Saya pernah bilang di postingan saya terdahulu bahwa
pekerjaan saya membuat saya harus travelling dari satu kota ke kota lain di
Indonesia. Selama ini banyak teman yang menyuruh saya membuat catatan
perjalanan saya di blog ini, namun belum terealisasi, entah karena saya nggak
punya waktu, atau memang karena saya ke kota tersebut pure hanya untuk bekerja
dan nggak sempet main-main ke objek-objek wisata di kota itu.
So, this is my first posting about my weekdays escape:
jalan-jalan sembari bekerja. Kali ini saya berkesempatan mengunjungi Kota
Bukittinggi, suatu kota wisata yang terletak di Provinsi Sumatera Barat, sekitar
2 jam perjalanan darat dari Padang.
Saya naik pesawat dari Jakarta menuju Padang sekitar 2 jam
perjalanan. Saya paling suka naik penerbangan pagi atau siang kalau ke Padang,
lalu memilih seat dekat jendela. Alasannya, pemandangannya itu loh, spektakuler
banget saat pesawat sudah mulai memasuki Padang dan turun dari ketinggian
jelajah normal. Laut dan pulau-pulau kecil yang tersebar siap
memanjakan mata kita deh. Bandara Minangkabau di kota Padang letaknya di dekat
pantai, jadi saat penerbangan pertama saya ke Padang dulu, saya sempat
ketar-ketir saat pesawat mulai menukik turun tapi di bawah air semua. Oh,
ternyata mau landing toh.. *kampungan*
Dari Padang menuju Bukittinggi, berhubung ini dalam rangka
dinas, jadi saya dijemput oleh bapak-bapak dari kantor cabang Padang (later,
mereka baru mengakui ‘ini kita jemput karena kami tahu yang datang cewek Mbak,
coba yang datang cowok, kami biarkan saja sendiri ke Bukittinggi nggak kami
jemput’ hahaha selalu ada keuntungan jadi cewek ternyata :p) lalu kami berkendara ke Bukittinggi.
Perjalanan dari Padang ke Bukittinggi itu betul-betul beyond
beautiful! Terutama saat kita sudah memasuki daerah Lembah Anai dan Padang
Panjang. Di daerah Lembah Anai ini ada air terjun yang letaknya persis banget
di pinggir jalan (mohon maaf no pics available karena saat itu baterai
handphone saya sedang kritis T.T), bahkan pada saat mobil kami melewati air
terjun tersebut saya bisa merasakan percikan airnya ke muka saya melalui kaca
mobil yang saya buka. Daerah ini jalannya berkelak-kelok sehingga sering
disebut juga daerah Kelok Seribu (Puji Tuhan, saya jarang banget bermasalah
dengan mabuk darat. Mungkin saking seringnya ada di jalan dibanding diam di
suatu tempat >.<). Sepanjang
Padang Panjang hawanya sejuk banget bahkan cenderung berkabut sehingga kami
memutuskan mematikan AC mobil dan buka jendela saja.
Kami berhenti di suatu warung pinggir jalan (saya lupa nama
daerahnya, tapi sudah dekat sekali dengan pintu gerbang kota Bukittinggi) untuk
istirahat. Sajiannya maknyus banget! Teh panas yang disajikan dalam batok
kelapa dan bika pisang. Teh warnanya merah, hampir kayak warna merahnya wine.
Rasanya pahit-pahit enak, jadi saya cuma tambahkan sedikit gula aja. Bika-nya
bukan bika ambon yang warna kuning itu loh. Bika ini kayak kue jajan pasar,
bahan utamanya pisang yang dicampur sama campuran kelapa parut lalu dibakar.
Uuugh manteb banget dimakan panas-panas, apalagi saat itu hujan.
Setelah sekitar 2 jam perjalanan (plus berhenti-berhenti
buat makan :p) tiba juga saya di Bukittinggi dan menginap di suatu hotel di
Jalan Sudirman. Wah senangnya ternyata daerahnya ramai banget sama yang dagang
makanan (emang hidup saya ini hanyalah antara jam makan saat ini dan jam makan
berikutnya hehe)! Sampai di hotel, badan rasanya udah cekot-cekot (maklum
kemarinnya baru pulang upcountry dari Cepu hahaha), tapi jiwa petualang saya
membuat saya keluar lagi jalan-jalan di sekitar hotel. Lumayan dapet sate
Padang :p
Setelah tidur pulas, pagi-pagi saya bangun, sarapan di
hotel, dan kerja (part ini nggak usah diceritain lah yaa hahaha). Beres kerja,
saya langsung diajak main sama bapak-bapak area Bukittinggi (kantor cabang
Bukittinggi sama sekali nggak punya pegawai cewek, anyway haha). Tujuan pertama
tentunya makaaan! Saya diajak makan di suatu warung lesehan yang terletak di
dasar Ngarai Sianok. Woah! What a beautiful scenery! Pemandangan yang aduhai
didukung pula sama menu yang nggak kalah oke: gulai itiak lado mudo. Sluurp!
Daging bebek muda dengan bumbu gulai cabai hijau, pedes-pedes nikmat. Plus ikan
khas Ngarai Sianok, aduh map saya lupa nama ikannya, yang jelas bentuknya
kecil-kecil kaya ikan teri tapi nggak asin, digoreng jadi kaya bakwan gitu.
Saya sempet diejekin sama bapak-bapak itu, ‘makannya dikit banget Mbak’, tapi
mereka langsung meringis waktu tau itu baru porsi pertama saya.
Ngarai Sianok as seen from the restaurant |
Perut kenyang, hati pun senang. Kami melanjutkan perjalanan
kami ke Jam Gadang yang merupakan titik nol kilometer dari Kota Bukittinggi
ini. Sampai disana, rameee banget, maklum udah musim liburan anak sekolahan.
Berhubung saya pernah baca di internet kalau kita bisa naik ke atas Jam Gadang,
saya pun berencana naik. Tapi kok nggak keliatan ada loket tiket ataupun orang
lain yang masuk yah? Saya pun nanya ke Pak Doni gimana caranya naik kesana,
lalu Pak Doni nanyain ke seorang bapak berseragam Pemda yang ada di situ, dan
ternyata bisa masuk dengan tarif Rp 30.000. Hore! Saya pun masuk ke Jam Gadang
(sendirian, cuma sama seorang petugas, bapak-bapak itu males katanya, hedeuh).
Woah, berasa VVIP banget saya bisa tur Jam Gadang sendiri, hanya dengan 30 ribu
perak doang.
Jam Gadang |
Bapak pemandu saya ini (lagi-lagi lupa namanya, ampun paaak)
adalah petugas dari Dinas Pariwisata Bukittinggi. Ternyata, sejak kejadian
gempa yang melanda Padang dan sekitarnya beberapa tahun silam, kondisi bangunan
Jam Gadang ini menjadi sedikit ‘rapuh’ sehingga memang sangat dibatasi
pengunjung yang bisa masuk ke dalamnya (wah, saya merasa sangat beruntung deh!).
Untuk mencapai puncak Jam Gadang ini kita harus menaiki tangga-tangga besi
dalam 3 level.
Level pertama adalah suatu ruangan luas dengan gaya khas
bangunan Belanda jaman dulu, sejuk banget di dalam situ!
Level kedua, ada tempat mesin Jam Gadang ini berada.
Berdasarkan informasi Bapak Pemandu saya tadi, di dunia ini hanya ada dua mesin
jam jenis ini. Yang satu berada di Jam Gadang Bukittinggi ini, dan yang satu
adanya di Big Ben, London. Cool, isn’t it? Mesin jam ini adalah buatan Jerman
tahun 1926 (berdasarkan tahun yang tertera di mesinnya). Si Bapak juga
menjelaskan cara kerja mesin ini (maaf, saya suka kurang paham soal
mesin-mesinan begitu, jadi nggak saya tulis nggak apa-apa yah), yang intinya
ada suatu engkol yang harus diputar setiap seminggu sekali oleh petugas.
Mesin penggerak Jam Gadang |
Setelah kagum mengagumi mesin jam, saya naik ke level berikutnya,
dan ternyata sudah puncak! Hore! Di sini tersimpan lonceng dari Jam Gadang ini.
Lonceng akan berdentang sekali bila jam menunjukkan pukul sekian lebih 30 menit
(misalnya 00.30. 01.30, dst), dan akan berdentang sejumlah jam yang ditunjukkan
(misal, berdentang sekali di jam 1, dua kali di jam 2, dst sampai paling banyak
yan dua belas kali di jam 12).
Saya kemudian keluar dan whoa! A whole Bukittinggi view from
above! Really, this is a breathtaking scenery for me. Saya bisa melihat Gunung
Merapi, Gunung Singgalang, Benteng Fort de Kock, dan keseluruhan kota
Bukittinggi dari atas. Angin yang bertiup cukup sejuk menemani saya mendengarkan penjelasan Bapak Pemandu
mengenai sejarah kota Bukittinggi ini. Seru!
Lonceng Jam Gadang |
View dari atas Jam Gadang. Background nya Gunung Merapi dan Kota Bukittinggi (maap kalau muka saya agak mengganggu huhu lupa bgt foto pemandangannya doang >.<) |
Turun dari atas Jam Gadang saya pun diajak beli oleh-oleh.
Sanjai alias keripik singkong pedas khas SumBar nggak boleh ketinggalan doong..
Sanjai ini heaven-on-earth banget buat penyuka pedes kaya saya, walaupun
biasanya setelah dosis tinggi sanjai saya biasanya mengalami masalah
gastrointestinal dan sedikit masalah juga di gigi, hihihi…
Sanjai Christine Hakim, yang |
Puas lihat-lihat dan beli oleh-oleh, tibalah saat saya harus
pulang (sebenarnya belum puas juga, masih ada hasrat terselubung pengen beli
kain tenun khas Bukittinggi, belum ke Benteng Fort de Kock, tapi apa daya waktu
tak mengijinkan, plus itu akhir bulan sehingga saya kereeee). Dari Bukittinggi
saya naik travel menuju Bandara Padang (harga travelnya Rp 30.000, nama
travelnya Armada), perjalanan sekitar 2 jam. Sepanjang jalan Mr. Driver memutar
lagu-lagu Minang bertema cinta (akuh dipanggil Uni sama drivernya, cute banget
yah), ajib banget.
Sampai Bandara Padang, harus menerima kabar buruk bahwa
pesawat di-delay sejam lebiih. Dan akibatnya, sampai di Soetta baru jam 23.30.
Omicot… Untung taksi gampang dicari dan jalanan super-lowong, 45 menit sudah
sampai di kosan dan langsung mandi lalu menghaturkan diri ke haribaan kasur
kosan. Capek (banget! Damn you, delay!), tapi senang bisa pergi berkunjung ke
Bukittinggi.
Seriously, Bukittinggi is one of the must-visited place in
Indonesia! :)
ps: for more information about Bukittinggi, kindly visit Bukittinggi government's official website :)