Friday, 28 February 2014

Vulcantine Day: Me, Eruption, and February 14

14 Februari 2014

Hari pertama sejak terjadinya erupsi Gunung Kelud. Erupsi hebat yang menyebabkan semburan hujan abu ke daerah-daerah sekitarnya, bahkan hingga ke Bandung yang berada di Jawa Barat. Kebetulan, saya menjadi salah satu manusia yang turut mengalami cukup banyak kejadian sebagai kompensasi  dari erupsi tersebut.

Semua ini bermula karena sejak tanggal 10 Februari saya bertugas di Kota Malang, yang notabene berjarak kurang lebih 100 kilometer dari Gunung Kelud. Tanggal 13 Februari malam, mas-mas ini bertanya pada saya bagaimana kondisi saya terkait erupsi Kelud. Sebagai anak yang cuma nonton Channel V di kamar hotel, sejujurnya saya bahkan nggak akan tahu Kelud erupsi kalau nggak diberitahu Mas Arie. Dan sejujurnya lagi, ilmu peta buta saya ini jongkok banget, sehingga saya nggak langsung connect hubungan antara erupsi Kelud dan posisi saya di Malang. Oke, mari minta bantuan pada Gmaps! Ketik-ketik di search engine, voila! Saya pun terhenyak. Kok (ternyata) deket sih dari Malang? Channel TV langsung saya pindah ke channel berita nasional, dan gambar-gambar yang ditampilkan cukup membuat saya sadar bahwa ini bencana besar.

Hasil searching di Gmaps tentang posisi saya dan Gunung Kelud

Saya masih berusaha menenangkan diri karena berita-berita belum menyebutkan efek erupsi pada Kota Malang. Tapi ketenangan yang sudah berhasil saya capai itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian saya melihat kilatan seperti petir berwarna agak merah di langit sebelah barat saya, di arah dimana GPS saya menunjukkan posisi Gunung Kelud.

Kalau saya panik, cara terbaik untuk mengatasinya adalah berbagi kepanikan pada orang lain. Maka saya segera chat dengan ibu ini dan ibu ini via Line. Berbagai saran mulai mereka berikan, dari mengisi full air minum, charge semua gadget dan power bank, hapalin letak tangga darurat, sampai larangan pakai daster saat tidur ('biar lo bisa cepet kabur dengan outfit yang cukup oke kalau amit-amit ada bahaya') dan anjuran tidur dengan bawa tas berisi semua perlengkapan ('pas dulu Bandung gempa heboh, gue tidur pake tas selempang loh. Biar cepet kalo mau evakuasi').

Sungguh, malam itu saya sulit tidur. Setiap kali mau memejamkan mata, rasanya takut bakal terjadi apa-apa. Tapi saya pantau du luar jendela, Kota Malang masih fine, sehingga setelah berdoa saya pun bisa tidur.

Terbangun jam 5.30 pagi, Kota Malang was so perfectly fine. Jadi ceritanya, seharusnya saya flight balik ke Jakarta dari Malang ini jam 10.45. Nggak ada hujan abu sama sekali. Mungkin karena menurut pemberitaan, angin bertiup ke arah barat dan barat daya Kelud, sedangkan saya ada di timur Kelud. Langkah pertama tentunya tetap memantau berita, dan mendapati kabar bahwa beberapa bandara sudah closed, antara lain Surabaya, Solo, Yogyakarta. Segera saya menelepon ibu dan bapak bos yang berada di Jakarta. Mereka menginstruksikan saya untuk bersiap-siap extend menginap di Malang in case flight saya delayed. Saya lalu mencoba menelepon kantor Garuda Indonesia cabang Malang, dan mereka menyatakan bahwa baru saja mereka menerim kabar bahwa bandara Malang juga ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Moreover, mereka menyarankan saya refund saja tiket saya karena tidak ada yang bisa memprediksi kapan bandara bisa kembali beroperasi.

Okaay, itu berarti saya harus SEGERA mencari jalan lain untuk kembali ke Jakarta. Seperti saran beberapa orang, alternatif paling favorable tentu saja menggunakan kereta api. Namun sebelum memutuskan, tentunya harus diskusi dulu dengan bos di kantor, berhubung ini dalam rangka dinas. Setelah sesi-sesi telepon heboh, akhirnya keputusannya adalah bahwa siang ini saya akan ke Surabaya dari Malang, handle kerjaan tim di Surabaya (harusnya Mas Lubbi yang isi, tapi kan beliau juga nggak bisa flight dari Jakarta), lalu naik kereta dari Surabaya ke Jakarta.

Baiklah! Langkah utama adalah mengamankan tiket kereta dari Surabaya ke Jakarta. Cek online, puji Tuhan masih ada buat malam ini. Saya langsung lari-lari (literally lari!) ke Alfamart dekat hotel untuk membeli tiket kereta. Saat semua sudah terlihat beres, mbak-mbak Alfa nya memberitahu saya bahwa pembayaran tidak bisa dilakukan dengan debit, harus cash. What? Ya saya mana ada prepare cash sebanyak itu! Akhirnya saya batalkan transaksi, dan lari ke Indomaret yang berjarak beberapa meter. Hal pertama yang saya tanyakan tentunya adalah apakah mereka menerima pembayaran dengan debit card atau tidak, haha. Syukurlah bisa, tapi amazingly tiket kereta untuk malam ini yang sekian menit lalu masih available di toko sebelah, sekarang sudah sold out. Astagaaa... Ini sih udah jelas semua orang yang flight-nya di-cancel langsung beralih ke kereta. Saya cepat-cepat mengubah jadwal menjadi keesokan harinya, dan syukurlah masih tersedia seat. Setelah saya menyelesaikan transaksi, saya segera menghubungi Mbak Ocha supaya membantu saya booking hotel di Surabaya malam ini.

Setelah episode lari-lari demi tiket kereta (kemana-mana jalan kaki), saya merasa lapar dan baru sadar sedari pagi belum sempat sarapan. Saya pun kembali ke hotel dan berpikir bisa sarapan dengan tenang. Sambil nyeruput teh manis, saya menelepon travel jurusan Malang-Surabaya. Puji Tuhan, masih ada seat untuk keberangkatan jam 10. Saya lirik jam, jam 9. Okesip, keburu banget. Saya pun segera deal dan meneruskan ke menu sarapan berikutnya: nasi goreng.

Baru dua suap, saya tiba-tiba baru ingat bahwa saya belum refund tiket flight saya! Waduh.... Piye ki tuips. Berdasarkan keterangan CS Garuda yang tadi pagi saya hubungi, refund harus dilakukan di kota keberangkatan. Makjang.... Itu artinya saya harus refund sebelum saya meninggalkan Malang dong, which is cuma sisa 40 menitan lagi sebelum travel saya jemput. Syukurlah, kantor Garuda Malang terletak di dekat hotel saya. Jadi saya cepat-cepat menghabiskan sarapan dan segera pergi untuk melakukan refund. Of course, literally running. Again.

Sampai di kantor GA, saya langsung lemes mendapati antrian pengunjung udah mengular. Saya dapat nomor tunggu 10, sementara antrian baru nomor 1. Saya pun segera menghubungi pihak travel Malang-Surabaya dan memohon-mohon supaya mereka mau menunggui saya beres refund. Beruntung, mereka mau. Mungkin karena nggak tega mendengar suara saya yang memelas ini. Setelah hampir 40 menit, urusan refund pun kelar. Langsung cepat-cepat balik ke hotel, check out, dan naik travel menuju Surabaya.
 

Gambaran kasar positioning tempat-tempat dalam cerita. Pardon me for the super-unartistic-doodling of mine :)

Perjalanan menuju Surabaya nggak bisa dibilang mudah, sepanjang jalan berasa kaya lagi di gurun karena abu tebal yang menghalangi pandangan. Tapi syukurlah, volume kendaraan saat itu tidak padat sehingga dalam jangka waktu 3,5 jam perjalanan saya sudah sampai di Surabaya.

Masih ada beberapa saat sebelum presentasi sore ini dimulai, saya pun leha-leha sejenak di kantor cabang Surabaya sambil makan empal penyet. Finally, I could have some peaceful meal setelah seharian ini rasanya lari-lari terus. Plus segelas kopi sebelum presentasi, sore ini rasanya cukup tenang untuk dijalani.

Pulang presentasi, menyempatkan diri dulu pergi ke Stasiun Gubeng untuk menukarkan e-ticket saya dengan tiket 'beneran'. Prosesi penukaran ini juga agak bikin deg-degan sih, karena saya cukup gambling juga datang ke Gubeng jam 8 malam. Syukurlah, loketnya masih buka.

Akhirnya touchdown hotel juga sekitar jam 9 malam dan mendapati 'masalah' baru: I didn't have any clean clothes left. Maklum, cuma persiapan buat 5D4N aja, nggak ngira bakal extend semalam begini. Dan saya termasuk orang yang ogah pakai baju yang udah seharian dipakai, apalagi besok harus menempuh perjalanan panjang Surabaya-Jakarta by train. Ya udah, nggak ada pilihan lain: let's rinse the clothes! Saya pilih mencuci satu kemeja yang bahannya cepet kering kalau basah, dan beres nyuci saya memanfaatkan hair dryer hotel buat mengeringkan si kemeja. Syukurlah, besok paginya dia sudah kering dan bisa saya gunakan.

15 Februari 2014

Jam 7 pagi saya sudah rapi jali tiba di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Woah, what a crowd! Seperti ramalan saya (dan memang dibilang juga di liputan-liputan televisi), semua orang beralih ke moda transportasi kereta api begitu tahu Bandara Juanda ditutup sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Dari segi appearance pun sudah kelihatan kok, secara hari itu Sabtu pagi tapi banyak orang pakai business suit. Pasti karena flight-nya cancel dan nggak punya baju lagi buat extend semalam hihi.

Jam 8.15 KA Argo Bromo Anggrek yang saya naiki berangkat dari Pasar Turi. Hufft, embrace yourself for this long (long!) journey, Ties! Untunglah semalam saya sudah mendownload semua episode drama yang belum saya tonton, sehingga perjalanan menjadi lebih bearable. Ditambah dengan pemandangan sepanjang perjalanan yang memang bagus banget sih (walaupun mendung) dan percakapan via WhatsApp (uhuk) akhirnya 10 jam pun berlalu dan saya bisa touchdown Gambir.

Keluar dari kereta rasanya lemes banget. Kalau naik pesawat 10 jam udah sampai Australia kali ya. Kembali menghadapi ujian kesabaran menunggu antrian taksi burung biru seperti biasa, dengan cuek saya duduk aja ndelosor di trotoar Gambir. Capek soalnya, haha.

Sekitar jam 9 malam akhirnya saya sampai juga di kosan, yang sudah seminggu nggak dipukpuk sama yang punyanya itu. Ah, kasur! How much I miss you! Despite of all this tiredness, saya bersyukur banget masih bisa pulang ke Jakarta. Kalau flashback ke pagi hari tanggal 14 Februari itu, rasanya makin-makin bersyukur, bahwa di tengah erupsi yang berada di dekat saya, saya masih diberi keselamatan.

Oh, and the Valentine's Day? Yah, cukuplah dirayakan dengan cukup stres melihat ornamen cupid segede pohon Natal dari bahan styrofoam warna pink dangdut di dekat venue presentasi saya sore itu. Kalau kata Pak Daud (area manager Surabaya) sih 'Ini Vulcantine Day bu Tiesa!'. 

Yup, Happy Vulcantine Day then. Semoga cinta selalu berada di sekitar kita, termasuk cinta pada sesama yang menjadi korban erupsi kali ini. :)


Tuesday, 11 February 2014

My Weekdays Escape: Denpasar!

Throwback Agustus 2013. What? Baru di-posting sekarang? Iya, thanks to mas-mas ini yang ngomporin terus :p

~~~

Iya, Denpasar. Bukan Bali as a whole package. Thanks to flu dan batuk berat yang menyertai saya dalam perjalanan kali ini, I had to bid adieu to those pretty beaches, dan harus tepar di hotel memulihkan kondisi sebelum bekerja. But anyway, Denpasar pun menarik kok buat dijelajahi, buktinya saya dapet cukup banyak di 3D2N kali ini :)

Day one, seperti biasa pagi-pagi ke Soetta, yang ramainya udah ngalahin pasar Tanah Abang. Check in, boarding, nah pas masuk pesawat ini saya agak linglung. Jadi sekarang Garuda Indonesia menerapkan sistem penomoran seat yang baru buat pesawat-pesawatnya. Kalau selama ini nomor 1-5 itu punyanya business class, dan 6-akhir (tergantung jenis pesawatnya) itu punya economy class, dan nomor tempat duduknya pun ABC-DEF, sekarang ada pergantian yang cukup mencolok. Sekarang, nomor 1-10 itu punyanya first class (ini gaji berapa taun ya gue baru bisa naik first class hehehe), 11-20 punya business class, dan economy class dimulai dari nomor 21-akhir. Ini berlaku buat semua pesawat, nggak cuma pesawat-pesawat yang ada first class-nya aja. Alfabetnya pun bukan ABC-DEF buat model Boeing 737, tapi ABC untuk gang kiri (dari arah pintu masuk dekat kokpit), dan HJK buat gang kanan. So, pas liat boarding pass saya menunjukkan angka 25B, saya pede banget langsung jalan ke belakang, eh ternyata kebablasan karena 25 letaknya di depan. Hahaha.

Rute Jakarta-Denpasar emang agak spesial (harganya juga spesial, heu), soalnya di baki makanan yang biasanya cuma berisi main course dan dessert, kalau di rute ini ada tambahan roti plus butter. Haha, lumayan, tambahan karbo. Mendekati Ngurah Rai, Mr Pilot mengumumkan kalau pesawat kami harus menunggu sekitar 20 menit lagi agar bisa mendarat, karena bandara sedang ditutup, because Mr Vice President was using it. Lumayan deh 20 menit muter-muter di atas laut, akhirnya setelah itu landing juga. Seperti biasa landing di Ngurah Rai juga serem-serem asik karena runway-nya terletak benar-benar di pinggir laut (just like Minangkabau Airport di Padang), jadi kalau liat keluar jendela ini pesawat udah terbang rendah banget tapi kok bawahnya masih laut semua.

Due to my condition yang batuk-batuk tiada henti ini, akhirnya saya langsung ke hotel (Fave Jl. Teuku Umar) dan tepar tidur. Bangun sejam kemudian karena lapar, saya cuma makan di depan hotel karena males gerak jauh-jauh. Lumayan, dapet nasi tempong cumi bakar yang enak tapi super pedessss, plus jeruk nipis hangat untuk tenggorokan saya yang bermasalah ini. Nama tempat makannya Nasi Tempong Indra, letaknya di Jl. Teuku Umar Denpasar. Harga paket nasi tempong (isinya cumi bakar 4 pieces lumayan gede, tahu, tempe, dan ikan asin goreng, lalapan daun bayem dan terong yang dikukus, serta mentimun dan sambel) itu Rp 47.000, jeruk nipis hangatnya Rp 10.000 segelas. Nasi tempong ini sebenarnya adalah makanan khas Banyuwangi, tetangga seberang laut-nya Bali. Khas-nya adalah bau kencur di sambelnya, tapi saya sih suka, bikin sambelnya makin manteb aja.

Nasi tempong cumi bakar
Sebenarnya sore harinya saya berencana pergi ke Kuta Square buat jalan-jalan sendirian, tapi setelah komtemplasi panjang, saya akhirnya membatalkan rencana tersebut, mengingat kondisi badan yang tidak memungkinkan, salah-salah malah tepar besok pas kerja, nggak lucu banget. Sedih sih, tapi kesedihan saya nggak berlangsung lama karena malamnya saya dikunjungi sama Dyan, teman menggila saya di PSM ITB dulu. Dyan sekarang kerja di Ubud, dan malem-malem bela-belain dateng ke Denpasar demi ketemu Jeng Tiesa, terharu banget. Kami (plus mas-nya Dyan, aheum) ngobrol-ngobrol sambil makan di angkringan di depan Happy Puppy jalan Teuku Umar dan sama-sama memesan nasi pindang ayam kampung, plus jahe madu buat saya dan es teh manis buat Dyan. Duhh, langsung nggak berasa ini tuh di Denpasar! Rasanya ini tuh angkringan mie jowo favorit kami di Jalan Balubur, Bandung, tempat nongkrong setelah latihan PSM (dan biasanya saya akan nebeng nginap di kosan Dyan berhubung rumah saya jauh dari kampus). Dyan masih tetap sama seperti yang saya kenal dulu: cungkring, petakhilan, tapi sangat menyenangkan. Saat waktu sudah menunjukkan after-midnight, terpaksa saya dan Dyan berpisah karena besok kami sama-sama harus bekerja.

With Dyan
Day two: kerja. Tapi, seperti biasa, selalu ada waktu buat saya berpetualang di tengah pekerjaan. Agenda saya hari ini adalah belanja (girls will be girls!) dan makan babi guling. Seperti biasa, teman baik saya berpetualang bernama GPS. Asyik, toko souvenir Krisna dan babi guling Chandra yang tersohor itu terletak dekat hotel! So, sehabis breakfast, dengan pedenya saya menyusuri Jl Teuku Umar berbekal GPS, celana pendek, kaos, dan sendal jepit. Lesson learned! Segala sesuatu yang terlihat dekat di peta nggak selamanya dekat di dunia nyata. Ditambah kemampuan saya yang jongkok banget dalam membaca peta, akhirnya ujung-ujungnya saya nanya juga sama beli tukang parkir. Syukurlah, setelah berpeluh di bawah matahari Denpasar saya sampai juga di Krisna.

Krisna ini adalah toko souvenir yang menjual berbagai oleh-oleh khas Bali.Tokonya cukup khas dengan hiasan patung Krisna berwarna biru tepat di pintu masuk. Setiap pengunjung yang masuk kesini akan diberi stiker yang bertuliskan nomor tertentu, meskipun sampai sekarang saya kurang paham itu maksudnya untuk apa. Hari itu saya membeli kaos buat Papa dan Dylan, daster buat Mama, kain pantai buat Mama dan Mbak Anis, segala macam aromaterapi, asesoris, dan printilan-printilan lain. Nggak lupa dong menghadiahi diri saya sendiri dengan beberapa potong baju. Selain itu, Krisna juga menyediakan aneka makanan khas Bali, jadi saya memborong beberapa box kacang disko dan pia. And as always, shopping selalu menyenangkan, kecuali ketika membayar. Tapi syukurlah Krisna menyediakan beberapa mesin EDC yang memudahkan hidup :)

Capek berbelanja, saatnya makan! Kaki ini lalu melangkah ke Rumah Makan Babi Guling Chandra di Jl Teuku Umar (dengan segenap belanjaan dari Krisna). Nom! Saya memesan satu paket babi guling seharga Rp 40.000, isinya ada nasi, kuah, lawar, sate, dan tentunya daging babi guling. I'm not really into meat, jadi favorit saya disini malah lawar-nya, tapi yang versi nggak disiram pakai darah babinya sih. Tips dari saya, kalau makan disini harus pinter-pinter milih spot tempat duduk, karena jujur saja bau dari daging babi mentahnya masih menguar dari dapur ke area makan, dan baunya itu lumayan bikin eneg.

Babi Guling!
Day three: packing then working then going back to Jakarta. Prosesi packing-nya sendiri adalah sesuatu yang cukup menegangkan, karena saya harus berusaha memasukkan semua belanjaan saya dalam koper karena alasan sederhana: saya males masukin koper saya ke bagasi pesawat (menunggu antrian bagasi di Soetta itu adalah penyia-nyiaan masa muda yang berharga). Untungnya kemampuan packing saya sudah lumayan advance: semua pakaian digulung sehingga lebih menghemat tempat :) Hari ini ditraktir sama rekan area Denpasar makan di Warung Bendega yang terletak di Jl. Cok Agung Tresna. I love this place! Ambience-nya sangat Bali dan mempunyai konsep semi-open restaurant tapi tetap teduh. Buat lunch saya memilih menu Nasi Campur Bali. Nasi putih yang dibentuk cone dengan berbagai side dishes: urap sayuran, kering kentang, ayam bumbu Bali, otak-otak tenggiri, sate lilit, ayam suwir yang dibumbui bawang dan cabe rawit, serundeng, telur asin, dan nggak ketinggalan kerupuk. What a cuisine! Kind of reminding me to tumpeng, versi individual. Rasanya enak banget, apalagi ditambah segelas es jeruk nipis. 

Patung Ganesha di Bendega

Nasi Campur Bali Warung Bendega

Beres kerja, masih ada beberapa saat sebelum flight. Saya pun minta diantar mencari oleh-oleh yang dipesan oleh sejuta umat di kantor: pie susu. Berdasarkan keterangan Bu Ayu yang notabene native di sana, pie susu paling enak namanya pie susu Regina. Pas ke sana, ternyata dia bukan berbentuk toko gitu, tapi hanyalah rumah biasa, letaknya di dekat Gereja Katedral Denpasar. Belinya aja pakai prosesi ketok pintu, dibukain pintu sama yang punya rumah, lalu bilang mau beli berapa banyak pie susunya. Tapi rasa pie susunya emang enak banget, nggak eneg, cocok untuk lidah saya yang kurang bisa menerima makanan manis. Oh iya, kalau mau beli pie susu disini sebaiknya telepon dulu sebelum datang untuk memastikan ketersediaan barangnya.

Pie susu!
Segala list titipan oleh-oleh udah checked, saatnya pulang. Perjalanan ke bandara cukup menyita waktu walaupun secara kilometer jaraknya nggak begitu jauh. Iyap, Denpasar macet banget! Apalagi saat itu sedang hot-hotnya persiapan Konferensi APEC. Bandara Ngurah Rai sendiri (saat itu) sedang mengalami banyak renovasi, sehingga direksionalnya cukup membingungkan. Tapi saya acungkan jempol ke tim janitorial-nya, karena WC nya rapi dan bagus banget. Check in beres, harus menerima kenyataan kena delay BEBERAPA jam. Maklum, lagi dapet maskapai 'ituh'. Ditambah kenyataan bahwa karena naik maskapai 'ituh' saya nggak bisa masuk lounge buat sekedar nyicip kopi atau cari koran, akhirnya saya menunggu dengan manis di boarding room, yang lebih parah ramenya dibanding Terminal Kampung Rambutan.

Jam 23 akhirnya saya touchdown Soetta. Duh! Si maskapai ini ternyata landing di Terminal 3 untuk penerbangan dari Denpasar ke Jakarta. Terpaksa lah saya kembali bete karena di terminal ini, yang namanya taksi burung biru itu susah banget dilihat penampakannya. Dan nasib karyawan ber-voucher, ya harus sabar nunggu antrian yang mengular. Syukurlah akhirnya bisa dapet taksi, sampai kosan langsung tepar. Untung betenya udah terobati dengan 4 bungkus pie susu di perjalanan.

Well, that's all! I wish I could visit Bali again someday, holiday purpose. Terakhir kesana pas study tour SMA, kali ini pengen rasanya pergi sama keluarga. Dan yang jelas, tanpa beban harus bekerja di Pulau Dewata!