Wednesday 21 January 2015

Tentang Kembali Pulang

Postingan ini ditulis di UCL School of Pharmacy's Library, di saat dimana saya harusnya ngerjain sekitar 5 (lima) tugas yang harus dikumpulkan. Tapi tiba-tiba pengen menulis disini, dan menurut mentor saya sih sebaiknya janganlah menunda keinginan untuk menulis, or else the present idea will end up as nothing.

Ceritanya term ini saya mengikuti satu mata kuliah yang berjudul International Perspective of Health atau biasa disingkat IPH. Saya suka kuliah-kuliah yang diberikan untuk mata kuliah ini, dan sesuai judulnya, semua kuliah kurang lebih bercerita tentang kesehatan sebagai suatu sektor yang penuh dengan dinamika (bisa juga diartikan sebagai masalah :p), termasuk mengenai sistem penyediaan kesehatan itu sendiri. Masih ingat kan cerita saya bahwa kelas saya terdiri dari 22 mahasiswa dari 19 negara, so it is very interesting to know how other countries in this world manage their citizen's health. Of course, the main focus of the course is the pharmaceutical matter, kan kami semua pharmacist alias apoteker.

Salah satu tugas berat yang diberikan untuk mata kuliah ini adalah 'a business proposal about a pharmaceutical care service needed by your home country'. Tiga aspek utama yang membuat tugas ini begitu hebring: business (sudah jelas I know literally nothing about financial and marketing stuff. Ketahuan banget jaman kuliah apoteker dulu selalu ngantuk), needed by your home country (lah kayanya kebutuhannya banyak banget sampai bingung milihnya), dan tentunya karena nilai saya sepenuhnya ditentukan dari si paper ini. No exam. Just this 5000 words paper and a 10 minutes presentation will determine my future (dramatis lebay). Dan dari ketiga aspek tersebut, aspek nomor dua adalah aspek yang bikin saya 'gatel' pengen nulis postingan ini.

Yes, it's about my home country. Banyak sekali orang yang bilang saya idealis karena punya cita-cita ketinggian semacam 'memajukan sistem kefarmasian di Indonesia'. Tapi saya selalu bilang sama mereka semua kalau saya pasti bisa. Pinjam istilahnya nona ini, 'kalau mimpi aja nggak berani, apalagi bertindak nyata'.

Semua idealisme saya rasa-rasanya makin termanjakan sejak saya datang kesini, ke negara yang sistem kefarmasian (dan kesehatan secara umum)-nya sudah sedemikian maju, ke universitas dengan sejuta fasilitas yang bisa diakses dengan sentuhan tangan di laptop atau gadget. Pun dengan orang-orangnya, 90% orang yang saya temui disini adalah orang-orang dengan optimisme tinggi. Kalau saya debat dengan mereka dan nada-nada negatif penuh pesimisme mulai keluar dari mulut saya, mereka malah akan mengernyitkan dahi seolah berkata 'there's no such thing as impossibility'. Semua hal-hal tersebut membuat saya semakin mantab dengan pemikiran bahwa cita-cita saya bisa terwujudkan.

Namun akhir-akhir ini saya mulai sering mempertanyakan ke-percaya diri-an saya sendiri. Membuat analisis SWOT untuk tugas yang saya sebutkan tadi membuat saya terpana karena kolom T memuat banyak sekali poin yang, menurut saya -- sampai dengan tulisan ini dibuat, adalah hal yang sulit untuk dicari solusinya, atau ada solusinya tapi tingkat keberhasilannya minimal. Hubungan interpersonal dengan sesama tenaga kesehatan, kebijakan (dan anggaran)  negara untuk bidang kesehatan (tak usahlah saya menyebutkan empat huruf itu disini), budaya resistensi dalam menerima perubahan, kualitas SDM, itu beberapa yang saya pikirkan.

Saya sadar bahwa mungkin saja semua yang saya pikirkan di atas tidaklah seburuk kenyataannya, tapi tetap saja saya jadi berpikir tentang hal yang akan saya hadapi saat saya pulang ke tanah air tercinta nanti. Berhadapan dengan sistem yang belum ajeg, dengan pola pemikiran yang cenderung sempit dari beberapa kepala, dan dengan segala keterbatasan (saya sebenarnya nggak sampai hati menulis 'keterbatasan' karena berkonotasi buruk, tapi 'limitasi' hanyalah bentuk serapan yang bermakna sama, jadi saya memilih yang pertama). Contoh paling gampang saja, akses literatur. Artikel yang baru banget kemarin keluar bisa diunduh dalam hitungan detik disini, textbook edisi terbaru tersedia dalam jumlah mumpuni di perpustakaan. Tak usahlah saya menyebutkan keterbatasan tersebut sampai ke ranah penghargaan material bagi sebuah profesi, karena saya sudah legowo (sambil tepok-tepok dada liat nominal gaji jurusan sebelah) dari entah kapan bahwa profesi yang saya pilih ini setengahnya adalah kerja sosial. Contoh lain yang menurut saya krusial adalah support. Dukungan. Dari siapa saja, mulai dari rekan sejawat hingga masyarakat pada umumnya. Dukungan moril untuk mewujudkan sesuatu yang dianggap nggak mungkin.

Lalu kemudian saya takut idealisme saya akan pupus seiring waktu saat saya kembali pulang nanti. Karena saya tidak cukup tabah dan kuat hati. Karena sisi manusia saya (atau bisa disebut egoisme) berteriak lebih keras dari sisi manusiawi (humanity) saya.

Tapi ada satu hal yang membuat saya tersenyum. Hasil mengobrol dengan kawan-kawan satu tanah air, terutama yang berasal dari beasiswa yang sama, membuat saya menarik kesimpulan bahwa saya tidak sendiri. Ada banyak anak muda lain yang ingin sistem negara tercinta bisa lebih baik. Dalam hal apa saja, tidak hanya kesehatan. Mengobrol dengan beberapa rekan sejawat yang berpandangan sama dengan saya juga sangat-sangat menyenangkan, brainstorming sessions dalam bentuk e-mail panjang selalu menguatkan saya.

Mungkin kegalauan ini adalah fase yang memang harus saya lewati sebagai bagian dari dinamika hidup manusia, dan semoga hal-hal kurang baik yang saya bayangkan tidak akan benar terjadi. Biar bagaimanapun, kembali pulang memang adalah hal yang saya rindukan. Selain karena cita-cita luhur seperti yang saya utarakan di atas, juga karena saya kangen sama semua gorengan plus cabe rawit, pecel lele, dan buah pepaya yang dipotong-potong lalu diberi perasan lemon di atasnya!

-London, 20 Januari 2015
 


2 comments:

  1. Just remember the reasons why you still stay in this idealism and keep doing that. Karena sejatinya ketakutan-ketakutan itu sudah sering muncul dari dulu. But you always choose to continue walking on this way.

    "Faith is taking the first step even when you don't see the whole staircase." - Martin Luther King

    Keep Faith =)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah berkenan mampir, kak Qie. Yes yes, because like the late Nelson Mandela said, everything seems impossible until it is done. Terimakasih supportnya kak, support lain berupa bratwurst bisa dipaketkan ke alamat di bawah ini hahahaha.

      Delete