Throwback Agustus 2013. What? Baru di-posting sekarang? Iya, thanks to mas-mas ini yang ngomporin terus :p
~~~
Iya, Denpasar. Bukan Bali as a whole package. Thanks to flu dan batuk berat yang menyertai saya dalam perjalanan kali ini, I had to bid adieu to those pretty beaches, dan harus tepar di hotel memulihkan kondisi sebelum bekerja. But anyway, Denpasar pun menarik kok buat dijelajahi, buktinya saya dapet cukup banyak di 3D2N kali ini :)
Day one, seperti biasa pagi-pagi ke Soetta, yang ramainya udah ngalahin pasar Tanah Abang. Check in, boarding, nah pas masuk pesawat ini saya agak linglung. Jadi sekarang Garuda Indonesia menerapkan sistem penomoran seat yang baru buat pesawat-pesawatnya. Kalau selama ini nomor 1-5 itu punyanya business class, dan 6-akhir (tergantung jenis pesawatnya) itu punya economy class, dan nomor tempat duduknya pun ABC-DEF, sekarang ada pergantian yang cukup mencolok. Sekarang, nomor 1-10 itu punyanya first class (ini gaji berapa taun ya gue baru bisa naik first class hehehe), 11-20 punya business class, dan economy class dimulai dari nomor 21-akhir. Ini berlaku buat semua pesawat, nggak cuma pesawat-pesawat yang ada first class-nya aja. Alfabetnya pun bukan ABC-DEF buat model Boeing 737, tapi ABC untuk gang kiri (dari arah pintu masuk dekat kokpit), dan HJK buat gang kanan. So, pas liat boarding pass saya menunjukkan angka 25B, saya pede banget langsung jalan ke belakang, eh ternyata kebablasan karena 25 letaknya di depan. Hahaha.
Rute Jakarta-Denpasar emang agak spesial (harganya juga spesial, heu), soalnya di baki makanan yang biasanya cuma berisi main course dan dessert, kalau di rute ini ada tambahan roti plus butter. Haha, lumayan, tambahan karbo. Mendekati Ngurah Rai, Mr Pilot mengumumkan kalau pesawat kami harus menunggu sekitar 20 menit lagi agar bisa mendarat, karena bandara sedang ditutup, because Mr Vice President was using it. Lumayan deh 20 menit muter-muter di atas laut, akhirnya setelah itu landing juga. Seperti biasa landing di Ngurah Rai juga serem-serem asik karena runway-nya terletak benar-benar di pinggir laut (just like Minangkabau Airport di Padang), jadi kalau liat keluar jendela ini pesawat udah terbang rendah banget tapi kok bawahnya masih laut semua.
Due to my condition yang batuk-batuk tiada henti ini, akhirnya saya langsung ke hotel (Fave Jl. Teuku Umar) dan tepar tidur. Bangun sejam kemudian karena lapar, saya cuma makan di depan hotel karena males gerak jauh-jauh. Lumayan, dapet nasi tempong cumi bakar yang enak tapi super pedessss, plus jeruk nipis hangat untuk tenggorokan saya yang bermasalah ini. Nama tempat makannya Nasi Tempong Indra, letaknya di Jl. Teuku Umar Denpasar. Harga paket nasi tempong (isinya cumi bakar 4 pieces lumayan gede, tahu, tempe, dan ikan asin goreng, lalapan daun bayem dan terong yang dikukus, serta mentimun dan sambel) itu Rp 47.000, jeruk nipis hangatnya Rp 10.000 segelas. Nasi tempong ini sebenarnya adalah makanan khas Banyuwangi, tetangga seberang laut-nya Bali. Khas-nya adalah bau kencur di sambelnya, tapi saya sih suka, bikin sambelnya makin manteb aja.
Nasi tempong cumi bakar |
Sebenarnya sore harinya saya berencana pergi ke Kuta Square buat jalan-jalan sendirian, tapi setelah komtemplasi panjang, saya akhirnya membatalkan rencana tersebut, mengingat kondisi badan yang tidak memungkinkan, salah-salah malah tepar besok pas kerja, nggak lucu banget. Sedih sih, tapi kesedihan saya nggak berlangsung lama karena malamnya saya dikunjungi sama Dyan, teman menggila saya di PSM ITB dulu. Dyan sekarang kerja di Ubud, dan malem-malem bela-belain dateng ke Denpasar demi ketemu Jeng Tiesa, terharu banget. Kami (plus mas-nya Dyan, aheum) ngobrol-ngobrol sambil makan di angkringan di depan Happy Puppy jalan Teuku Umar dan sama-sama memesan nasi pindang ayam kampung, plus jahe madu buat saya dan es teh manis buat Dyan. Duhh, langsung nggak berasa ini tuh di Denpasar! Rasanya ini tuh angkringan mie jowo favorit kami di Jalan Balubur, Bandung, tempat nongkrong setelah latihan PSM (dan biasanya saya akan nebeng nginap di kosan Dyan berhubung rumah saya jauh dari kampus). Dyan masih tetap sama seperti yang saya kenal dulu: cungkring, petakhilan, tapi sangat menyenangkan. Saat waktu sudah menunjukkan after-midnight, terpaksa saya dan Dyan berpisah karena besok kami sama-sama harus bekerja.
With Dyan |
Day two: kerja. Tapi, seperti biasa, selalu ada waktu buat saya berpetualang di tengah pekerjaan. Agenda saya hari ini adalah belanja (girls will be girls!) dan makan babi guling. Seperti biasa, teman baik saya berpetualang bernama GPS. Asyik, toko souvenir Krisna dan babi guling Chandra yang tersohor itu terletak dekat hotel! So, sehabis breakfast, dengan pedenya saya menyusuri Jl Teuku Umar berbekal GPS, celana pendek, kaos, dan sendal jepit. Lesson learned! Segala sesuatu yang terlihat dekat di peta nggak selamanya dekat di dunia nyata. Ditambah kemampuan saya yang jongkok banget dalam membaca peta, akhirnya ujung-ujungnya saya nanya juga sama beli tukang parkir. Syukurlah, setelah berpeluh di bawah matahari Denpasar saya sampai juga di Krisna.
Krisna ini adalah toko souvenir yang menjual berbagai oleh-oleh khas Bali.Tokonya cukup khas dengan hiasan patung Krisna berwarna biru tepat di pintu masuk. Setiap pengunjung yang masuk kesini akan diberi stiker yang bertuliskan nomor tertentu, meskipun sampai sekarang saya kurang paham itu maksudnya untuk apa. Hari itu saya membeli kaos buat Papa dan Dylan, daster buat Mama, kain pantai buat Mama dan Mbak Anis, segala macam aromaterapi, asesoris, dan printilan-printilan lain. Nggak lupa dong menghadiahi diri saya sendiri dengan beberapa potong baju. Selain itu, Krisna juga menyediakan aneka makanan khas Bali, jadi saya memborong beberapa box kacang disko dan pia. And as always, shopping selalu menyenangkan, kecuali ketika membayar. Tapi syukurlah Krisna menyediakan beberapa mesin EDC yang memudahkan hidup :)
Capek berbelanja, saatnya makan! Kaki ini lalu melangkah ke Rumah Makan Babi Guling Chandra di Jl Teuku Umar (dengan segenap belanjaan dari Krisna). Nom! Saya memesan satu paket babi guling seharga Rp 40.000, isinya ada nasi, kuah, lawar, sate, dan tentunya daging babi guling. I'm not really into meat, jadi favorit saya disini malah lawar-nya, tapi yang versi nggak disiram pakai darah babinya sih. Tips dari saya, kalau makan disini harus pinter-pinter milih spot tempat duduk, karena jujur saja bau dari daging babi mentahnya masih menguar dari dapur ke area makan, dan baunya itu lumayan bikin eneg.
Babi Guling! |
Day three: packing then working then going back to Jakarta. Prosesi packing-nya sendiri adalah sesuatu yang cukup menegangkan, karena saya harus berusaha memasukkan semua belanjaan saya dalam koper karena alasan sederhana: saya males masukin koper saya ke bagasi pesawat (menunggu antrian bagasi di Soetta itu adalah penyia-nyiaan masa muda yang berharga). Untungnya kemampuan packing saya sudah lumayan advance: semua pakaian digulung sehingga lebih menghemat tempat :) Hari ini ditraktir sama rekan area Denpasar makan di Warung Bendega yang terletak di Jl. Cok Agung Tresna. I love this place! Ambience-nya sangat Bali dan mempunyai konsep semi-open restaurant tapi tetap teduh. Buat lunch saya memilih menu Nasi Campur Bali. Nasi putih yang dibentuk cone dengan berbagai side dishes: urap sayuran, kering kentang, ayam bumbu Bali, otak-otak tenggiri, sate lilit, ayam suwir yang dibumbui bawang dan cabe rawit, serundeng, telur asin, dan nggak ketinggalan kerupuk. What a cuisine! Kind of reminding me to tumpeng, versi individual. Rasanya enak banget, apalagi ditambah segelas es jeruk nipis.
Patung Ganesha di Bendega |
Nasi Campur Bali Warung Bendega |
Beres kerja, masih ada beberapa saat sebelum flight. Saya pun minta diantar mencari oleh-oleh yang dipesan oleh sejuta umat di kantor: pie susu. Berdasarkan keterangan Bu Ayu yang notabene native di sana, pie susu paling enak namanya pie susu Regina. Pas ke sana, ternyata dia bukan berbentuk toko gitu, tapi hanyalah rumah biasa, letaknya di dekat Gereja Katedral Denpasar. Belinya aja pakai prosesi ketok pintu, dibukain pintu sama yang punya rumah, lalu bilang mau beli berapa banyak pie susunya. Tapi rasa pie susunya emang enak banget, nggak eneg, cocok untuk lidah saya yang kurang bisa menerima makanan manis. Oh iya, kalau mau beli pie susu disini sebaiknya telepon dulu sebelum datang untuk memastikan ketersediaan barangnya.
Pie susu! |
Segala list titipan oleh-oleh udah checked, saatnya pulang. Perjalanan ke bandara cukup menyita waktu walaupun secara kilometer jaraknya nggak begitu jauh. Iyap, Denpasar macet banget! Apalagi saat itu sedang hot-hotnya persiapan Konferensi APEC. Bandara Ngurah Rai sendiri (saat itu) sedang mengalami banyak renovasi, sehingga direksionalnya cukup membingungkan. Tapi saya acungkan jempol ke tim janitorial-nya, karena WC nya rapi dan bagus banget. Check in beres, harus menerima kenyataan kena delay BEBERAPA jam. Maklum, lagi dapet maskapai 'ituh'. Ditambah kenyataan bahwa karena naik maskapai 'ituh' saya nggak bisa masuk lounge buat sekedar nyicip kopi atau cari koran, akhirnya saya menunggu dengan manis di boarding room, yang lebih parah ramenya dibanding Terminal Kampung Rambutan.
Jam 23 akhirnya saya touchdown Soetta. Duh! Si maskapai ini ternyata landing di Terminal 3 untuk penerbangan dari Denpasar ke Jakarta. Terpaksa lah saya kembali bete karena di terminal ini, yang namanya taksi burung biru itu susah banget dilihat penampakannya. Dan nasib karyawan ber-voucher, ya harus sabar nunggu antrian yang mengular. Syukurlah akhirnya bisa dapet taksi, sampai kosan langsung tepar. Untung betenya udah terobati dengan 4 bungkus pie susu di perjalanan.
Well, that's all! I wish I could visit Bali again someday, holiday purpose. Terakhir kesana pas study tour SMA, kali ini pengen rasanya pergi sama keluarga. Dan yang jelas, tanpa beban harus bekerja di Pulau Dewata!
No comments:
Post a Comment