Saya pernah bercerita di postingan saya terdahulu, kalau pekerjaan saya yang lampau mengharuskan saya menjadi seorang frequent flyer. Ada masa-masa dimana naik pesawat adalah sesuatu yang terlalu biasa, bahkan sehari bisa dua kali, udah ngalahin frekuensi mandi.
Setelah hampir 10 bulan berhenti dari kebiasaan lompat dari satu penerbangan ke penerbangan lain, akhirnya beberapa hari lalu saya terbang dari London ke Amsterdam, dan tiga hari setelahnya dari Amsterdam ke Berlin, dan minggu depan ada tiga penerbangan lagi menunggu saya: Budapest-Roma, Roma-Paris, dan Paris-London. Wah, akhirnya ketemu lagi sama pesawat terbang! Berhubung ini hitungannya penerbangan internasional, saya agak gagap di jam-jam awal masuk bandara. Kaya nggak pernah naik pesawat deh pokoknya. Tapi menariknya, di penerbangan kedua saya dari Amsterdam ke Berlin, saya menemukan kembali kebiasaan-kebiasaan masa lalu saya yang ternyata masih sangat melekat.
Picture source: here |
Pertama adalah kesigapan packing koper. Saya cukup bangga sama diri sendiri karena, menurut saya, kemampuan packing saya cukup mumpuni. Kebiasaan sering bepergian dulu membuat saya paham barang apa yang perlu dan nggak perlu masuk koper. Saya hampir nggak butuh list barang bawaan karena otak ini sudah memberi sinyal apa saja yang harus masuk koper. Tapi harus diakui, kemampuan saya belum ada apa-apanya dibanding mama saya, yang dengan begitu canggihnya berhasil mengepak 46kg barang dalam dua koper waktu saya pergi dari Jakarta ke London, dimana barang yang masuk koper itu termasuk rice cooker dan cobek kayu.
Kedua adalah kebiasaan check-in yang cukup awal, demi kepentingan mendapatkan seat terbaik. Kalau untuk penerbangan-penerbangan antar negara Eropa kali ini sih semua check in saya lakukan secara online sehingga nggak bisa memilih seat yang saya inginkan. Tapi dulu, kala masih sering terbang bersama maskapai ber-mileage kebangaan Indonesia, saya selalu request seat yang saya inginkan kepada petugas check in. Ada beberapa kondisi yang menentukan pilihan seat saya. Jika penerbangannya pagi hari, saya selalu pilih seat dekat jendela demi bisa meneruskan tidur yang tertunda. Kalau penerbangan malam, selalu memilih seat di aisle, kalau bisa paling depan atau paling belakang, demi kecepatan turun dari pesawat dan tiba di rumah untuk tidur. Untuk penerbangan ke destinasi-destinasi cantik macam Padang, saya selalu pilih seat dekat jendela karena pemandangannya spektakuler banget.
Ketiga adalah kesigapan dalam pemeriksaan di gate keberangkatan. Menurut saya, saya anaknya cukup ringkas dan efisien dalam kegiatan menempatkan koper di ban berjalan, buka jaket, buka sepatu, masuk ke X-ray dan siap diraba-raba, sampai mengumpulkan kembali semua barang dari ban berjalan. Tapi perihal ini, saya cukup kurang sigap untuk mengeluarkan semua gadget (laptop, tablet, kamera) dari dalam tas saat saya akan terbang dari London ke Jakarta beberapa waktu lalu. Laptop sih sudah saya keluarkan, tapi tablet masih tertinggal di dalam tas tangan dan menyebabkan tas saya nggak lolos scanning.
Keempat adalah kesigapan dalam masuk pesawat. Wah, ini penting sekali, demi memastikan cabin luggage saya mendapat tempat yang aman dan nyaman tepat di atas kepala saya. Saya paling menghindari kehabisan tempat untuk menaruh koper di kabin dan berujung pada koper saya harus masuk ke checked luggage. Nunggu bagasinya itu lho, berabad lamanya! Oleh karena itu, saya selalu siaga pilih tempat menunggu persis di depan gate, agar pas gate dibuka saya langsung bisa meluncur masuk. Pokoknya harus terdepan dalam prestasi.
Kelima, ini ciri khas saya banget, adalah tidur nyenyak menjelang take off atau landing. Pokoknya mulai dari pesawat berjalan dari tempat parkir menuju runway, bisa dipastikan saya lagi bobok cantik. Kadang pakai acara agak mangap kalau kecapekan banget. Suasananya mendukung pula buat tidur, karena lampu kabin kan dipadamkan, remang-remang enak deh buat terlelap. Biasanya saya baru bangun saat pesawat udah di udara dan mbak pramugari maskapai ber-mileage mulai membagikan makanan. Habis makan (biasanya sambil nonton TV kalau pesawatnya ada TV-nya), ya tidur lagi. Betapa produktifnya saya di ketinggian 30000 kaki! Kegiatan membanggakan macam mengerjakan kerjaan kantor atau membaca jurnal yang berkaitan dengan presentasi biasanya saya lakukan kalau saya nervous banget dengan presentasi yang akan saya hadapi. Tapi kadang saya cukup berada di jalan yang benar kok, contohnya tulisan ini saya buat saat pesawat sedang melintasi Hannover menuju Berlin (menurut info dari Om Pilot sih begitu), disebabkan saya nggak bisa tidur karena mas bule kece sebelah saya parfumnya memabukkan sekali.
Menulis semua ini bagaikan refleksi, nostalgia yang membuat saya senyum-senyum sendiri. Kalau dipikir-pikir, masa muda saya ini cukup menyenangkan, karena nggak semua orang bisa memiliki pengalaman terbang sebanyak saya di usia semuda ini. Tahun-tahun ke depan sudah dipastikan akan sepi terbang, but if a day comes when I need to catch a flight, I know for sure that I will giggle to remember my old self doing those mentioned things!