14 Februari 2014
Hari pertama sejak terjadinya erupsi Gunung Kelud. Erupsi hebat yang menyebabkan semburan hujan abu ke daerah-daerah sekitarnya, bahkan hingga ke Bandung yang berada di Jawa Barat. Kebetulan, saya menjadi salah satu manusia yang turut mengalami cukup banyak kejadian sebagai kompensasi dari erupsi tersebut.
Semua ini bermula karena sejak tanggal 10 Februari saya bertugas di Kota Malang, yang notabene berjarak kurang lebih 100 kilometer dari Gunung Kelud. Tanggal 13 Februari malam, mas-mas ini bertanya pada saya bagaimana kondisi saya terkait erupsi Kelud. Sebagai anak yang cuma nonton Channel V di kamar hotel, sejujurnya saya bahkan nggak akan tahu Kelud erupsi kalau nggak diberitahu Mas Arie. Dan sejujurnya lagi, ilmu peta buta saya ini jongkok banget, sehingga saya nggak langsung connect hubungan antara erupsi Kelud dan posisi saya di Malang. Oke, mari minta bantuan pada Gmaps! Ketik-ketik di search engine, voila! Saya pun terhenyak. Kok (ternyata) deket sih dari Malang? Channel TV langsung saya pindah ke channel berita nasional, dan gambar-gambar yang ditampilkan cukup membuat saya sadar bahwa ini bencana besar.
Hasil searching di Gmaps tentang posisi saya dan Gunung Kelud |
Saya masih berusaha menenangkan diri karena berita-berita belum menyebutkan efek erupsi pada Kota Malang. Tapi ketenangan yang sudah berhasil saya capai itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian saya melihat kilatan seperti petir berwarna agak merah di langit sebelah barat saya, di arah dimana GPS saya menunjukkan posisi Gunung Kelud.
Kalau saya panik, cara terbaik untuk mengatasinya adalah berbagi kepanikan pada orang lain. Maka saya segera chat dengan ibu ini dan ibu ini via Line. Berbagai saran mulai mereka berikan, dari mengisi full air minum, charge semua gadget dan power bank, hapalin letak tangga darurat, sampai larangan pakai daster saat tidur ('biar lo bisa cepet kabur dengan outfit yang cukup oke kalau amit-amit ada bahaya') dan anjuran tidur dengan bawa tas berisi semua perlengkapan ('pas dulu Bandung gempa heboh, gue tidur pake tas selempang loh. Biar cepet kalo mau evakuasi').
Sungguh, malam itu saya sulit tidur. Setiap kali mau memejamkan mata, rasanya takut bakal terjadi apa-apa. Tapi saya pantau du luar jendela, Kota Malang masih fine, sehingga setelah berdoa saya pun bisa tidur.
Terbangun jam 5.30 pagi, Kota Malang was so perfectly fine. Jadi ceritanya, seharusnya saya flight balik ke Jakarta dari Malang ini jam 10.45. Nggak ada hujan abu sama sekali. Mungkin karena menurut pemberitaan, angin bertiup ke arah barat dan barat daya Kelud, sedangkan saya ada di timur Kelud. Langkah pertama tentunya tetap memantau berita, dan mendapati kabar bahwa beberapa bandara sudah closed, antara lain Surabaya, Solo, Yogyakarta. Segera saya menelepon ibu dan bapak bos yang berada di Jakarta. Mereka menginstruksikan saya untuk bersiap-siap extend menginap di Malang in case flight saya delayed. Saya lalu mencoba menelepon kantor Garuda Indonesia cabang Malang, dan mereka menyatakan bahwa baru saja mereka menerim kabar bahwa bandara Malang juga ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Moreover, mereka menyarankan saya refund saja tiket saya karena tidak ada yang bisa memprediksi kapan bandara bisa kembali beroperasi.
Okaay, itu berarti saya harus SEGERA mencari jalan lain untuk kembali ke Jakarta. Seperti saran beberapa orang, alternatif paling favorable tentu saja menggunakan kereta api. Namun sebelum memutuskan, tentunya harus diskusi dulu dengan bos di kantor, berhubung ini dalam rangka dinas. Setelah sesi-sesi telepon heboh, akhirnya keputusannya adalah bahwa siang ini saya akan ke Surabaya dari Malang, handle kerjaan tim di Surabaya (harusnya Mas Lubbi yang isi, tapi kan beliau juga nggak bisa flight dari Jakarta), lalu naik kereta dari Surabaya ke Jakarta.
Baiklah! Langkah utama adalah mengamankan tiket kereta dari Surabaya ke Jakarta. Cek online, puji Tuhan masih ada buat malam ini. Saya langsung lari-lari (literally lari!) ke Alfamart dekat hotel untuk membeli tiket kereta. Saat semua sudah terlihat beres, mbak-mbak Alfa nya memberitahu saya bahwa pembayaran tidak bisa dilakukan dengan debit, harus cash. What? Ya saya mana ada prepare cash sebanyak itu! Akhirnya saya batalkan transaksi, dan lari ke Indomaret yang berjarak beberapa meter. Hal pertama yang saya tanyakan tentunya adalah apakah mereka menerima pembayaran dengan debit card atau tidak, haha. Syukurlah bisa, tapi amazingly tiket kereta untuk malam ini yang sekian menit lalu masih available di toko sebelah, sekarang sudah sold out. Astagaaa... Ini sih udah jelas semua orang yang flight-nya di-cancel langsung beralih ke kereta. Saya cepat-cepat mengubah jadwal menjadi keesokan harinya, dan syukurlah masih tersedia seat. Setelah saya menyelesaikan transaksi, saya segera menghubungi Mbak Ocha supaya membantu saya booking hotel di Surabaya malam ini.
Setelah episode lari-lari demi tiket kereta (kemana-mana jalan kaki), saya merasa lapar dan baru sadar sedari pagi belum sempat sarapan. Saya pun kembali ke hotel dan berpikir bisa sarapan dengan tenang. Sambil nyeruput teh manis, saya menelepon travel jurusan Malang-Surabaya. Puji Tuhan, masih ada seat untuk keberangkatan jam 10. Saya lirik jam, jam 9. Okesip, keburu banget. Saya pun segera deal dan meneruskan ke menu sarapan berikutnya: nasi goreng.
Baru dua suap, saya tiba-tiba baru ingat bahwa saya belum refund tiket flight saya! Waduh.... Piye ki tuips. Berdasarkan keterangan CS Garuda yang tadi pagi saya hubungi, refund harus dilakukan di kota keberangkatan. Makjang.... Itu artinya saya harus refund sebelum saya meninggalkan Malang dong, which is cuma sisa 40 menitan lagi sebelum travel saya jemput. Syukurlah, kantor Garuda Malang terletak di dekat hotel saya. Jadi saya cepat-cepat menghabiskan sarapan dan segera pergi untuk melakukan refund. Of course, literally running. Again.
Sampai di kantor GA, saya langsung lemes mendapati antrian pengunjung udah mengular. Saya dapat nomor tunggu 10, sementara antrian baru nomor 1. Saya pun segera menghubungi pihak travel Malang-Surabaya dan memohon-mohon supaya mereka mau menunggui saya beres refund. Beruntung, mereka mau. Mungkin karena nggak tega mendengar suara saya yang memelas ini. Setelah hampir 40 menit, urusan refund pun kelar. Langsung cepat-cepat balik ke hotel, check out, dan naik travel menuju Surabaya.
Gambaran kasar positioning tempat-tempat dalam cerita. Pardon me for the super-unartistic-doodling of mine :) |
Perjalanan menuju Surabaya nggak bisa dibilang mudah, sepanjang jalan berasa kaya lagi di gurun karena abu tebal yang menghalangi pandangan. Tapi syukurlah, volume kendaraan saat itu tidak padat sehingga dalam jangka waktu 3,5 jam perjalanan saya sudah sampai di Surabaya.
Masih ada beberapa saat sebelum presentasi sore ini dimulai, saya pun leha-leha sejenak di kantor cabang Surabaya sambil makan empal penyet. Finally, I could have some peaceful meal setelah seharian ini rasanya lari-lari terus. Plus segelas kopi sebelum presentasi, sore ini rasanya cukup tenang untuk dijalani.
Pulang presentasi, menyempatkan diri dulu pergi ke Stasiun Gubeng untuk menukarkan e-ticket saya dengan tiket 'beneran'. Prosesi penukaran ini juga agak bikin deg-degan sih, karena saya cukup gambling juga datang ke Gubeng jam 8 malam. Syukurlah, loketnya masih buka.
Akhirnya touchdown hotel juga sekitar jam 9 malam dan mendapati 'masalah' baru: I didn't have any clean clothes left. Maklum, cuma persiapan buat 5D4N aja, nggak ngira bakal extend semalam begini. Dan saya termasuk orang yang ogah pakai baju yang udah seharian dipakai, apalagi besok harus menempuh perjalanan panjang Surabaya-Jakarta by train. Ya udah, nggak ada pilihan lain: let's rinse the clothes! Saya pilih mencuci satu kemeja yang bahannya cepet kering kalau basah, dan beres nyuci saya memanfaatkan hair dryer hotel buat mengeringkan si kemeja. Syukurlah, besok paginya dia sudah kering dan bisa saya gunakan.
15 Februari 2014
Jam 7 pagi saya sudah rapi jali tiba di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Woah, what a crowd! Seperti ramalan saya (dan memang dibilang juga di liputan-liputan televisi), semua orang beralih ke moda transportasi kereta api begitu tahu Bandara Juanda ditutup sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Dari segi appearance pun sudah kelihatan kok, secara hari itu Sabtu pagi tapi banyak orang pakai business suit. Pasti karena flight-nya cancel dan nggak punya baju lagi buat extend semalam hihi.
Jam 8.15 KA Argo Bromo Anggrek yang saya naiki berangkat dari Pasar Turi. Hufft, embrace yourself for this long (long!) journey, Ties! Untunglah semalam saya sudah mendownload semua episode drama yang belum saya tonton, sehingga perjalanan menjadi lebih bearable. Ditambah dengan pemandangan sepanjang perjalanan yang memang bagus banget sih (walaupun mendung) dan percakapan via WhatsApp (uhuk) akhirnya 10 jam pun berlalu dan saya bisa touchdown Gambir.
Keluar dari kereta rasanya lemes banget. Kalau naik pesawat 10 jam udah sampai Australia kali ya. Kembali menghadapi ujian kesabaran menunggu antrian taksi burung biru seperti biasa, dengan cuek saya duduk aja ndelosor di trotoar Gambir. Capek soalnya, haha.
Sekitar jam 9 malam akhirnya saya sampai juga di kosan, yang sudah seminggu nggak dipukpuk sama yang punyanya itu. Ah, kasur! How much I miss you! Despite of all this tiredness, saya bersyukur banget masih bisa pulang ke Jakarta. Kalau flashback ke pagi hari tanggal 14 Februari itu, rasanya makin-makin bersyukur, bahwa di tengah erupsi yang berada di dekat saya, saya masih diberi keselamatan.
Oh, and the Valentine's Day? Yah, cukuplah dirayakan dengan cukup stres melihat ornamen cupid segede pohon Natal dari bahan styrofoam warna pink dangdut di dekat venue presentasi saya sore itu. Kalau kata Pak Daud (area manager Surabaya) sih 'Ini Vulcantine Day bu Tiesa!'.
Yup, Happy Vulcantine Day then. Semoga cinta selalu berada di sekitar kita, termasuk cinta pada sesama yang menjadi korban erupsi kali ini. :)