakutan menghadapi ujian dan presentasi? Kemana perginya saat-saat penuh air mata karena merasa gagal mendapatkan nilai yang memuaskan?

Ya, saya tidak bisa percaya ini semua sudah berakhir. 

Lega?
Tidak juga.

Tentunya karena nilai saya belum keluar, saya belum dinyatakan sah menjadi seorang Master. Plus topik disertasi saya terlalu menarik untuk tidak dipublikasikan (baca: saya butuh second round survey untuk meningkatkan response rate (baca lagi: habis ini saya tetap harus kerjain proyeknya)), sehingga masih banyak yang menunggu di depan mata.

Tapi jujur, saya merasa kosong sekali segera setelah menyerahkan semua disertasi saya kepada pihak sekolah. Selama 10 bulan terakhir, UCL memaksa saya berlari terus menerus. Sprint, bukan jogging. Dan terus menerus. Saat saya ingin berhenti, UCL mencambuk saya dengan memberi saya nilai yang membuat saya tersenyum pahit. Rasanya dengan effort setara, saya bisa dapat A saat S1 dulu, tapi level maksimal saya ternyata hanya level main-main buat Universitas ini. Jadilah saya diam mendekam di perpus manapun yang saya suka, atau di coffee shop manapun yang bisa membangkitkan inspirasi. Membiarkan liburan-liburan Natal dan Paskah saya lewat begitu saja demi kelulusan dari program ini, walaupun dengan perasaan iri pada teman-teman yang bisa berlibur kemana-mana.

Dan yah, saat semua life routine tersebut tiba-tiba berhenti di hari ini, saya merasa berada dalam ketidaknyataan. Namun di sisi lain, saya lega setengah mati karena saya selamat secara akademik menjalani semua kegilaan ini. Semua mata kuliah saya sudah dinyatakan lulus (kecuali tentunya untuk disertasi ini) sehingga saya terhindar dari kewajiban re-sit ujian.

*

London, 24 Juli 2015. 01.38AM dan saya masih terjaga. Badan saya masih belum bisa menerima ritme baru untuk tidur sebelum jam 2 pagi.

Ketika semuanya berakhir, saat itulah kita merefleksi semua yang sudah terjadi. Dan saat itu pulalah, kita menyadari bahwa selalu ada kekuatan dalam diri kita yang membuat kita mampu melewati semua hal-hal yang awalnya kelihatan tidak nyata. Ya, seperti apa yang dikatakan mendiang Nelson Mandela, everything seems impossible until it is done



Thursday, 11 June 2015

[#NulisRandom2015] Day Ten- London (Episode: Taman)

Berdasarkan request dari seorang ibu-ibu yang komen di postingan saya kemarin (yang adalah mama saya, gaul sekali memang ibu-ibu itu), maka edisi cerita London a la saya kali ini adalah tentang taman kota yang banyak banget (banget!) ada di London.

St James' Park, with Buckingham Palace in the background

London sering sekali membuat saya jatuh cinta. Dan salah satu momen jatuh cinta itu adalah saat saya berkunjung ke green spaces alias ruang terbuka hijau di kota ini. Fakta mengejutkannya, 47% dari total luas daerah London ternyata adalah ruang terbuka hijau, dengan total delapan juta pohon! Bayangkan, sebuah kota metropolis, padat penduduk, masih bisa menjadi salah satu model urban forest dunia. Berita ini dilansir oleh The Independent pada bulan September 2014 yang lalu, silakan membaca berita lengkapnya di tautan ini.

Ada berbagai jenis ruang terbuka hijau yang ada di London ini. Ada taman-taman kota yang dikelola oleh pemerintah borough (semacam kecamatan kalau di Indonesia) setempat, Royal Parks, hutan-hutan kota, bahkan pemakaman umum masa lampau yang disulap menjadi taman cantik.

Saya suka sekali berkunjung ke taman-taman kota, bahkan kadang dibela-belain pergi ke taman yang lokasinya cukup jauh sekalipun. Banyak sekali aktivitas yang bisa dilakukan di taman: olahraga, membaca buku, makan siang bersama teman-teman (ataupun sendirian, biasanya ini terjadi hari Sabtu kalau teman-teman saya yang lain lagi nggak ke perpus), bermain bersama hewan peliharaan (si Monic selalu gembira pergi ke taman karena banyak anjing-anjing unyu yang bisa dia godain. Yah walaupun anjing-anjing disini kebanyakan sih sombong, nggak mau digodain sama orang lain), duduk santai ngobrol bersama teman atau keluarga, dan yang paling utama adalah berjemur. Salah satu dosen saya mengklaim jika setengah dari populasi negara ini kekurangan vitamin D akibatnya jarangnya orang-orang disini terpapar sinar matahari. Jadi nggak heran, kalau matahari bersinar cukup cerah, semua orang langsung menyerbu taman terdekat buat berjemur.

Kegiatan lain yang sering saya lakukan di taman adalah duduk diam dan memperhatikan sekitar. Saya sangat menyukai hal ini, mungkin bias dibilang ini salah satu hobi saya: observing. I observe anything, mulai dari ekspresi orang-orang, fashion yang mereka gunakan, menebak-nebak apa yang ada di pikiran mereka berdasarkan ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya, kegiatan yang sedang mereka lakukan, dan lain-lain. Melakukan hal ini mungkin juga salah satu perwujudan saya sebagai makhluk sosial, to assure myself that I'm not alone in this big universe.

Taman paling dekat yang bisa saya akses dari rumah adalah Talacre Garden. Ukurannya cukup kecil, dengan jalan setapak yang sering saya jadikan shortcut untuk mencapai halte bus. Karena ini adalah taman yang saya lihat hampir setiap hari, menarik sekali rasanya memperhatikan ia berubah dari musim gugur, musim dingin, musim semi, dan sekarang hampir memasuki musim panas. Daun-daun yang berwarna merah dan oranye di musim gugur itu akan meranggas seutuhnya, meninggalkan ranting-ranting yang kedinginan tanpa daun di musim dingin. Tunas baru seakan melambangkan harapan manis akan hadirnya musim semi, dan lalu semua warna hijau akan kembali menghiasi pohon-pohon itu saat musim panas tiba. It's like human life. We born, grow, and eventually will die.

Talacre Garden during winter season (January 2015)

Green space favorit saya sepanjang saya di London, tak lain dan tak bukan, adalah Hampstead Heath. Heath sendiri sepanjang pemahaman saya bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah padang, suatu dataran luas yang tidak ditanami. Dan ya seperti itulah Hampstead Heath. Luasnya ditaksir sekitar 320 hektar, dan ia adalah salah satu titik tertinggi di Kota London. Dari atas Hampstead Heath kita bisa memandang Kota London, bisa melihat The Shard, St. Paul's Cathedral, indah sekali. Dan hebatnya lagi, pemandangan ini dilindungi. Tidak ada satupun gedung atau bangunan yang boleh berdiri dan menghalangi view dari Hampstead Heath ini. Saya benar-benar geleng-geleng kepala ketika mengetahui hal ini. Saking luasnya si Heath, saya belum selesai menjelajahi semua bagiannya. Saya biasanya datang dari South End Green entrance, dan pulang lewat jalan yang sama, most likely karena mau beli pressed juice favorit (£5 dapat 3 botol @750mL, benar-benar best deal!) di Marks and Spencer.

Hampstead Heath


Green spaces di London juga menjadi rumah yang nyaman untuk beberapa margasatwa. Paling umum tentunya berbagai jenis burung (terutama burung merpati) dan tupai. Beberapa taman juga mempunyai kolam yang dihuni oleh angsa, bebek, dan unggas-unggas lainnya. Cantik sekali. Aturan tidak boleh memberi makan hewan-hewan liar tersebut berlaku di green spaces di London, tapi saya sering sekali melihat turis-turis memberi makan angsa dan tupai di St. James' Park. Kadang-kadang saya melihat ada sisi diskriminasi juga disini. Kalau angsa yang cantik putih bersih atau tupai yang lucu semua orang berebut ngasih makan. Kalau bebek-bebek pendek warna coklat atau burung gagak, nggak ada yang ngelirik.

Home for birds


Tulisan ini beneran akan menjadi novel kalau saya ceritakan satu-satu tentang semua taman yang sudah pernah saya jelajahi. Jadi, silakan menikmati foto-foto di bawah ini ya! Caption yang saya sediakan semoga membantu agar foto tersebut dapat bercerita lebih banyak.

St James' Park during autumn season (October 2014). This park located opposite to the Buckingham Palace, the home of the Queen. You can see London Eye in the background. Yes, it's also close to Big Ben and London Eye!

St James' Park during winter season (December 2014)
St. James' Park during the cherry blossom season (transition between winter to spring), April 2015

Carnival in Hampstead Heath

Tulips in Holland Park, Notting Hill. I really love this park! This is surely one of the hidden gems London had. You can even find peacocks (below) here, as well as Japanese-themed Kyoto Garden.


Tavistock Garden, one garden near to UCL Main Campus. It was still cherry blossom season when I took this photo. Lovely!

Athletic track in Hampstead Heath

One of the ponds in Hampstead Heath


Yellow daffodils at Green Park during spring season (April 2015). This park located near St. James' Park and Buckingham Palace.

Regent's Park during spring season (April 2015)

Greenwich Park (March 2015). Do you reckon the name? Yes, it is located near the zero point of Greenwich Mean Time, the standard time used worldwide! We can also enjoy London from above here. Apart from this park, Greenwich area also offers so many fascinating touristic spots like The Dock, museums, chapels, etc.

Margravine Cemetery, an old cemetery in Borough of Hammersmith and Fulham. I love the classy, nostalgic feeling of this place. The graves here are dated between 1869 until 1945. It was bombed twice during the Second World War, but then was refurbished in 1965.

Sekian dulu cerita saya. Oh, I could not imagine how much I will miss the lovely green spaces in this city!!!

Tuesday, 9 June 2015

[#NulisRandom2015] Day Eight - London (Episode: Underground)

Pertama-tama, ijinkanlah saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya karena tiga hari ke belakang saya tidak menulis apa-apa. Kecuali disertasi. Dan literature review. Atau curhatan penuh tangisan pada sahabat. Tapi kan semuanya itu tidak mungkin saya posting di blog ini sebagai bagian dari #NulisRandom2015. Jadi jelas dong, sebenarnya saya sudah kalah dalam tantangan #NulisRandom2015 ini. Tapi saya menolak untuk kalah, dan memutuskan untuk terus (mencoba) melaju sampai hari ketiga puluh.

Selama seminggu ini (8 Juni-14 Juni 2015), postingan saya akan serba London! Yup, saya akan berbagi cerita mengenai banyak hal menarik yang saya temui di ibukota Inggris ini. Disclaimer dulu: semua yang saya tulis murni adalah sudut pandang dan pengalaman pribadi saya, so bisa jadi banyak hal yang tidak bisa digeneralisir.

Seperti yang sudah diketahui masyarakat luas (sok terkenal), saya sekarang bermukim di London dalam rangka menyematkan gelar Master of Science di belakang nama saya. Hari ini adalah hari ke-260 sejak saya turun dari pesawat Garuda Indonesia yang menerbangkan saya dari Jakarta ke London. Hari ke-260 sejak terakhir kali saya merasakan keringatan di suhu 30 derajat Celcius, 260 hari sejak terakhir kali saya transaksi menggunakan selembar kertas merah bergambar Soekarno-Hatta, 260 hari sejak saya menggandeng tangan mas ini.... Oke, mulai sinetron.

Salah satu pengalaman baru yang saya alami di jam-jam pertama saya tiba di London adalah naik underground alias kereta bawah tanah. Underground ini lazim juga disebut dengan tube.

Source: telegraph.co.uk

Underground adalah salah satu mode transportasi masal yang gampang banget dijumpai di London, tinggal cari saja tempat dengan tanda seperti ini:

Source: creoglassonline.co.uk
Underground dibagi menjadi beberapa line berdasarkan rutenya: Northern, Piccadilly, Victoria, Metropolitan, Bakerloo, Hammersmith and City, Circle, District, dan Jubilee. Di gambar di bawah bias juga diperhatikan bahwa ada pembagian zona untuk transportasi di London ini.

Source: bbc.co.uk

Bingung? Hehe.. sebenarnya nggak sesulit itu kok! Asalkan kita tahu stasiun keberangkatan dan tujuan akhir kita, mudah sekali menelusuri line  apa yang harus kita gunakan dan dimana kita harus pindah line jika diperlukan. Petugas-petugas yang ada di setiap stasiun juga akan dengan senang hati membantu kita, dan di keretanya sendiri ada informasi suara dan teks berjalan yang akan memandu kita. 

Kelebihan underground dibanding moda transportasi lain adalah kecepatannya. Ruang bawah tanah tentunya bebas macet, kecuali jika ada gangguan major yang bikin delay parah. Saya pernah terlambat satu jam ke tempat praktek kerja karena seorang pria dilaporkan melakukan percobaan bunuh diri dengan berdiri di lintasan underground. Kelebihan lain adalah daya angkutnya yang cukup besar, tidak seperti bus yang bisa banget menolak penumpang kalau udah kepenuhan, nggak peduli bahwa saya udah hampir nangis nunggu 20 menit di tengah hujan di musim dingin. tapi walaupun daya angkutnya cukup besar, penolakan penumpang bias tetap terjadi kalau lagi jam sibuk. Tapi tenang saja, kereta lain akan muncul dalam rentang waktu 3 menit, jadi agak tenang.

Underground ideal digunakan jika kita ingin pergi ke tempat yang cukup jauh karena akan menghemat waktu. Tarif underground adalah yang termahal di antara moda transportasi London lainnya. £2.50 adalah harga minimal, untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun lain yang berada di zona 1 dan 2, dan harganya akan lebih mahal seiring makin luar zona-nya.

Kekurangan lain dari underground adalah dia berada di bawah tanah, sehingga beberapa privilege yang bias kita nikmati di atas tanah akan hilang. Pertama, tentunya kita butuh naik turun tangga, baik tangga berjalan alias eskalator, atau tangga 'diam' yang ideal untuk melatih kapasitas paru-paru. Soal tangga ini, kesalahan terbesar saya adalah nekat menapaki 171 anak tangga di Russell Square Station karena sudah terlambat kuliah. Sampai di atas, saya bersumpah saya ingin sekali pingsan dan ditolong oleh mas petugas tampan. Kedua adalah sinyal handphone yang otomatis langsung hilang. Beberapa provider seluler memang menyediakan layanan Wi-Fi di stasiun underground, tapi ya sinyalnya hanya ada pas di stasiun. Kalau keretanya sudah jalan ya bye-bye sinyal. Hal ini tentunya kurang bersahabat buat saya yang selalu butuh koneksi internet buat dengerin lagu via Spotify. Ketiga, adalah sama sekali nggak ada pemandangan apa-apa di luar jendela underground! Semuanya hitam. Jadi nggak bisa menikmati indahnya Kota London. Kecuali kalau pemandangan dalam bentuk British gentlemen tampan, rapi, wangi, bergaya eksekutif muda bisa dikategorikan sebagai aset keindahan kota ini.

Anyway, untuk bisa naik underground dan SEMUA moda transportasi di London, kita harus punya sejumlah uang dalam kartu yang disebut Oyster Card. Yup, semua transportasi masal di London ini cashless. Nggak bakal ada mas-mas kondektur yang narikin duit ongkos kita, dan jangan harap bisa naik transportasi masal apapun dengan uang tunai, walaupun kita nunjukkin duit 100 poundsterling sekalipun. Buat para pelajar, jangan lupa apply Oyster Card untuk student, karena kita bisa mendapatkan diskon 30% ongkos perjalanan. Yang adalah sangat lumayan sekali buat beli lipstick.

Bagian tidak terpisahkan dari underground tentunya adalah stasiunnya. Rajin-rajinlah membaca setiap penunjuk arah di stasiun supaya tidak tersasar dan dapat menemukan jalan yang benar. Tenang saja, bahkan anak oon seperti saya bisa mengikuti petunjuknya dengan mudah. Jangan lupa, kalau naik eskalator di stasiun, berdirilah di sebelah kanan. Lajur kiri itu hanya untuk mendahului.

Source: balancelondon.sacoapartments.com
Saya punya beberapa stasiun underground favorit. Pertama adalah King's Cross-St. Pancras, karena banyaknya toko menarik yang tersedia di dalamnya. Plus arsitekturnya menarik kaya di film Harry Potter. Kedua adalah Hammersmith, sesederhana karena ada toko Ben's Cookies disana. Ketiga adalah East Acton, karena bernuansa classy seperti tahun-tahun masa perang. Baron's Court juga cukup menyenangkan karena tangganya sedikit dan bisa jalan-jalan ke Margravine Cemetery yang ada di dekatnya. Stasiun yang saya nggak suka adalah stasiun yang banyak turisnya macam Knightsbridge, Green Park, Waterloo... Ya padahal saya juga turis, tapi kadang kalau lagi penuh banget rasanya lelah banget.

Sekian dulu cerita saya mengenai London underground. Jangan lupa untuk selalu tap-in dan tap-out di stasiun, dan hindari mampir ke toko-toko menarik yang ada di stasiun kalau tidak ingin tergoda membeli!

Source: abcltd.uk.com
 p.s.: link yang saya sediakan di atas adalah sumber resmi Transport for London alias Tfl, organisasi yang mengatur semua hal mengenai transportasi di London. Silakan dibaca-baca untuk keterangan lebih lengkap ya!